Sorry, we couldn't find any article matching ''
Translokasi Spiral
Setelah anak pertama berusia 1 tahun ternyata saya langsung hamil lagi. Memang, sih, kami tidak merencanakan ataupun menunda karena setelah keguguran sebelum anak pertama lahir, kami memutuskan untuk tidak ingin membatasi diri dulu. Lagipula sempat mencoba pil KB namun tidak cocok karena membuat saya mual. Memang sempat berkata pada diri sendiri bahwa mudah-mudahan paling tidak tunggu 1 tahun dulu, dan ternyata memang pas.
Setelah anak ke2 lahir saya pikir sudah saatnya untuk mencoba alat kontrasepsi lain supaya jarak kehamilan tidak terlalu dekat. Memang masih ada rasa ingin punya anak satu lagi tetapi mungkin nanti dulu. Setelah konsultasi, pilihan berikutnya adalah spiral. Kebetulan kakak ipar saya semuanya memakai spiral dan walaupun banyak cerita seram kalau spiralnya pindah tempat dan bahkan ada yang tetap hamil setelah memakai spiral, namun setelah dijelaskan dan mencari tahu akan keunggulannya, saya pun memutuskan untuk menggunakan spiral. Selain hanya dipasang satu kali dan bisa bertahan untuk jangka waktu lama, kita pun tidak akan merasakan apa-apa. Itu juga yang suka membuat orang lupa memeriksakan spiralnya selama bertahun-tahun, padahal harus diperiksa secara berkala.
Sekitar 6 bulan kemudian saya mulai merasa nyeri di bagian bawah perut saya bagian tengah. Kenapa, ya? Saya pun teringat kalau semenjak dipasang saya belum memeriksakan lagi spiral saya itu, padahal harusnya pemeriksaan dilakukan per 6 bulan. Kaget sekali rasanya ketika periksa ke dokter lalu di-USG dan beliau bilang tidak dapat menemukan spiral saya. Setelah dicari-cari lagi ternyata sudah pindah lokasi atau bahasa kedokterannya translokasi ke belakang rahim bahkan sebagian sudah menusuk keluar dan harus dikeluarkan.
Bahaya pertama adalah tubuh akan menolak benda asing ini dan mulai memberikan reaksi yang makin lama akan semakin hebat, itu sebabnya saya mulai merasa nyeri dan bahaya kedua adalah saya akan bisa hamil dengan posisi spiral seperti itu karena berarti spiral tidak berfungsi seperti yang seharusnya.
Saya pun dijelaskan pilihan proses mengeluarkannya yaitu dengan pembedahan biasa atau dengan teknik laparoskopi. Kalau pembedahan biasa proses penyembuhan agak lebih lama karena akan ada sayatan dan risiko agak lebih tinggi namun biayanya lebih murah karena tidak memerlukan alat khusus.
Kalau pilihan kedua adalah laparoskopi dengan memasukkan alat bantu berupa kamera kecil seperti selang melalui lubang pusar dan dokter akan bekerja melalui itu seperti sedang bermain game mealui gambar yang bisa di lihat di TV. Proses ini minimal invasive sehingga penyembuhannya akan lebih cepat dan risiko komplikasi minimal, walaupun biayanya lebih mahal karena harus menggunakan alat khusus. Saya memilih proses yang kedua dan ternyata prosesnya pun sangat cepat dan saya diperlihatkan spiral yang sudah dikeluarkan dan diberikan DVD hasil gambar yang terekam selama proses laparoskopi dilakukan. Rasanya seperti menonton acara TV tentang tubuh manusia saja. Walalupun memang masih ada rasa sakit tetapi tidak terlalu hebat. Masa penyembuhan pun tidak terlalu lama sehingga saya bisa beraktivitas kembali.
Sesudah proses laparoskopi itu, terus terang saya trauma dengan kontrasepsi spiral dan lebih memilih untuk menggunakan sistim kalender serta menggunakan kondom yang dianjurkan oleh dokter. Walaupun mungkin metode ini kemungkinan hamilnya besar tapi saya tidak ingin mengambil risiko. Sebenarnya penyebabnya tidak bisa diketahui secara jelas karena kemungkinan ini kecil terjadi namun bisa saja,bukan karena salah posisi atau apa. Pas kebetulan saja terjadi pada saya. Sekarang hampir 2 tahun setelah peristiwa itu terjadi, saya pun positif hamil lagi. Mungkin setelah anak ke-3 ini saya akan konsultasi lebih lanjut dengan dokter mengenai langkah pencegahan kehamilan apa lagi yang bisa diambil selain dari yang sudah pernah saya coba di atas. Rasanya 3 anak sudah cukup :)
*gambar diambil dari sini
Share Article
COMMENTS