Mau tahu kenapa saya begitu menyukai buku ini? Sebagai anak dan yang juga sudah menjadi orangtua, ada satu paragraf yang begitu mengena di hati saya:
"Ayah bilang, kegiatan menulis akan mengajariku melakukan banyak hal sekaligus. Itu kemampuan yang sangat penting untuk aku miliki saat aku sudah bekerja nanti."
Nah, serius, deh, pekerjaan apa, sih, yang tidak mengharuskan kita menulis? Minimal menulis surat pengantar seperti misalnya dokter atau membuat referensi dan laporan akan dilakukan di profesi apa pun.
Perkara tulis menulis, saya pribadi harus berterimakasih kepada ayah saya yang menurunkan gen rajin menulis pada saya dan kakak. Sejak kecil beliau rajin mencekoki kami dengan berbagai buku bacaan hingga akhirnya kami terbiasa merangkai kata menjadi sesuatu yang bisa dibaca oleh orang lain. Memang, kami bukan penulis profesional (eh, kakak saya, sih, ya. Dia wartawan), tapi setidaknya kami tak akan keberatan atau kesulitan jika diminta menulis.
Buku The Diary of Amos Lee, Hasil Renungan Nongkrong di WC menceritakan tentang anak berusia 9 tahun yang awalnya dipaksa menulis tentang apa pun saat ia sedang melakukan "urusannya" di kamar kecil.
Berawal dari keterpaksaan, lama-lama Amos jadi terbiasa menulis. Di sinilah berbagai keseruan terjadi. Misalnya, seringkali Amos salah menulis sebuah kata, maka ibu Amos akan mengoreksi ejaan/istilah yang harus digunakan untuk sebuah kata. Berkat belajar dari kesalahan, Amos jadi rajin melakukan riset terlebih dahulu, dengan begitu Amos jadi tahu lebih banyak hal.
Menuliskan perasaannya di diary, Amos belajar berempati terhadap orang lain. Amos bercerita tentang seorang senior di sekolahnya yang terus menerus mengganggunya, tapi belakangan diketahui bahwa senior itu memiliki latar belakang keluarga yang menyedihkan. Amos kemudian bermain dengan perasaannya sendiri, bagaimana seandainya ia yang berada di posisi si senior itu.
Saya mengetahui buku ini dari Ginatrie S. Noor, CEO Plot Point, penulis yang begitu bersemangat menceritakan kisah Amos Lee. Awalnya saya sempat berpikir, “Apa, sih, bagusnya sampai seseorang yang biasanya kritis terhadap tulisan bilang ini bagus banget?” Akhirnya saya membacanya dan ternyata benar, bagus banget!
Adeline Foo, sang penulis begitu cerdas menulis dengan kata-kata sederhana sehingga menjadi sebuah cerita dari sudut pandang anak sekolah dasar. Plusnya juga, sebagai orangtua bisa ngintip apa yang ada di pikiran anak jika kita melakukan sesuatu untuk mereka atau mengetahui apa yang ada di pikiran mereka saat melakukan sesuatu. Di sini ada cerita tentang Amos yang memakai lipstick milik ibunya setelah menonton film horor tentang kuntilanak (Pontianak), setelah dimarahi, Amos bilang ia hanya ingin melihat wajahnya jika ada darah di mulutnya. Hehehe .…
Ceritanya memang sederhana, tapi yang saya bisa ambil pelajarannya adalah mengajarkan anak menulis. Dimulai dari hal sederhana, yaitu menulis jurnal harian. Dengan menulis, anak bisa mengenali perasaan dan keinginan atas sesuatu. Bukan berarti membiasakan anak menulis, kita mendorong ia menjadi penulis, lho, Moms, tapi proses kreatif yang terjadi saat anak menuangkan ide menjadi sebuah tulisan itu yang perlu kita hargai.
Buku keluaran Buah Hati ini sudah sampai seri yang kedua. Judulnya The Diary of Amos Lee, Renungan di WC, Tentang Pertandingan, Anak Cewek, dan Kemenangan! Dan kabarnya, yang ketiga akan segera dirilis!
Saya akan meminta Langit menulis tangan jurnal segera setelah ia lancar menulis seperti yang saya lakukan hingga saat ini. Jadi ... yuk, kita ajak si kecil menulis!