Saya pertama kenal dengan sahabat saya ini, sekitar tahun 2004. Setelah itu kontak kami hanya sebatas Friendster atau sms dan telpon. Beberapa waktu lalu, saya mendengar kabar yang menurut saya cukup mengejutkan tentangnya. Ia saat ini hidup dengan virus HIV positif. Sebuah virus yang sangat terdengar menakutkan.
Saat itu saya bingung, apa yang harus saya lakukan. Saya googling namanya dan saya menemukan bahwa saat menikah ia sering disiksa oleh mantan suaminya. Bagaimana memulai percakapan dengannya? Harus berbasa-basi atau harus gimana? Bagaimana kabar anaknya?
Ternyata Suksma Ratri, single mom dari Adinda Srikandhi (6 tahun) malah saat ini aktif dan giat mengampanyekan tentang mereka yang hidup dengan AIDS. Terakhir ia duduk di Coordination of Action Research on AIDS and Mobility Asia (Malaysia) sebagai Program Officer untuk Taskforce for Empowerment of Migrants Living with HIV. Dan sekarang ia menjadi Independent Consultant, membantu LSM yang perlu bikin program dan pengembangan CSR (Coorporate Social responsibility) serta UNAIDS dan lembaga internasional lainnya untuk jadi narasumber kalau diperlukan.
I’m very proud of her!
Berikut hasil ngobrol-ngobrol saya dengannya :
Saya dapat hasil tes tanggal 15 Mei 2006, jadi saya baru "ulang tahun" ke 4 nih tahun ini loh.
Marah. Soalnya mantan suami saya sudah pernah saya ajakin tes sebelum married, tapi dia bilang udah pernah tes dan hasilnya negatif, padahal dia belum pernah tes sama sekali sebelumnya.
Jadi saya marahnya bukan karena tertular, tapi karena dibohongin.
Nggak ada, karena saya tau HIV itu nggak mematikan walaupun belum ada obatnya. Yang bisa mematikan itu sebenernya Infeksi Oportunistik yang sering menyerang orang dengan HIV. Infeksi ini biasanya TB Candidiasis, Meningitis atau Toxoplasmosis. Infeksi-infeksi ini sebenernya bisa menyerang siapa aja, tapi kalau menyerang pengidap HIV, biasanya situasinya jauh lebih buruk daripada orang lain karena sistem kekebalan tubuh yang menurun drastis. Infeksi-infeksi ini sifatnya oportunis, jadi mereka memanfaatkan sistem kekebalan tubuh yang rendah untuk memperburuk kondisi pengidap.
Keluarga dekat saya semuanya menerima keadaan, saya rasa karena saya juga nggak panik saat ngasih tau. Rasa sedih dari beberapa anggota keluarga udah pasti ada, tapi saat mereka liat kalo saya baik-baik aja akhirnya nggak ada kekhawatiran lagi.
Saya rasa untuk memerangi stigma dan diskriminasi itu harus dengan keterbukaan dan kejujuran, selain itu juga dengan penerimaan diri. Sekarang keluarga saya sudah terbiasa dengan status HIV saya mereka semua ngeliat bahwa saya baik-baik aja.
Bahkan malah kayaknya kadang mereka lupa sama status saya, saking "normal"-nya kehidupan saya.... =)
Anak saya dites bareng sama saya. Awalnya karena mantan suami sakit dan dokternya curiga. Akhirnya dia dites di rumah sakit. Waktu hasilnya positif, saya dan anak saya disarankan untuk tes juga. Alhamdulillah, anak saya hasilnya negatif.
Sebenernya saya pengen kerja di LSM HIV tuh udah lama. Jauh sebelum saya kerja jadi PR Officer hotel, tapi saya nggak ada kenalan dan nggak punya informasi. Baru setelah tahun 2002 saya punya kenalan di Rumah Cemara.Tapi itu juga nggak langsung dapet kerjaan di situ. Saya baru dapet kabar ada lowongan di Rumah Cemara pas tahun 2006. Langsung aja saya ngelamar. Pas ngirim lamaran sih saya belum tes, jadi saya belum tau kalo saya positif. Tapi waktu saya diterima kerja, saya udah positif.
Jadi sebenernya keinginan kerja di LSM tuh bukan karena status HIV. Memang saya pengen aja kerja di LSM. Kebetulan waktu itu juga saya udah jenuh banget jadi PR hotel, kayak ada yang kurang sreg sama kerjaan saya. Terlalu banyak basa basi dan susah buat jadi diri sendiri. Saya ngerasa, walaupun saat itu saya enjoy, kerjaan saya sebagai PR tuh nggak memberikan kepuasan batin.
Nggak ada yang saya sesali. Dari sebelum menikah saya udah tau kalo calon suami saya tuh mantan pengguna napza suntik. Dia juga cerita banyak kalo dulunya dia sering sharing jarum suntik sama temen-temen pakaunya. Saya saat itu udah tau sedikit-sedikit tentang penularan HIV, makanya saya minta dia tes. Maksud saya saat itu sekedar buat pengetahuan aja. Apapun hasilnya, nggak akan merubah keputusan saya untuk menikah dengannya. Tapi dia nolak dan malah bilang udah pernah tes segala.
Saya selalu nyoba buat bersikap positif. HIV itu bukan vonis mati kok, lagipula kemajuan ilmu kesehatan sekarang juga udah memungkinkan untuk orang-orang yang terinfeksi HIV untuk punya harapan hidup lebih tinggi, punya anak yang negatif dan menjaga pasangannya untuk tetap negatif juga. Buat saya, HIV ini mungkin menutup satu pintu dalam hidup saya, tapi dia juga membuka seribu jendela. I see it as a blessing in disguise.
Saya selalu sempatin berkomunikasi sama anak. Kalau saya lagi nggak traveling, saya pasti luangkan waktu buat dia. Biarpun itu cuma sekedar main di rumah atau bantu dia ngerjain PR. Yah, normal banget kok, seperti layaknya seorang ibu!
Biasanya kita main games seperti ular tangga atau dakon. Saya nggak bolehin anak saya sering-sering nonton TV, kalau mau, kita nonton DVD bareng. Biasanya film anak-anak yang berbahasa Inggris, sekalian ngelatih bahasa Inggrisnya juga. Sekali-sekali kita pergi ke playground, karena anak saya kan aktif banget. Dia sukanya pergi ke playground semacam Jump & Gym, yang bisa lari-lari atau naik-naik.
Wah... banyak. Orang masih berpikir kalau yang bisa kena HIV tuh cuma orang-orang yang nggak beriman atau punya gaya hidup bebas. Stigmanya masih besar banget. Apalagi untuk perempuan. Orang sering berpikir perempuan yang HIV-positive itu hanya pekerja seks atau yang nggak setia sama suami, padahal kan nggak begitu. Saya dulu setia sama suami saya kok, toh tetap aja terinfeksi kan? Setiap orang punya resiko tertular, kita nggak pernah tahu. Dulu, waktu kerja di Rumah Cemara, tugas saya mendampingi klien-klien yang HIV-positive. Banyak banget ketemu istri-istri yang depresi waktu kedapatan tertular HIV. Mereka setia sama suami, jadi mereka kira kemungkinan untuk tertular tuh nggak ada, padahal salah banget. Kadang waktu konseling suka ketahuan kalo suaminya dulunya pernah jadi pengguna napza suntik, dan sharing jarum. Walaupun udah brenti pake, resiko tetap sama besarnya. Yang udah brenti pakau 10 taun yang lalu resikonya sama besarnya sama yang baru brenti kemarin. Hal-hal seperti itu yang kadang nggak disadari sama orang.
Saya juga paling sebel kalo orang beranggapan bahwa orang-orang yang mengidap HIV tuh nggak bisa produktif dan berkarya, sampe harus dipecat segala. Padahal orang dengan HIV yang bisa menjaga kesehatannya, bisa bertahan tanpa dibantu obat sampai 20 tahun lho. Dan selama itu pula dia akan sehat layaknya orang lain. Bisa kerja, bisa berkarya dan bisa produktif. Sebenernya yang membedakan kan cuma sistem kekebalan tubuhnya aja. Kalau orang dengan HIV, sistem kekebalan tubuhnya lebih lemah daripada orang yang negatif, tapi bukan berarti kalau kita sakit terus nggak bakalan sembuh.
Saya harap sih anak saya tumbuh dengan sehat dan cerdas dan nantinya bisa menerima bahwa bundanya seorang pengidap HIV.
Harapan buat Indonesia sih, kalau bisa kasih perhatian lebih banyak untuk orang dengan HIV; hilangkan stigma dan diskriminasi, karena hal-hal itu hanya akan membuat orang jadi semakin takut dengan HIV (padahal nggak ada yang perlu ditakuti).
Kalau buat masyarakat luas sih, saya harap nggak ada lagi yang memvonis negatif terhadap orang yang mengidap HIV, karena siapapun bisa tertular.
Dinda belum tau status HIV saya. Ngasih tau anak soal status HIV orang tua juga hal yang tricky. Banyak studi kasus di beberapa negara menyebutkan kalau mau ngasih tau status kita, tunggu sampai umur anaknya minimal 10 tahun. Maksudnya karena pada umur 10 tahun si anak biasanya udah punya daya pikir dan analisa yang lebih progresif, jadi kemungkinan untuk mengerti dan sekalian memahami soal infeksi HIV akan lebih besar.
Wow, saya kagum dan setuju banget dengan semangatnya ini! Selalu ada pelangi setelah hujan kan? All the best for you, Suksma :).