banner-detik
MARRIAGE

Saat Pasangan Menikah Memutuskan, “Kami Bahagia Tanpa Anak”

author

?author?22 Nov 2017

Saat Pasangan Menikah Memutuskan, “Kami Bahagia Tanpa Anak”

“A long but unhappy marriage is not a successful marriage,” – NN

Agak tertohok nggak sih, baca quote di atas mommies? Lama usia pernikahan tidak menjamin, pasangan di dalamnya menjalani pernikahan yang sukses. Karena pernikahan yang sukses, syaratnya harus bahagia! Pertanyaannya sekarang, pernikahan yang bahagia itu barometernya apa, sih? Kalau saya pribadi nih, ketika pasangan kita bisa mendukung dan mestimulasi kita menjadi pribadi yang baik, dari hari ke hari. Atau sebagian pasangan, beranggapan kehadiran anak, akan melengkapi kebahagiaan pernikahan. Dan masih ada 1001 indikator bahagia lainnya, you name it!

Saat Pasangan Menikah Memutuskan, “Kami Bahagia Tanpa Anak” - Mommies Daily

Image by Pablo Heimplatz on Unsplash

Tapi bagaimana jika pasangan menikah, memutuskan untuk tidak memiliki anak? Baik itu, karena situasi tertentu, atau simply karena nggak mau punya anak saja, memilih hidup bahagia hanya berdua dengan pasangan. Pernyataan semacam ini, memang belum populer, ya, di Indonesia. Akan menghadapi benturan-benturan di masyarakat. Sebut saja pertanyaan semacam, “Kapan nih, punya anak? udah keduluan, lho sama si A.” Jangan sediiih,  pertanyaan masih akan berbuntut, lho, mommies. Sudah punya anak satu, masih juga “iseng” nanya, “Kapan mau punya anak kedua? Sekalian repotnya!.” Kalau saya, bakalan jawab, “Situ mau ikut begadang? Dan membiayai sekolahnya ?.” Tipe-tipe pertanyaan, yang buat saya, mending disimpan sendiri. Terlalu sensitif untuk dilontarkan.

Apalagi bagi mereka, yang sudah jelas-jelas memutuskan bahagia menjalankan pernikahan tanpa anak. Adalah Mbak Tina dan Mas Aji, usia pernikahan mereka kini menginjak 10 tahun. Mereka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan keturunan. Baik cara medis maupun non medis. Dan pada akhirnya, ada di satu titik sepakat, “Bahwa bahagia bukan hanya sekadar mendapatkan “titipan anak” dari Tuhan, justru, kami bangga dengan kondisi kami sekarang untuk tetap bersama karena bahagia itu kami yang ciptakan.”

Namun, bukan tanpa tantangan. Cibiran dari lingkungan sekeliling Mbak Tina, sudah jadi makanan sehari-hati. Tapi justru dari sini Mbak Tina belajar hal baru untuk menghargai perbedaan pendapat. Mbak  Tina dan Mas Aji, memilih untuk dibawa santai saja, “Beda itu asik kok, hehehehe.” Tandas Mbak Tina.

Menurut Nadya Pramesrani, M. Psi. ,Psikolog Keluarga, sekaligus Co-Founder Rumah Dandelion, cibiran yang didapat Mbak Tina dan pasangan, adalah bentuk konsekuensi sosial, yang bisa berupa pertanyaan atau tuntutan. Dan beruntung, (IMO) Mbak Tina dan Mas Aji, bisa menyikapi konsekuensi sosial dari lingkungannya dengan sangat baik.

Meski sudah ketuk palu, tidak memiliki anak, Mbak Tina dan Mas Aji, punya sumber kebahagiaan lain. Mereka bahagia dengan wirausaha yang sedang digarap, dan beruntung tidak terpatok oleh office hour. Jadi kapan pun merka mau pergi bersama, bebas memilih jam dan harinya.

“Bahagia kami adalah karena selalu melibatkan satu sama lain dalam setiap hal, sehingga masing-masing dari kami selalu merasa dihargai dan dibutuhkan. “Kami” adalah konsep yang disepakati bersama ketika memutuskan untuk menikah, sehingga tidak ada lagi aku atau kamu, karena kami adalah satu,” jelas Mbak Tina.

Apa yang Mbak Tina dan pasangan lakukan, sangat wajar. Mbak Nadya bilang, dilihat dari sesi sosial dan perkembangan emosional, saat seseorang masuk usia 20 akhir, di awal 30-an, hingga 45-55. “Tugas” perkembangannya adalah be productive vs stagnant. “Ini makanya kenapa di usia-usia ini orang akan banyak yang berfokus pada karier dan pengembangan dirinya,” papar Mbak Nadya.

Lain Mbak Tina, lain pula pasangan yang sudah menikah hampir satu dekade. Mereka merasa bahagia, dalam keluarga mini yang hanya beranggotakan ia dan suaminya. “Kami merasa bahwa kebahagiaan yang dimiliki sekarang ini sudah cukup. Mungkin kami adalah tipe orang yang nggak neko-neko dalam hal berkeluarga, dikasih segini ya disyukuri. Sudah puas, cukup, nggak mau ditambah lagi. Jadi, gimana dong? Orang lain mau ngotot meyakinkan dengan segala cara bahwa punya anak akan membuat kami lebih bahagia pun nggak akan mempan,” tegasnya dalam sebuah blog.

Sama seperti Mbak Tina. Pasangan ini pun, kerap mendapatkan konsekuensi sosial berupa segala macam pertanyaan yang bernada mempertanyakan kenapa tidak mau mempunyai anak. Sampai terlalu kepo, ingin tahu hingga ke hal-hal detail. Ada beberapa pertanyaan yang ia ladeni dengan santai, namun ada juga yang harus “disentil”, “Kalau untuk orang yang hubungannya dekat atau saya rasa punya sense of humor tinggi, saya biasanya menjawab sambil bercanda, “Mahal. Mau kasih biaya?”,sedangkan untuk orang-orang yang lebih asing jawabannya, “Memang lebih senang berdua.” Titik.

Merujuk perkembangan emosional yang tadi Mbak Nadya sempat bilang. Hal yang sama terjadi pada pasangan ini. Salah satu yang membuat mereka tetap bahagia, adalah kesibukan mereka berdua. “Sangat mungkin mereka kemudian mengalihkan fokus uuntuk produktif di hal lain. Produktif kan bisa secara reproduksi bisa juga secara karya dan prestasi,” tegas Mbak Nadya.

Yang harus diwaspadai adalah saat individu masuk ke tahap late adulthood (55-60 sampai seterusnya). Pada tahap ini, menurut Mbak Nadya, seseorang sudah beralih ke generativity. Artinya, menyalurkan ilmu pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan ke generasi selanjutnya, yang terdekat dengan mereka. Yaitu cucu anak atau cucu. “Disini biasanya mulai muncul masalah emosional bagi orang-orang yang tidak memiliki anak,” Tapi kalau melihat dua pasangan yang sempat saya ceritakan. Mudah-mudahan mereka punya cara lain untuk melakukan tahapan generativity tadi ya, mungkin bisa ke ponakan mereka masing-masing.

Apapun keputusan pasangan menikah soal keturunan, menurut hemat saya, sebagai support system, mari hormati keputusan mereka. Sama halnya seperti, keputusan “Gue hanya mau punya anak satu!” yakin deh, pro kontra pasti ada. Daripada terus mencecar mereka dengan pertanyaan nggak penting, mari beri dukungan. Bahwa bahagia bisa datang dari banyak sumber. Amanah tidak selalu berwujud anak, pasangan yang sekarang medampingi kita, juga amanah besar dari Tuhan.

Share Article

author

-

Panggil saya Thatha. I’m a mother of my son - Jordy. And the precious one for my spouse. Menjadi ibu dan isteri adalah komitmen terindah dan proses pembelajaran seumur hidup. Menjadi working mom adalah pilihan dan usaha atas asa yang membumbung tinggi. Menjadi jurnalis dan penulis adalah panggilan hati, saat deretan kata menjadi media doa.


COMMENTS