Nasib Si Ibu Perah

Breastfeeding

Mommies Daily・16 Dec 2009

detail-thumb

breastfeeding working mom

Memerah atau memompa ASI biasanya terpaksa dilakukan oleh para ibu bekerja (working mom) yang ingin agar anak-anak mereka minum ASI, bukan susu formula. Apakah mudah? Tentu saja tidak. Banyak sekali kendala yang dihadapi. Mulai dari soal peralatan, tekanan kerja, mood, hingga soal listrik byar pet yang mengancam kelangsungan ASI perah dalam freezer.

Sebagai ibu bekerja, saya pun merasakan hal yang serupa. Namun, karena jenis pekerjaan saya yang agak berbeda, ada beberapa kendala lain yang saya hadapi tetapi (mungkin) jarang dihadapi para ibu bekerja lainnya. Di antaranya ada dalam daftar di bawah ini:

1. Tekanan Pekerjaan

Tugas saya sebagai seorang jurnalis adalah meliput berbagai acara di berbagai lokasi yang berbeda, di bawah tekanan yang sangat kuat dengan tenggat waktu yang sangat ketat. Saking ketatnya, beberapa kali saya memompa/memerah ASI di mobil sambil ditutupi dengan selendang, dalam perjalanan dari satu liputan ke liputan lain. Atau memohon-mohon kepada host tempat saya liputan untuk bisa dipinjamkan ruang kosong yang tertutup supaya saya bisa memerah. Atau terpaksa skip beberapa sesi memerah karena padatnya tugas. Jadi, jaraaanng banget saya bisa menaati jadwal perah 'tiap tiga jam' yang dianjurkan para konselor laktasi. Soalnya yang dipertaruhkan adalah pekerjaan dan kredibilitas pribadi.

Contohnya seperti ini. Saat saya masih menjadi wartawan ekonomi, tiap hari saya harus meliput agenda yang dimiliki menteri-menteri bidang ekonomi. Untuk mewawancarai menteri dan jajaran-jajarannya itu tidaklah mudah. Biasanya sih, kita harus rajin 'nongkrongin' rapat/acara yang mereka hadiri. Nah, acara nongkrong-menongkrongi inilah yang sulit untuk bisa diprediksi kapan selesainya. Bisa cuma 1 jam, tapi bisa juga belasan jam. Alhasil, kadang saya tidak bisa memerah ASI selama 6 jam gara-gara takut, saat saya memerah, eh narasumbernya pada keluar. Kan kehilangan berita tuh.

[caption id="attachment_176" align="alignleft" width="400" caption="barang bawaan setiap hari.."]barang bawaan setiap hari[/caption]

2. Ketidaknyamanan lokasi mompa/merah

Selama ini, saya selalu memompa/memerah di toilet tempat liputan. Saat masih meliput di bidang ekonomi, tempat langganan saya memerah adalah toilet di gedung-gedung pemerintahan di daerah Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Namanya toilet gedung pemerintahan, yah harap maklum sajalah dengan kondisi yang seadanya. Sekalinya dapat toilet yang sepi, kering dan lumayan bersih, panasnya nggak ketulungan. Merah ASI 30 menit aja, keringat bisa menetes seember *hiperbola* Sementara pas dapat toilet yang dingin, eh bersebelahan dengan ruangan para janitor yang sering bolak-balik masuk ke toilet dan teriak-teriak. Duh, benar-benar mengganggu konsentrasi deh!

Sementara saat saya pindah meliput di bidang budaya/hiburan/lifestyle, kondisi cukup membaik. Jika liputan di hotel, mall atau restoran, saya bisa memerah di toilet mereka yang cukup nyaman. Atau pernah suatu kali, karena saya kenal dengan humas hotel yang tengah saya liput, saya langsung berterus terang bertanya tentang tempat memerah ASI. Langsung deh saya dibawa ke business center mereka yang kosong. Lalu saya dipersilahkan untuk memerah di salah satu ruang meetingnya. How nice! :-)

3. Pindah-pindah Lokasi

Pindah-pindah lokasi liputan sangat menyulitkan saya untuk mencari ruang untuk memompa dan juga menjaga stabilitas suhu ASI perah. Kalo pas saya berada full di kantor sih enak. Saya sudah punya tempat langganan untuk memerah, meski hanya berupa toilet. Terus, setelah memerah, saya bisa menyimpan ASI perah di kulkas kantor.

Nah, kalo seharian full liputan, mana bisa? Apalagi kalo lokasinya yang kurang ramah dengan ibu menyusui. Sering lho saya memerah di lokasi A, terus ASI perahnya masuk cooler bag, dan dibawa ke lokasi B, C dan D, baru deh dibawa pulang.

[caption id="attachment_177" align="alignright" width="210" caption="Nadira & Ibu"]nadira ibu sunglasses edit[/caption]

Untuk menjaga supaya suhu ASI perah dalam cooler bag nggak nge-drop, biasanya nih, saya meneror tukang teh botol pinggir jalan untuk mau menjual es batunya kepada saya. Lumayan, seribu dapet sekantong plastik! Hehehe..

4. Rasa Malas dan Penat

Kalo udah capeeekkk banget, malas pun datang. Ini nih penyakit yang paling sering saya hadapi. Apalagi kalo udah ketemu temen lama di tengah liputan, nongkrong di depan internet, belum tidur seharian atau penat karena lelah mengejar berita. Rasanya nggak kepengen merah aja. Tapi, begitu ingat anak dan kebayang gimana sedihnya dia kalo ASI saya lama-lama kering karena nggak diperah-perah, ngantuk, capek dan males biasanya sih hilang sendiri. You can call it cliche, but it's true :-)

Hmmm.. Apa lagi ya? Yah, pokoknya kalo ada yg bilang "You can breastfeed your children naturally, without having to learn or work hard," it's so very wrong! Breastfeeding, especially for working mom who wants to do it exclusively, is full of hard work, commitment and determination. Kalo niatnya setengah-setengah mah, biasanya belum 6 bulan pun pasti menyerah.

Alhamdulillah, Nadira udah melewati masa-masa ASI Exclusive itu. Meski begitu, saya tetap berusaha memberinya ASI sampai ia berusia 2 tahun. Sekarang Nadira baru 10,5 bulan. So, masih panjang nih perjalanan kami berdua. Wish us luck! :-)

Tulisan ini dikirimkan oleh Irasistible, 'ibu perah' yang masih menyusui Nadira (10,5 bulan). Thank you Ira!

image from msnbc.com