Bisa dibilang saya dan Daus menikah muda. Agak nekat juga, sih, karena Daus masih menyelesaikan S2-nya, tapi kami percaya Allah sudah menyiapkan rezeki buat kami. Tahun pertama kami menunda memiliki anak, karena kami belum merasa siap. Meski percaya rezeki sudah diatur, tetap saja, keputusan memiliki anak harus disertai kesiapan mental dan material. Setahun pertama berjalan begitu cepat, dan menginjak tahun kedua, kami sepakat untuk tidak menunda lagi.
Tapi hingga memasuki tahun keempat, kehamilan yang kami harapkan tak kunjung tiba. Kami sendiri seolah tak sadar empat tahun sudah berlalu lantaran kesibukan masing-masing. Kesadaran menghampiri kami hanya saat ketemuan atau berkumpul dengan saudara dan juga teman. Mereka yang belakangan menikah sudah lebih dahulu punya bayi atau yang usia pernikahannya sama dengan kami anaknya sudah batita. Antara saya dan Daus jarang sekali ada pembicaraan soal hamil, bayi, atau yang mengenai itu, sekali lagi kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Kami menganggap akan datang saatnya kami memiliki anak juga.
Pertanyaan soal anak yang kadang bikin saya mati gaya bukannya tidak pernah saya dengar. Dan bukannya tidak sakit hati, tapi saya mulai jago menabahkan hati. Kebetulan kakak saya juga mengalami pengalaman serupa sehingga dia sering kali pasang badan jika ada keluarga atau saudara yang “menyerang” saya dengan pertanyaan itu. Di suatu acara keluarga, seseorang pernah bertanya atau berbasa basi atau apalah, begini: “Ida, kok kalah sama ini, dia yang baru menikah udah langsung hamil, lho.” Kakak saya dengan lempeng menyamber, “Memangnya lomba, ada yang kalah dan yang menang.” Yah, begitulah, basa basi di masyarakat kita memang sering kali nabrak area pribadi.
Saya bukannya tidak sedih menanggapi pertanyaan-pertanyaan itu. Saya toh perempuan biasa, yang at the lowest point sering kali menangis sekaligus bertanya-tanya, kapan giliran saya menjadi ibu? Alhamdulillah, saya dikelilingi teman-teman yang sangat positif, suportif, dan kadang malah membuat saya melupakan soal anak ini. Lalu saya mulai terpanggil untuk melakukan usaha lebih. Setelah berunding, saya dan Daus memutuskan mengikuti terapi urut. Seorang teman merekomendasikan tempat terapi yang “berhasil” menjadi perantara kehamilannya. Kami beberapa kali mengikuti terapi, tapi sepertinya kami belum berjodoh.
Kemudian, saya mulai memikirkan untuk menempuh upaya medis. Atas rekomendasi kakak, kami mendatangi Klinik Yasmin di RSCM Kencana, yang khusus menangani kasus infertilitas. Atas alasan pribadi saya lebih nyaman dengan dokter perempuan, tentu dengan konsekuensi mengantre lebih lama. Lalu nasib mempertemukan kami dengan Dr. Marly Susanti, Sp. OG. Saya langsung menyukai gaya ceplas-ceplosnya, yang menjelaskan dengan apa adanya dan kadang dibumbui humor-humor khas dokter. Terus terang, saya sangat menikmati kunjungan saya ke klinik infertilitas ini. Selain merasa memiliki banyak teman senasib—hei, ternyata ada banyak sekali pasangan yang menunggu lama untuk memeluk bayinya—saya juga terhibur dengan jawaban-jawaban Dr Santi atas semua curhat saya. Yang paling terpatri di ingatan saya adalah ketika saya bilang bahwa saya tidak nyaman kalau ditanya orang-orang atau siapa pun soal hamil. Dia mengatakan hal yang tadinya tidak pernah saya pikirkan, bahwa sudah menemukan dan memiliki pasangan yang baik adalah hal yang patut disyukuri juga. Menikah, kan, tidak melulu soal anak. #makjleb. :D
Sejak saat itu, kalau saya merasa sedih atau menghadapi pertanyaan soal kehamilan, saya merasa lebih kuat dengan mengingat kalimat Dr Santi itu. Kami melewati serangkaian tes organ reproduksi yang hasilnya Alhamdulillah kami baik-baik saja. Meski begitu, kami setuju untuk menjalani dua kali terapi hormon. Ketika belum berhasil juga, Dr Santi merekomendasi kami untuk mencoba inseminasi. Namun, saya dan Daus sepakat untuk mencoba cara alami dulu. Lagi pula terapi yang selama ini kami jalankan ini lumayan menguras kantong.
Tak terasa enam bulan berlalu dan saya tak kunjung hamil. Kami sepakat untuk memulai ke dokter lagi sehabis lebaran. Ramadhan 2010 ibu mertua saya melaksanakan umroh selama sebulan penuh, tentu saja kami tak lupa untuk minta didoakan di sana. Dan sepulang dari sana ibu membawakan semacam bubuk kurma yang sudah didoakan untuk diminum oleh Daus. Bubuk itu sangat tidak enak dan bahkan bau sampai-sampai Daus memakai kapsul kosong untuk meminumnya dengan “selamat”.
Pada Oktober 2010 saya pergi ke Salatiga untuk menghadiri pernikahan sahabat saya tanpa Daus. Saya dan teman-teman sempat mengalami banyak hal di sana, dari berkali-kali ban mobil kempes sampai berjalan-jalan cukup lama di sekitar Malioboro. Sekembalinya dari sana saya beraktivitas seperti biasa. Saya memang telat haid, tapi saya pikir itu karena kelelahan. Sampai suatu hari saya mengalami sakit perut bawah yang tak tertahankan dan memutuskan untuk ke dokter kandungan yang praktik dekat rumah. Saya sempat di USG dan diperiksa dalam (!) tapi tidak ada apa-apa. Eh, dokter malah memvonis saya terkena infeksi, dan saya diresepi beberapa obat termasuk antibiotik.
Dan saya tak kunjung haid. Kakak saya usul supaya coba tes saja. Saya menundanya karena sama sekali tak terpikir kalau hamil. Berkali-kali kakak saya menanyakan sudah tes apa belum. Karena capek ditanya terus, akhirnya saya tes juga. Tanpa sepengetahuan Daus sebelum Subuh saya tes di kamar mandi. Hati dag dig dug tak keruan. Menunggu garis merah muncul rasanya lama sekali. Lalu, garis pertama muncul, biasanya tes saya selalu berhenti di situ. Namun kali ini garis merah kedua perlahan-lahan mengemuka. Saya tercenung beberapa saat. Tak mampu berkata-kata, mengucap Alhamdulillah dalam hati, dan segera mengambil air wudu. Lalu saya mengajak Daus salat berjamaah. Saya sengaja menunda memberitahunya hingga kami selesai salat.
Selesai salat saya mengajaknya sujud syukur. Pas ditanya ada apa. Saya bilang bahwa saya positif hamil. Kebahagiaan dan rasa haru melingkupi kami. Alhamdulillah, setelah lima tahun menunggu. Doa ibu memang tak perlu dipertanyakan kemujarabannya, mungkin ditambah bubuk tak enak itu, sebelum saya kembali menemui Dokter Santi untuk memulai program inseminasi, saya positif hamil. Alhamdulillah. Sungguh, semuanya memang indah pada saat-Nya.