banner-detik
HEALTH & NUTRITION

Haram atau Mubah, Saya Tetap Pro-Vaksin

author

annisast21 Aug 2018

Haram atau Mubah, Saya Tetap Pro-Vaksin

Pagi ini saya dikejutkan oleh broadcast message Fatwa MUI tentang vaksin MR. Sedih dan marah campur aduk sih.

Intinya MUI mengeluarkan fatwa untuk vaksin MR yang merupakan produk dari SII (Serum Institute of India, bukan Biofarma). MUI menyatakan vaksin yang menggunakan unsur babi dan turunannya itu haram namun karena kondisinya terpaksa jadi hukumnya mubah.

Tunda Dulu Memberikan Vaksin pada Anak, Jika Terjadi Hal Ini - Mommies Daily

Ada kondisi keterpaksaan (dlarurat syar’iyyah) itu karena belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci serta ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal.

Fatwa ini bertentangan dengan pernyataan Kementerian Kesehatan setahun lalu saat kampanye MR baru di Pulau Jawa.

"Vaksin MR itu 110 persen halal," ujar Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan Elizabeth Jane Soepardi dalam sosialisasi vaksin MR di gedung Kementerian Kesehatan RI pada Rabu (19/7/2017).

Elizabeth mengatakan vaksin campak ditumbuhkan pada embrio ayam. Media yang digunakan adalah telur yang sudah terdapat janin ayam di dalamnya. Sedangkan vaksin rubella ditanamkan atau dikembangbiakkan pada sel punca atau stem cell. Sel punca yang digunakan berasal dari manusia.

Kalau sudah begini, saya jadi marah juga pada Kemenkes yang terkesan terburu-buru berkampanye. Kenapa tidak urus dulu sertifikat halal baru kampanye? Atau kenapa tidak menunggu Biofarma dulu yang membuat vaksinnya dan di-request supaya halal?

Meskipun yang anti vaksin pasti akan tetap ada, minimal tidak akan jadi polemik dan keributan di kalangan masyarakat. Karena ini kan hal yang sangat sangat sensitif.

*

Yah, terlepas dari unsur pembuatan, fatwa ini jelas tidak mengubah pandangan saya tentang pentingnya vaksin. Saya tetap pro-vaksin, karena saya yakin pada semua manfaatnya. Ditambah lagi, saya punya dua orang dekat yang anaknya terkenal Congenital Rubella Syndrome (CRS).

Yang pertama pasti kalian kenal, salah satu sahabat dekat saya Grace Melia yang terkena Rubella saat hamil putri pertamanya, Ubii. Grace tak pernah lelah berkampanye Rubella lewat blog, social media, dan komunitasnya Rumah Ramah Rubella. Sedihnya, Grace kebetulan tidak muslim jadi rasanya sia-sia karena banyak sekali orang yang menuduh “mbak Grace sih nggak peduli karena nggak muslim”.

Sedih banget. Padahal penyakit kan nggak pandang agama.

Contoh keduanya adalah kakak sepupu saya (muslim lho!) yang terkena rubella saat hamil anak kedua. Anak keduanya ini jadi terlahir dengan CRS. Melihat perjuangan mereka berdua, tidak mungkin saya tidak pro-vaksin karena melihat sendiri bagaimana sulitnya membesarkan anak dengan CRS.

Iya, yang mengerikan dari Rubella ini adalah penyakitnya tidak mematikan. Gejalanya pun tidak terlalu mengganggu, hanya demam dan bintik merah. Namun jika terkena ibu hamil, anaknya lah yaang akan menanggung risikonya. Juga keluarga!

Keluarga dengan anak CRS itu sama sekali tidak mudah. Terapi terus menerus, obat, alat bantu dengar yang jelas harganya tidak murah dan tidak semua tercover BPJS. Belum lagi kalau fasilitas kesehatan di daerah tempat tinggal ternyata tidak mendukung untuk terapi. Harus bagaimana?

Kekhawatiran demi kekhawatiran sampai mereka dewasa, apakah anak-anak ini akan mandiri? Apakah bisa tidak bergantung lagi pada obat dan terapi?

Jadi apakah harus kena dulu baru mengerti bahayanya vaksin? Apakah harus mengalami sendiri dulu baru bersedia divaksin?

Share Article

author

annisast

Ibu satu anak, Xylo (6 tahun) yang hobi menulis sejak SD. Working full time to keep her sanity.


COMMENTS