Tepat pada hari Kartini lalu saya berkesempatan hadir di acara “Ngobrol Santai: Perjuangan Kartini untuk Autisme” yang diadakan oleh Ngerumpi.com. Meskipun hanya pernah memiliki kesempatan sebentar mengajar 1 anak autis, saya tertarik juga mendengarkan sharing dari Dr. dr. Y. Handoyo, MPH (kepala dan pemilik AGCA Centre Surabaya).
Selanjutnya ada pula sharing dari Ibu Vika Wisnu (penggagas Walk4AutismSby sekaligus ibu dari anak penyandang autis) dan Ibu Silly (pendiri Blood For Life sekaligus ibu dari anak penyandang autis).
Beberapa poin yang saya ambil dari sharing Dr. Handoyo, yang mendalami perihal autisme karena salah satu anaknya juga adalah:
Definisi & gejala autisme:
Autisme adalah suatu hambatan perilaku. Ciri-cirinya adalah gejala mulai tampak sebelum usia 3 tahun. Jika gejala muncul setelah usia 3 tahun, itu bukan termasuk autisme.
Tiga perilaku yang menandakan autisme: (1) ketidakmampuan sosialisasi (tidak ada kontak mata, cuek ketika dipanggil, tidak bisa bergaul dengan teman sebaya), (2) ketidakmampuan berkomunikasi (mampu menirukan kata tapi tidak mampu menggunakannya, berceloteh “bahasa planet”), (3) adanya perilaku autistik (gerakan yang diulang-ulang, sulit bercanda, tidak bisa main pura-pura)
Dua jenis autisme berdasarkan waktu munculnya gejala: (1) Classic Autism – sejak lahir, (2) Regressive Autism – setelah anak berusia 1 atau 2 tahun
Dua jenis autisme berdasarkan sifatnya: (1) hiperaktif, (2) tidak hiperaktif
Terapi autisme:
Satu pesan penting Dr. Handoyo: Lebih baik anak normal dikira autis dan terlanjur diterapi daripada anak autis dikira normal dan terlambat diterapi.
Terapi harus dilakukan sebelum usia 3 tahun. Jika setelah 3 tahun, biasanya akan ada perilaku autistik yang terus menetap.
Terapi autisme dimaksudkan menekan perilaku autistik dan menumbuhkan perilaku wajar pada anak. Tujuannya adalah anak mampu berperilaku seperti anak-anak yang lain (dan diharapkan akhirnya bisa masuk sekolah reguler).
Terapi autisme harus dilakukan minimal 8 jam sehari dan dapat berlangsung sampai 3 tahun. Jumlah terapis sebaiknya lebih dari satu (3 orang) supaya anak tidak ketergantungan pada terapis tertentu, bisa dilakukan sistem bergiliran.
Banyak anak autisme setelah diterapi dapat masuk ke sekolah reguler. Bahkan ada yang mampu bersekolah sampai S2 dan S3. Jadi selalu ada harapan!
Ada beberapa metode terapi yang terkenal: (1) Metode Kauffman (kita masuk ke dunia anak), (2) Metode ABA (kita menarik anak keluar dari dunianya), (3) Metode Glenn Doman.
Metode Kauffman dan Glenn Doman belum terstruktur sehingga pelaksanaannya sulit, sehingga Dr. Handoyo menyarankan metode ABA yang sumbernya banyak sekali di internet dan buku-buku.
Tiga prinsip penanganan autisme metode ABA: (1) ada kehangatan dan kasih sayang, (2) tegas namun tanpa kekerasan, (3) ada imbalan sehingga anak mengerti perilaku target
Kepatuhan dan kontak mata adalah kunci terapi. Enam emosi negatif yang harus dihindari pada saat terapi: jengkel, marah, cemas, khawatir, malu, kasihan.
Tips mendeteksi autisme:
Anak autis tidak bisa melakukan kontak mata
Bayi sejak 3 bulan sudah bisa "senyum sosial" (membalas senyum) dan terkejut ketika ada suara keras. Anak autis tidak.
Anak autis nyaman bermain dengan anak lebih kecil atau yang jauh lebih tua; susah bermain dengan teman sebaya.
Dr. Handoyo dalam bukunya “Autisme Pada Anak: Metode ABA Basic” menuliskan 12 sub-gejala autisme. Jika anak memiliki 6 gejala, dia termasuk autis. Jika anak memiliki 4 gejala, dia termasuk PDD-NOS (mild autism).
Sementara itu sharing Ibu Vika dan Ibu Silly menunjukkan bahwa memang harus ada komitmen khusus seluruh keluarga, terutama orangtua, untuk serius menangani anak autis. Komitmen itu penuh pengorbanan tetapi Ibu Vika dan Ibu Silly begitu bangga dan mencintai anak-anaknya. Dalam acara tersebut Ibu Vika mengajak anaknya yang autis tetapi sudah pulih. Saya tidak dapat mempercayai anak yang pengertian, pintar, aktif, dan penurut itu adalah anak autistik!
Satu pesan yang saya ingat betul dari sharing Ibu Vika dan Ibu Silly adalah: “Orangtua harus menerima keadaan anaknya terlebih dahulu sebelum bisa menolong anaknya.”
Mommies yang Tuhan percayai untuk mengasuh dan mencintai anak autistik, harapan untuk anak-anak tersebut sangat besar dan kami yakin Mommies pasti sanggup! Semoga tulisan ini berguna untuk Mommies. Dan buat kita semua yang membaca, jangan kasihani anak autis, kasihilah mereka. Jangan cuma bersimpati, berempatilah!
*Dikirim oleh Fanni Leets (@fannileets)