Seperti mayoritas ibu pada umumnya, saya pun berniat menyusui Rakata hingga usianya dua tahun. Karena itu, selama cuti melahirkan, saya rajin nyetok ASIP. Semua berjalan lancar. Hingga usia enam bulan, Rakata berhasil ASI eksklusif. Bulan demi bulan berlalu, dan Rakata pun genap berusia satu tahun. Meski stok di freezer sudah jauh berkurang, tapi masih cukup. Wah, mulai optimis bisa terus ASI sampai dua tahun, dong.
Tapi, tiba-tiba saja saat umur 13-14 bulan, Rakata mogok minum ASIP jika ditinggal ngantor. Ayah saya—yang berstatus kakek ASI karena beliau lah yang setiap hari menghangatkan ASIP dan ‘menyusui’ Rakata—panik berat.
Berbagai metode dicoba ayah saya. Yang tadinya Rakata minum ASIP pakai dot, diganti pakai sedotan. Sempat berhasil 1-2 hari, tapi mogok lagi. Pakai sendok? Ah, saya nggak tega meminta ayah melakukannya—meski beliau mungkin nggak keberatan. Nggak terbayang jika ayah saya yang saat itu usianya 67 tahun menyuapi ASIP ke Rakata yang lagi aktif-aktifnya. Maklum saja, ayah saya menjaga Rakata tanpa ART dan babysitter, meski sesekali mama saya membantu (terbalik, ya, di mana-mana biasanya nenek yang ngemong cucu, ini malah kakeknya, hehehe).
Akhirnya, meski sedikit merasa tidakak rela (karena sudah ngos-ngosan menabung ASIP, stok masih ada, tapi anaknya malah mingkem), saya coba kasih susu UHT. Eh, ternyata sama saja, tetap ditolak. Padahal, saya sudah coba berbagai rasa dan merek. Jadi, ya, sudahlah, akhirnya setiap siang selama ngantor, Rakata ‘puasa’ susu—meski pagi dan malam tetap menyusu langsung, apalagi menjelang tidur.
Karena Rakata tidak mau minum ASIP, saya pun berhenti memerah di kantor (kalau bagian yang ini, sih, saya happy, karena jadi nggak perlu berat-berat bawa cooler bag lagi, hihihi). Nah, seiring dengan berhentinya saya memerah, sekitar sebulan kemudian testpack menunjukkan tanda positif. Saya hamil lagi :D
Saya dihadapkan oleh suatu pilihan: menyapih Rakata, atau mau lanjut menyusui? Browsing sana-sini, tanya sana-sini, keputusan saya bulat: saya tetap menyusui Rakata. Toh, kehamilan saya termasuk sehat. Tidak ada flek, tidak ada riwayat prematur, dan sederet ‘syarat’ lain jika ingin menyusui di kala hamil. Suami dan keluarga pun mendukung. Tantangan malah datang dari orang sekitar, mulai dari saran penuh perhatian seperti “Nanti kontraksi, lho …” sampai yang ‘ajaib’ macam “Jangan nyusuin lagi, ASI-nya sudah jadi darah, tuh!” :D
Semua berjalan lancar, hingga sebulan kemudian saat kandungan berusia 2-3 bulan, saya menyadari ada flek di celana dalam! Ditemani suami, saya langsung izin dari kantor dan cek ke obgyn. Syukurlah, setelah dicek tidak ada kondisi membahayakan. Obgyn hanya menyarankan saya bed rest seminggu dan berhenti menyusui. Jujur, hati kecil saya menolak, mengingat usia Rakata baru 15-16 bulan.
Pulang dari obgyn, saya Googling tentang penyebab flek. Ternyata, salah satunya adalah karena gesekan saat berhubungan intim. Hmmm, mengingat malam sebelumnya saya dan suami memang agak ‘hardcore’, saya langsung yakin 300 persen bahwa penyebab flek, ya, akibat kegiatan satu itu, hihihi. Karenanya, saya keukeuh pada keputusan semula: tetap menyusui Rakata. Untunglah, feeling saya tepat. Tidak ada masalah berarti, flek pun nggak pernah muncul lagi. Paling hanya ada perasaan kurang nyaman di puting saat kandungan makin membesar.
Pada 31 Mei 2011, saat Rakata berusia 22 bulan, Ranaka lahir. Di hari Ranaka lahir, untuk pertama kalinya juga saya ‘pisah ranjang’ dengan Rakata. Ayah saya bilang, Rakata memang sempat terbangun di malam hari, tapi tidur lagi setelah dikasih minum air putih. Ah, meski di satu sisi senang dengan kelahiran Ranaka, di sisi lain saya merasa sedikit tidak adil pada Rakata.
Empat malam menginap di RS, tibalah hari saya dan Ranaka pulang ke rumah. Benar dugaan saya, saat melihat Ranaka menyusu, Rakata tidak mau kalah! Jadilah Ranaka menyusu di payudara kiri, payudara kanan disosor Rakata. Di malam hari pun saya ‘digilir’. Nyusuin Ranaka, nyusuin Rakata, nyusuin Ranaka lagi, dst …. Wah, momen itu benar-benar bikin saya merasa jadi sapi perah! Untung saja masih nifas, jadi suami nggak ikutan minta :D
Sebenarnya, saya tidak keberatan tandem nursing, apalagi umur Rakata belum genap dua tahun. Tapi dari pengalaman satu hari menyusui tandem, payudara selalu terasa kosong setiap bocah-bocah selesai menyusu. Saya mulai bingung bagaimana cara menyimpan ASIP buat Ranaka.
Akhirnya, di hari kedua, saat Ranaka lagi menyusu dan Rakata mulai ambil ancang-ancang buat ikutan, iseng-iseng saya bicara, “Raka masih mau nyusu? Nyusu, kan, buat bayi kayak Rana. Kalau Raka nyusu, berarti Raka bayi, dong?” Mendengar ucapan saya, Rakata terlihat berpikir sejenak, lalu langsung menutup muka dengan dua tangan mungilnya sambil tersenyum malu.
Keajaiban terjadi. Setelah saya ngomong begitu, Rakata sama sekali nggak mau menyusu! Saking penasarannya, saya sampai berkali-kali menyodorkan puting ke mulutnya, tapi selalu ditolak sambil tertawa-tawa :D
Waaaah, lega rasanya karena saya nggak perlu menghadapi ‘drama’ penyapihan. Nggak ada pemaksaan bagi Rakata untuk berhenti, dan saya pun terhindar dari rasa bersalah karena nggak memenuhi kewajiban dua tahun menyusui—kan, anaknya sendiri yang self-weaning.
Melihat penyapihan Rakata yang sangat mudah, saya jadi kepikiran, nih. Apakah nanti untuk menyapih Ranaka, saya mesti memberinya adik juga, ya? :D
*Diceritakan oleh Amelia Yustiana (http://ameeel.multiply.com), ibu dari Rakata dan Ranaka.