Cukup Satu Saja

Parenting & Kids

affi・03 May 2010

detail-thumb

Sebagian besar dari kita pasti sudah tahu kan mau punya anak berapa? Rata-rata teman yang saya tanya mengaku ingin punya anak dua. Ada juga yang tiga bahkan empat! Tapi di antara teman-teman saya ada juga yang pilihannya sedikit berbeda dari kebanyakan orang, karena mereka hanya mau mempunya satu anak saja.

Untuk tau lebih banyak mengenai alasan dibalik keputusan tersebut dan bagaimana mereka menyikapi pandangan orang lain dan tentunya pertanyaan dari si anak tunggal sendiri, saya sudah ngobrol-ngobrol dengan 2 orang teman saya dan 1 kakak saya sendiri :D : Novi (mama dari Sidra, 7 tahun), Linda (mama dari Nanda, 14 tahun ) dan Leila (mama dari Yoko, 4 tahun). Ini hasilnya!

Ada alasan khusus mengapa memilih hanya punya satu anak?

Novi: Hidup tidak akan bertambah gampang, dan dunia tidak akan bertambah baik. Dengan hanya punya satu anak, saya berharap akan lebih bisa memusatkan semua usaha dan perhatian pada perkembangan dan pendidikannya.

Linda: Nggak ada alasan khusus, sih. Jaman masih muda dulu niatnya pingin punya 4 anak (gaya bener!) Setelah beneran punya satu dan ngurusin anaknya, jadi ga kepikiran mau punya anak lagi. Tapi bukan karena takut proses melahirkan atau kecapean ngurusin, lho. Ngga ada trauma apa-apa, sumpah. Emang nggak ada niat aja.

Leila: Sebenarnya alasannya ada beberapa. 1. Klise: ekonomi, kalau cuma hamil, melahirkan saja mungkin tidak seberapa, tetapi sekolah sekarang sudah sangat tinggi biayanya. Memang best case scenario-nya anak kita pintar, tidak perlu biaya banyak, tetapi kita sebagai orang tua harus siap dan merencanakan dengan baik biaya sekolah anak hingga sampai di batas yang mereka inginkan. 2. Saya darahnya rhesus positif, sedangkan suami rhesus negatif. Saya baca kalau pasangan dengan rhesus yang berbeda risikonya makin tinggi pada anak kedua dan berikutnya keguguran. Karena jika janin mengikuti golongan darah suami, rhesus negatif, begitu dialiri dengan darah saya akan terjadi keracunan sehingga akan meninggal di dalam kandungan, tetapi ini sebenarnya bukan faktor utama. Saya dan suami cukup yakin kalau Tuhan menghendaki, apapun bisa terjadi. 3. Kami berpikir jika kami diberikan rezeki lebih, mengapa tidak membaginya dengan yang kurang beruntung, seperti mengangkat anak asuh dari keluarga kurang mampu atau malah mengangkat anak secara resmi.

Apakah ini keputusan bersama dengan suami?

Novi: Walaupun suami saya bukan ayah kandung Sidra, tetapi keputusan ini merupakan keputusan kami bersama. Suami saya sangat memperhatikan pendidikan Sidra, dan ia setuju bahwa dengan hanya punya satu anak, kami akan lebih bisa memusatkan perhatian pada pendidikan Sidra.

Linda: Iya. Sebenernya nggak bener-bener diputusin: OK, nggak punya anak lagi yaaa. Seiring berjalan waktu, dua-duanya nggak pernah membahas soal pertambahan anak. Sampai suatu saat gue pernah beneran nanya, mau anak lagi? Dengan muka lempeng dia bilang: Udah, ah. Ya sama dooong. Bereslah jika demikian.

Leila: Ya. Sebenarnya akhir-akhir ini saya cukup ingin menambah anak. Suami sebenarnya mendukung saja, tetapi mengingat usia yang sudah cukup ‘banyak’ (37 tahun ini) kok agak sangsi apa saya bisa menjalani tuntutan fisik sebagai ibu hamil lagi seperti 5 tahun yang lalu.

Bagaimana tanggapan keluarga besar? (Orang tua, om, tante, kakak, adik? :D)

Novi: Hal biasa jika orangtua berharap bahwa Sidra akan mendapatkan adik, dan Ibu saya juga beberapa kali menanyakan hal itu. Yang bisa saya lakukan adalah berusaha menerangkan alasan saya dan suami hingga memutuskan hal tersebut. Kebetulan Ibu juga tidak memaksa, dan pada akhirnya menyerahkan semua keputusan kepada kami.

Linda: Jaman anak gue masih kecil, pasti sering lah dapet pertanyaan sejenis, "Kapan nambah?" atau "Nggak mau nambah?". Terutama dari orang tua kedua pihak. Gue hanya menjawab dengan jujur, "Nggak". Lama-lama nggak ada lagi kok yang nanyain.

Leila: Orang tua tentu sering mempertanyakan awalnya. Oom dan tante (yang jarang bertemu) juga pasti nyeletuk “Udah cukup besar ni anaknya, kapan mau dikasih adik?” Tapi saya jelaskan saja kalau kemungkinan besar kami hanya ingin punya anak satu. Semakin ke mari sepertinya mereka juga akhirnya terima-terima saja. Saya kira keputusan kami juga di masa sekarang ini cukup realistis melihat kondisi.

Anak kamu sering minta adik nggak waktu kecil?

Novi: Sewaktu berumur kira-kira 5 tahun, Sidra pernah meminta adik bayi, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Alasan Sidra waktu itu adalah ingin punya teman bermain, mungkin ia melihat teman-temannya bermain dengan adik. Tetapi sejak ia mengerti bahwa adik bayi akan tumbuh besar dan menjadi anak lain yang butuh tempat dan perhatian sama besar dengannya, Sidra tidak ingin lagi punya adik. Sekarang Sidra hanya ingin punya anjing untuk teman bermain.

Linda: Nggak pernah. Setiap ditanya begitu oleh siapapun anak gue selalu jawab nggak mau. Pernah juga dia jawab, "Maunya punya kakak". Kayanya ini jawaban standar anak pertama umur 4-5 tahun kalo ditanya begitu. Soalnya gue pernah denger beberapa orang cerita begini soal anaknya. Dalam hal anak gue, mungkin salah satu sebabnya karena dia nggak pernah dikenalin ama konsep bahwasanya suatu saat kamu akan punya adik.

Leila: Ya, kurang lebih satu tahun yang lalu.

Kapan dan gimana cara ngejelasin ke dia kalau dia nggak akan punya adik?

Novi: Saya mulai menjelaskan hal ini kepada Sidra waktu ia mulai minta adik. Penjelasannya tidak jauh berbeda dengan poin pertama di atas, tentunya dengan bahasa yang lebih sederhana, misalnya: 'Mama dan Papa ngga pengen anak lain, pengennya perhatiin Sidra aja.'

Linda: Gue amat sangat beruntung karna ngga harus memberi penjelasan apa-apa. Untuk urusan ini, ibu, bapak dan anak bisa kompak.

Leila: Ketika dia minta, “Bu, Yoko pengen adik” saya jelaskan saja ke dia, kalau sebenarnya kami pengennya punya anak satu saja. Saya juga jelaskan proses hamil dan melahirkan. Bahkan dia sudah menangkap sendiri proses tersebut ketika melihat salah satu adik ipar saya melahirkan dan sempat berpikir kalau semua proses kelahiran itu melalui operasi dan menginap di rumah sakit lama. Tadinya dia sulit menerima, tetapi sekarang jika saya tanya: “Yoko masih pengen punya adik?” dia jawab: “Enggak ah bu, Yoko ngga mau ibu dioperasi dan nginep lama di rumah sakit” kalau saya bilang tidak semua orang melahirkan harus dioperasi dan menginap lama di rumah sakit dia sekarang sudah bisa bilang: “Kalau Yoko mau punya adik, kita ambil adik bayi yang  dari pengemis aja bu, lagian Yoko juga udah punya kakak Jojo dan dedek Aluf (sepupu-sepupunya).

Pernah ngerasa 'sepi' krn cuma ada 1 anak? Bagaimana nanti kalau dia sudah besar?

Novi: Sekarang Sidra baru berumur 7 tahun, jadi saya belum tahu bagaimana nanti jika dia sudah besar. Tapi menurut saya, berapapun jumlah anak yang kita miliki, pada akhirnya mereka akan punya kesibukan sendiri dan berkeluarga sendiri. Tugas saya adalah untuk mempersiapkan dia untuk hidupnya sendiri nanti, dan bukan tugas anak untuk menemani saya agar tidak kesepian.

Tetapi untuk menjawab pertanyaan di atas, sampai saat ini saya belum merasa kesepian. Kegiatan Sidra di luar rumah memang makin banyak, tetapi demikian juga waktu yang butuhkan untuk kegiatan saya sendiri. Saya rasa kami berubah dan berkembang bersama-sama, dan hal itu merupakan bagian menyenangkan dari kehidupan berkeluarga.

Linda: Nggak. Anak gue udah besar, nyaris 14 tahun. Gue selalu kalah sibuk ama dia. Jika diumpakan artis, ini anak selalu fully-booked. Kalo bukan sekolah, dia main ama temen-temennya entah di rumah atau di luar rumah. Andaipun ga ada temen-temennya di rumah, dia asik main sendiri. Sekarang lagi tergila-gila main game online.

Sejauh ini gw belom pernah kesepian, Alhamdulillah.

Leila: Au contraire. Saya sangat menikmati jadi orang tua dari Yoko, anak perempuan saya. Sekarang memang saya merasa sepi kalau dia menginap di rumah ibu atau mertua saya. Tetapi saya membayangkan juga betapa nikmatnya ketika dia sudah cukup besar untuk bertukar pikiran dengan kami, seperti teman, bukan orang tua dan anak. Dan betapa nikmatnya melihat dia dewasa dan bisa membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa harus bergantung kepada kami, kami hanya sebagai ‘pemberi saran’. When that happens, we’ll get back to play our other roles. Karena banyak peran saya dan suami yang kami jalani saat ini. Mungkin menjadi orang tua sekarang merupakan bagian terbesar, tetapi yang lain juga telah menunggu untuk mengambil porsi besar dari hidup kami. Sekarang keluarga kecil kami rasanya sudah cukup ramai. Mungkin kadang-kadang saya kasian melihat Yoko yang kurang interaksi dengan teman sebaya. Tetapi saya kira pada saat dia masuk sekolah setiap hari, hal ini bisa diatasi.