Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kangen...
Saya membiasakan, sepulang saya bekerja dan sampai di rumah–sekitar pukul enam–tidak ada aktivitas menonton untuk putri kami, Azka Zahra (3y4m) walaupun ada toleransinya sekitar 30 menit. Biasanya Azka berontak minta diputar ulang CD-nya tapi saya tetap menolak. Tujuannya selain mengurangi waktu menontonnya juga agar bonding kami makin erat. Aktivitas biasanya berlanjut ke kamarnya. Dibacakan buku, mewarnai atau sekedar corat-coret. Aktivitas santai yang biasanya membuatnya cepat meminta susu lalu tertidur, sekitarpukul 20.30 atau 21.00 Azka sudah terlelap. Tapi sudah lebih dari seminggu ini, Azka bisa tahan melihat-lihat gambar di buku, mewarnai atau menyambungkan titik-titik huruf cukup lama, bisa setengah buku tanpa saya minta. Dan ketika saya meminta Azka untuk tidur, Azka berkata,” Azka mau tunggu Abi pulang.” Abi adalah panggilan Azka untuk Papanya.
“Tapi Abi pulangnya malam,” terang saya. Kami tinggal di Bogor dan suami saya bekerja di Jakarta. Paling cepat dia sampai rumah sekitar pukul 21.00 tapi seringnya lebih malam dari itu.
“Memanganya Azka gak ngantuk?” Tanya saya.
“Nggak,” Azka menatap saya dengan membelalakkan bola matanya. Trik yang selalu dipakai Azka setiap kali kami, saya dan suami, bertanya hal serupa.
Ya, sudah lebih dari seminggu ini si kecil tidur larut malam sekitar pukul 22.00. Tentu keadaan ini membuat saya khawatir walaupun penyebabnya bukan sakit tapi menunggu Abinya pulang. Walaupun ini bukan pertama kalinya Azka tidur larut malam, biasanya hanya sesekali itu pun saya pikir tanpa sengaja, yaitu ketika ia hendak tidur Abinya pulang. Otomatis kantuk Azka hilang dan dengan antusias ia mengajak Abinya–yang sudah amat kelelahan menempuh perjalanan bogor Jakarta sebagai komuter–bermain. “Kaget-kagetan, yuk, Bi,” atau “Kelitikan Mama yuk, Bi.” Atau tiba-tiba minta main sepeda dalam rumah. “Mau nunjukin skill, nih,” komentar Abinya. “Ini Azka sudah bisa belok,” katanya.
Satu jam berlalu, saya dan Abinya memintanya tidur tapi Azka menolak. “Ih, aku kan mau main.”
“Azka kangen Abi ya?”
“Iya, Azka kan sayang.”
“Tapi Abi dan mamanya capek nih,” jelas saya.
“Azka mau main!”
Kalau sudah begini, biasanya salah satu dari kami, saya atau Abinya tidur duluan dengan harapan Azka ikut tidur. Dan karena Azka lebih kangen Abinya dibanding saya, maka saya masuk kamar duluan mematikan lampu dan tiduran–setelah menyiapkan susu untuk Azka. Dan cara ini cukup berhasil, Azka mencari saya dan ikut tidur walaupun diawali dengan rengekan,”Mama jangan tidur!”
Saya yakin bukan hanya si kecil kami yang mengalami hal serupa. Rela menahan lelah dan kantuk hanya untuk bertemu mama atau papanya yang harus berjibaku dulu dengan kemacetan sebelum sampai di rumah. Hal yang sama juga dirasakan mama dan papa yang berharap si kecil belum tertidur pulas ketika kita sampai rumah. Seperti yang dialami Abinya Azka. Karena khawatir dengan jam tidur Azka saya menyarankan suami untuk menelpon Azka dan mengatakan jangan menunggunya pulang. Tapi malah dijawab,”Gue, kan, juga kangen,” sambil tertawa lebar.
“Ya, sih, tapi ya biar jangan tiap hari tidur malam. Seminggu dua kali lah.”
Abi nyengir sambil melengos pergi. Ini mengingatkan saya pada ceritanya beberapa waktu yang lalu. Salah satu teman kantornya, rumahnya di daerah Cikarang (kantor suami saya daerah Thamrin) dan pulang pergi bekerja ketika anaknya tertidur lelap , efeknya anaknya kurang dekat sama Papanya malah merasa asing. Dan suami saya tidak mau itu terjadi pada si kecil kami.
Bicara soal rindu, kangen dan keinginan berjumpa sejujurnya bukan hanya dirasakan si kecil Azka. Sebagai pasangan bekerja dengan jalur transportasi keberangkatan berbeda. Saya di Bogor dan suami sebagai komuter, otomatis intensitas saling bertatap muka kami bisa dihitung dengan bilangan jam perharinya. Bangun tidur kami sibuk dengan persiapan masing-masing untuk pergi bekerja tambahan untuk saya menyiapkan sarapan. Sesampainya di rumah kami sama-sama kelelahan. Karena walaupun saya sampai di rumah lebih cepat, saya harus menemani si kecil bermain. Hanya sesekali sepulang kerja kami ngobrol panjang lebar, curcol sana-sani sampai larut malam, tapi biasanya itu tanpa disengaja. Besoknya kepala kami terasa sangat berat ketika bangun.
Saya yakin hal ini bukan hanya kami yang mengalaminya. Ribuan pasangan bekerja. Tapi mungkin kerinduan-kerinduan seperti ini yang makin melekatkan hubungan sebuah keluarga. Kami makin menyadari begitu berharganya waktu untuk bisa dinikmati bersama.
Salah satu siasat kami untuk memaksimalkan waktu bersama adalah masing-masing dari kami menghindari atau meminimalkan acara kongkow bareng teman-teman saat akhir minggu atau hari biasa kecuali acara yang bisa membawa serta si kecil dan suami/istri. Jika tidak urgent kami memilih pulang cepat. Selain itu suami saya pun memilih naik kereta, berdesak-desakan dan berdiri selama kurang lebih satu jam untuk menuju tempat kerja dibanding membawa kendaraan pribadi yang artinya harus berangkat jauh lebih pagi (maksimal berangkat pukul 05.00 sedangkan jika naik kereta dari rumah pukul 07.30–jeda waktu yang cukup untuk kami sarapan bersama dan mengajak Azka keliling dengan motor sebelum kami bekerja) untuk menghindari kemacetan. Begitupun jam pulang yang bisa lebih lama jika membawa kendaraan pribadi. Saat kami kumpul di rumah kami selalu melibatkan si kecil dalam melakukan aktivitas. Saya melibatkan si kecil dalam urusan bebenah rumah seperti melap buku-buku di rak, menyiangi rumput di taman, beres-beres pot bunga dan memasak. Dan Azka dengan senang hati bahkan menawarkan diri untuk mencuci mobil Abinya, untuk hal ini terlebih karena Azka suka main air, hehehe
Cara yang kami nilai cukup berhasil. Azka sangat dekat dengan kami. Buktinya kami dijadikan role model olehnya. Hal yang tak jarang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal atau berkerut keheranan. Sepertinya misalnya setelah selesai makan bersama, Azka mendahului saya membawa piring kotor bekas Abinya ke wastafel. Atau dengan senang hati dia menawarkan diri membereskan buku-bukunya. Atau dengan penuh inisiatif menyapu lantai jika ada ceceran sampah. “Azka rajin kayak Mama,” katanya.
Kali lain saya dibuat terkejut dengan permintaannya dibuatkan teh manis. Wah, sejak kapan dia suka teh manis, batin saya dalam hati.
“Ma, Azka mau teh manis!” ulangnya.
“Anak kecil tidak boleh banyak minum teh,” terang saya teringat anjuran dokter saat beberapa waktu lalu saya mengeluhkan bab Azka yang kadang keras dan tidak teratur.
“Satu saja, Ma.” Maksudnya satu gelas.
Akhirnya saya buatkan satu cangkir kecil dan tanpa disangka diminumnya satu cangkir teh manis dalam satu tegukan.
“Azka suka?”
“Iya, dong Azka suka teh manis kayak Abi,” jawabnya sambil tersenyum bangga.
Olala…
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS