Begitu punya anak, banyak hal baru yang mau nggak mau harus dipelajari. Salah satunya adalah masalah kesehatan. Untungnya, saya, dan juga para ibu masa kini lainnya, punya fasilitas internet di kantor maupun di Blackberry. Sehingga saya bisa dengan mudah browsing ke situs-situs kesehatan paling top, juga ke berbagai milis yang memiliki penasihat profesional dari kalangan medis. Selain itu, Alhamdulillah saya memang hobi browsing. Jadi banyak informasi yang saya dapat dan simpan rapi untuk bahan bacaan kelak.
Tapi tentu saja bahan bacaan semacam itu belum cukup. Itu kan cuma teori. Apalagi kadang, kebanyakan informasi malah bikin pusing sendiri. So, anak tentu butuh dokter juga kan? Lagi pula, saya sadar diri bahwa saya nggak punya background pendidikan dan pengalaman medis apapun. Nah, di sinilah peran dokter spesialis anak (DSA) dibutuhkan, sebagai partner orangtua untuk masalah kesehatan anak.
Namun, untuk memilih DSA yang oke pun susah-susah gampang. Karena ya itu tadi. DSA harusnya menjadi partner orangtua. Jadi harus bisa diajak kerjasama serta punya kecocokan dan visi misi yang mirip-mirip lah. Dan lagi-lagi, untunglah, saya terkoneksi ke internet, sehingga bisa langsung googling reputasi si dokter plus obat-obat yang dia resepkan. Apakah oke, aman atau bahkan jangan-jangan sudah ditarik dari peredaran di luar negeri (pernah ada kasus begini soalnya nih).
Lantas kriteria DSA ideal menurut saya bagaimana? Kalau saya sih, yang penting si DSA komunikatif dalam artian mampu menjelaskan secara gamblang dan enak diajak berdiskusi. Selain itu, dia juga nggak hobi kasih obat kecuali perlu, gampang dihubungi dan kalo bisa nggak usah antri. Berikut ini adalah daftar DSA yang pernah saya kunjungi untuk Nadira:
Pas Nadira lahir di sebuah rumah sakit di Jakarta Timur, dia langsung ditangani oleh dr. S. Dari hasil googling, saya dapat info dr. S ini adalah seorang dokter anak senior yang punya spesialisasi di bidang alergi pernafasan CMIIW. Agak lega lah dengernya.
Di hari ketiga Nadira muncul di dunia, bilirubinnya naik dan si dokter menyarankan untuk disinar. Terus di hari berikutnya, dia keukeuh nggak memperbolehkan Nadira pulang karena menurutnya, kadar bilirubin Nadira belum normal. Saya tanya ke beberapa teman yang juga dokter, plus googling dan browsing. Semua bilang sebenarnya dengan bilirubin segitu, Nadira sudah nggak perlu disinar lagi. Tapi namanya Nadira anak dan cucu pertama, suami dan mertua minta supaya kami mengikuti perintah dr. S aja.
Kita ke dr. S 1-2 kali lagi untuk imunisasi. Dia meresepkan vitamin karena melihat Nadira nggak montok-montok amat. Padahal waktu itu Nadira masih ASI Eksklusif, yang sependek pengetahuan saya, nggak perlu dikasih vitamin apa-apa.
DSA ini cantik, lembut, good looking banget lah. Kita ke DSA ini modal cap-cip-cup karena cuma mau imunisasi Nadira. Hubby yang memilih dia dengan pertimbangan, pasiennya nggak antri. Terus, DSA cewek harusnya sih lebih lembut because she’s a mom, right?
Hasilnya, Nadira yang saat itu umur 7 bulanan disuruh minum susu formula tambahan untuk menambah berat badan (sampai ditulis merk sufornya apa supaya nggak salah beli). Terus dikasih resep vitamin segambreng. Yang ada keluar dari situ saya jadi marah-marah sendiri. Bukannya apa-apa. ASI saya masih cukup untuk Nadira. Meski harus jungkir balik merah di sela-sela pekerjaan yang hectic banget, saya masih bisa mencukupi kebutuhan ASI-nya. Jadi saya pikir, dia belum perlu ditambah dengan sufor.
Dokter ini juga hasil pilih cap-cip-cup di RS yang sama dengan sebelumnya. Hubby memilih dia karena dr. H setiap hari praktik. Jadi, pertimbangan kita, kalo Nadira kenapa-kenapa, kita nggak perlu nunggu sampe jadwal praktik berikutnya. Selain itu, antrian dr. H ini gak panjang-panjang banget. Jadi nggak perlu antri berjam-jam gitu, hehehe.. *pemalas* Terus terang, sempet deg-degan juga sih karena takut dr. H nggak beda jauh sama DSA-DSA sebelumnya.
Kesan pertama, pas masuk ke ruang praktik, dr. H lagi BBM-an. Ternyata dia lagi membalas pertanyaan pasien yang diajukan via BBM. Okay, good point. Terus dia juga nggak suka kasih obat macem-macem dan nggak pernah kasih antibiotik tanpa tes darah terlebih dahulu. Selain itu, dia nggak hanya memberi saran dari kacamata seorang DSA. Dia juga memberi saran dari kacamata seorang ayah, karena usia anaknya nggak beda jauh sama Nadira. This is important, at least for me, because I think, a father knows what’s best for his children.
Oleh karena itu, dia nggak hanya memperhatikan keluhan penyakit atau pertanyaan yang kita lontarkan. Saat kita lagi imunisasi Nadira di usia 14 bulan, dia tiba-tiba tanya “Nadira udah bisa bicara belum? Daritadi saya perhatikan baru uh-ah dan sepotong-sepotong aja ya?” Setelah gue dan hubby cerita, dia pun memberikan saran-saran supaya kita melatih Nadira bicara lebih intensif lagi. It means, he listens, examines and pays attention to his patients, right?
Cukup bikin kagum aja sih karena saya dan hubby sama sekali nggak menanyakan hal itu. Selama ini kami pikir, nggak ada masalah dengan kemampuan verbal Nadira. Alhamdulillah, habis dari situ, perkembangan kemampuan verbal Nadira pun tumbuh dengan pesat sampai sekarang.
Another plus point is, he’s very contactable. Just send him a message via SMS or email, he’ll answer it ASAP. Pas Nadira muntah-muntah weekend kemarin, saya mengirimkan sms ke dr. H Subuh-Subuh tanpa berharap langsung dibalas. In just a few seconds, dia membalas sms saya dengan beberapa saran. Pas saya tetap dateng periksa di sore harinya (dipaksa oleh mertua dan hubby yang merasa nggak afdol kalo nggak periksa ke dokter langsung), dia malah bilang “Lho kan tadi pagi udah saya kasih jawaban lewat sms? Kenapa dateng juga? Sayang lho harus bayar biaya konsultasi.”
Kita ke DSA ini gara-gara suatu hari Nadira demam, tapi dr. H nggak praktik. Jadilah hubby memaksa untuk tetap ke DSA, cap-cip-cup gitu. Dapet deh DSA ini.
Kesan pertama, dia lebih cocok jadi MC atau entertainer ketimbang DSA. Gayanya flamboyan banget. Terus, sepanjang periksa Nadira, dia bolak-balik mengomeli saya yang dia anggap sok tahu karena sebelumnya cuma pengen home treatment sambil observasi demamnya dulu. Maklum, demam Nadira baru berlangsung pagi hari sebelum sorenya kami bawa ke dokter. Anaknya masih jumpalitan nggak keruan plus masih mau makan banyak. Saya juga sudah tanya-tanya ke teman yang lagi kuliah kedokteran, dia bilang nggak apa-apa. Tapi si dr. X tetep nggak terima argumentasi saya dan menganggap saya sok tahu.
Even worse, dia menyuruh saya untuk langsung menyapih Nadira dengan alasan “Kalo nggak nenen, makannya akan banyak dan anak Ibu jadi lebih gemuk.” Oh ya, dia juga menyebut anak saya, secara implisit, “jelek” dengan bilang “Ini rambutnya dihabisin aja kek Bu, terus dipakein pita. Kan jadi lebih cantik daripada sekarang.”
Okay, enough. He pushed the wrong button here. Makanya sepanjang Nadira diperiksa, saya pun duduk dengan bibir manyun dan muka jutek. Sumpah deh, sebel banget sama dr. X.
Overall, saat ini option DSA untuk Nadira cuma ada dua. Ke dr. H atau kadang-kadang ke Markas Sehat yang dikelola oleh Yayasan Orangtua Peduli. Terus untuk konsultasi via Twitter, saya juga suka mencuri ilmu dari dokter @endahcitraresmi, DSA di sebuah rumah sakit di Kemang, Jakarta Selatan. Sebenarnya saya pengen juga sih ke RS itu, tapi apa daya kejauhan euy. Lagi pula, rada capek juga sih pindah-pindah DSA terus. So, until now, I’m quite satisfied with the pediatricians I’ve chosen for my baby. How about you, Mommies? Ada tips khusus untuk memilih DSA dan apa yang membuat Mommies akhirnya memilih DSA yang kalian pakai sekarang?
*gambar diambil dari sini
*dikirim oleh Ira, ibu dari Nadira, 19 bulan.