Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Human Communication Research, memerlihatkan bahwa menonton TV dapat menyebabkan berkurangnya interaksi antara orangtua dan anak. Bahkan juga berdampak buruk pada kemampuan menulis, membaca, dan bahasa anak.
Lebih jauh lagi, hasil penelitian menunjukkan, pada kelompok ibu dan anak yang membaca buku bersama-sama, secara signifikan mempunyai komunikasi yang lebih baik dibandingkan pasangan ibu dan anak yang menonton TV.
Walaupun jumlah komunikasi saat membaca buku tidak secara signifikan lebih tinggi daripada kelompok ibu dan anak yang mainan alat (mobil-mobilan atau boneka). Namun, kualitas respons ibu lebih tinggi ketika anak-anak mereka membaca buku dan bermain dibandingkan menonton TV.
Televisi memang bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Satu sisi menguntungkan, sisi lain membahayakan. Bagian mana menguntungkannya? Jika tak ada televisi, kita mungkin kesulitan mendapatkan gambaran penuh kehidupan anak-anak di pedesaan Papua misalnya lewat program televisi untuk anak, para ayah mungkin tak bisa menyaksikan laga Barcelona atau Liverpool saat gemuruh liga Champion dan banyak lagi.
Tapi sudah menjadi rahasia umum juga bahwa televisi sesungguhnya memiliki bahaya yang mengancam bagi anak-anak kita. Berikut fakta yang saya ambil dari buku Batasi TV dan Nikmati Hidup terbitan Kita dan Buah Hati:
Saya pribadi jujur masih sering menggunakan televisi sebagai ‘pengalih perhatian’. Misalnya kalau lagi GTM (gerakan tutup mulut), maka boleh makan sambil nonton TV atau saat lagi tidak ada ART di rumah tapi saya harus bebenah/masak, maka TV akan menjadi pengasuh sementaranya dan lain sebagainya.
Padahal saat sebelum menikah, saya pernah berkesempatan membuat program kartun untuk anak bersama Ibu Elly Risman, menurutnya perubahan warna, gerak dan suara yang tersaji di televisi saat itu (sekitar 2006) berlangsung sangat cepat yaitu 2-3 detik. Sementara kemampuan otak anak untuk menyampaikan informasi antar sinaps adalah 4-6 detik. Inilah makanya televisi disebut sebagai membatasi daya konsentrasi anak dan menghasilkan anak dengan jarak perhatian 2 detik alias two minutes mind pada anak usia 1-3 tahun.
Perlu diakui, belakangan ini di televisi nasional banyak sekali program-program anak yang cukup bagus. Sebut saja Jalan Sesama, Si Bolang, dan banyak lagi. Tapi sayangnya, saat jeda iklan masih sering disisipkan promo iklan sinetron dewasa. Pernah suatu kali saat menonton sebuah program anak, tiba-tiba Langit berkata, “Wah, kakaknya dipukul sama ibunya, Bu! Kenapa, ya?” Haduuuuh …. *garuk-garuk kepala*
Belum lagi potensi televisi yang merenggangkan hubungan antara keluarga. Pada keluarga yang kerap saya temui, rata-rata memiliki 2 televisi. Untuk apa? Jika yang satu untuk anak, maka yang lain untuk ayah-ibu yang tidak mau ketinggalan menonton program kesukaannya. Bukan begitu, Mommies? *nyengir*
Banyak lagi pengaruh televisi yang dampaknya buruk bagi anak dan keluarga. Tapi akan saya ceritakan di artikel yang lain. Di bawah ini ada beberapa kiat dari Ibu Elly Risman soal bagaimana membatasi televisi:
Jadi bagaimana, parents? Televisi, yay or nay?