Katanya tidak ada yang bisa mengasuh anak sebaik ibu. Benar nggak ya?
Berikut ini kisah Jessy Faiz, yang sempat mengurus anaknya sendirian di saat sang istri, Dwi, harus keluar negeri untuk sekolah selama 2 tahun.
Bulan Februari 2006 kabar itu datang. Sebuah surat dari Swedia yang menyatakan bahwa beasiswa Mama Kay diterima dan ia harus berangkat pertengahan tahun yang sama. Dengan hati yang lapang—meskipun berat—saya merelakan Mama Kay pergi ke Swedia untuk melanjutkan pendidikannya selama dua tahun.
Waktu itu Kayril Arenuma Faiz, putera kami, baru akan menginjak usia 3 tahun. Usia yang masih terbilang amat muda untuk berpisah dari ibu, meskipun hanya sementara. Walaupun demikian saya yakin bisa mengurus Kay yang, meskipun dilahirkan dengan kebutuhan khusus, tidak rewel dan terbilang ceria.
Kay tidak pernah merepotkan kami, meskipun dia sedang sakit. Ia akan dengan tenang, lahap bahkan, meminum obat yang disuapkan padanya. Ia tidak pilih-pilih makanan dan suka makan sayur. Satu-satunya jenis makanan yang ia tidak suka adalah fast food.
Kay juga anak yang sangat nyaman dengan lingkungannya dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi, sehingga ia bukanlah anak yang mudah takut dengan lingkungan dan keadaan yang baru. Bahkan ia kerap dengan hangat memeluk orang yang baru ia kenal.
Itulah sebabnya saya merasa yakin bisa menjaga dan mengurus Kay dengan relatif mudah saat Mama Kay di Swedia.
Dalam mengurus Kay tentu saja saya dibantu oleh orang-orang di sekitar: Bibi, yang memasak dan mengurus rumah di siang hari, dan Teteh yang mengantarkan Kay terapi dan menemani Kay belajar dan bermain. Kalau tidak ada mereka, saya tidak mungkin bisa tenang meninggalkan Kay ke kantor, kan? Apalagi situasi rumah yang cukup jauh dari kantor dan Jakarta yang selalu macet seringkali memaksa saya pulang hingga malam hari.
Mungkin karena Kayril belum benar-benar menyadari bahwa Mamanya akan pergi dalam waktu yang cukup lama, ia jarang sekali menanyakan Mamanya ke mana. Tapi saya mengajarkan dan memberi tahu bahwa Mama ke Swedia (atau ‘Hwedia’ kalau katanya waktu itu) untuk sekolah (‘hokolah’), sehingga bila ia ditanya bisa menjawab.
Repot nggak sih ngurus anak sendirian? Nggak juga. Saya memang dituntut untuk memainkan peran sebagai ayah dan juga ibu sekaligus. Tapi, sebenarnya apa perbedaan yang nyata antara ayah dan ibu selain dari yang satu bisa menyusui dan yang lainnya tidak? Kasih sayang, mestinya sama dong. Menggantikan popok? Ah, itu sih kecil. Nyuapin? Gampang. Mandiin? Itu justru menyenangkan! Main air! Ngelonin? Wah, masa itu Kayril lebih senang dikelonin saya…hehehe (nyombong dikit boleh kan?)
Paling beda satu lagi adalah saya nggak bisa masak selain bikin telur ceplok atau dadar, tapi kan ada Bibi? Hehehe.
Lucunya lagi, persis sebelum Mama Kay berangkat, Kayril tiba-tiba bisa minum dengan sedotan, bisa mengunyah makanan dengan lebih lancar. Singkatnya, hampir tidak ada kerepotan yang berarti dalam mengurus Kay saat ditinggal Mamanya sekolah.
Repot itu baru muncul kalau Kayril sakit. Saya harus pulang kantor setengah hari dan mengantarnya ke dokter. Repot itu baru muncul kalau sepupu yang menyupiri Kayril ke terapis sedang berhalangan. Saya terpaksa minta ijin kantor untuk menjemput dan mengantar Kayril pulang ke rumah di jam makan siang. Selebihnya, menyenangkan kok.
Seperti saya bilang di atas, Kayril hampir tidak pernah menanyakan Mamanya. Tapi persis sebulan ia terpisah dari Mamanya, Kay demam tinggi selama berhari-hari yang menyebabkan ia harus tes darah setiap hari karena dokternya kuatir demam berdarah. Wah, saat itu dunia nyaris kiamat buat saya. Setiap pagi mengantarkan Kay ambil darah di lab, sorenya konsultasi dengan dokter yang masih khawatir karena trombosit Kay merayap naik dengan sangat lamban. Ketika akhirnya Kay dinyatakan sehat, wah leganya seperti waktu melihat ia baru lahir.
Kisah sedih yang sampai sekarang masih melekat di kepala adalah saat saya diberi tugas ke luar negeri oleh kantor. Tidak lama, hanya dua atau tiga malam. Pada saat saya pulang, Kayril tidur dengan memunggungi saya. Ia ngambek.
Perlahan saya mengelus punggungnya, lalu mencium pipinya. Kay masih bergeming.
‘Kayril marah sama Baba,’ Tanya saya.
Dia diam.
‘Baba kan harus berangkat kemarin karena kerja, kan cari uang buat beli susu dan mamamnya Kayril.’
Kayril masih diam. Lalu isaknya mulai terdengar, dan akhirnya ia menangis keras, membalik tubuhnya dan memeluk saya. Erat sekali.
Saat itu bila Kayril bisa komplain, mungkin dia akan ngomel: “Mama lagi pergi jauh, masak Baba juga ninggalin saya sih!’
Ketika Mamanya telah menyelesaikan studi dan kembali ke haribaan keluarga, Kayril tidak perlu penyesuaian kembali. Bahkan di bandara ia langsung berlari menyambut, memeluk, dan minta gendong Mama. Dalam perjalanan pulang ke rumah pun ia hanya mau dipangku Mama.
Tips untuk ayah yang ditinggal studi atau tugas istri?
Salut banget sama Jessy! Terima kasih sudah berbagi cerita dengan Mommies Daily dan sekarang sudah berkumpul lagi dengan Mama Kay? :)