Pahlawan Perempuan dan Hari Pahlawan

Behavior & Development

Mommies Daily・10 Nov 2017

detail-thumb

Ditulis oleh: Gita Damayana

Makna Hari Pahlawan dari sudut pandang seorang ibu, dan bagaimana menyampaikan pesan penuh makna, di balik tokoh-tokoh hebat perempuan di masa sekarang.

Sesudah menjadi ibu dan tiap Hari Pahlawan, saya sering bertanya bagaimanakah kita selaku ibu memaknai pahlawan perempuan sebagai teladan bagi putra-putri kita? Tentu saja sejarah di sekolah memperkenalkan putra-putri kita pada keberanian Cut Meutia, Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Nyi Ageng Serang sampai ketangguhan Raden Ajeng Kartini, HR Rasuna Said, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis. Tapi guru di sekolah memiliki keterbatasan dalam mengajarkan konteks perempuan-perempuan pengukir sejarah ini dalam memberikan teladan pada masyarakat kita.  Kita menjadi ibu yang berutang pada putra-putri kita apabila abai memberi konteks dan pesan mengenai makna kepahlawanan.

Pahlawan Perempuan dan Hari Pahlawan - Mommies Daily

Sampai di sini saya berpikir, bagaimanakah saya akan memberi kerangka pahlawan bagi putra-putri saya, khususnya pahlawan perempuan? Kepahlawan perempuan memiliki makna khusus karena sampai hari ini, perempuan masih mempunyai beban ganda. Seorang gadis ditunggu-tunggu kapan mengumumkan rencana pernikahannya oleh masyarakat. Seorang istri ditagih kapan segera hamil dan memiliki anak. Seorang ibu selalu ditanya menambah adik lagi dan demikian seterusnya.

Seorang ibu sekaligus yang bekerja di luar rumah akan menghadapi pertanyaan mengapa bekerja dan tidak menjaga anaknya di rumah? Sebaliknya seorang ibu yang memilih berperan di ranah domestik juga akan ditanya mengapa di rumah saja tidak mengaplikasikan pendidikannya di dunia kerja.  Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin bentuknya berubah dari masa ke masa tapi esensinya tetap sama. Perempuan-perempuan pengukir sejarah seperti Cut Nyak Dien hingga Dewi Sartika bukan mustahil menghadapi pertanyaan yang sama di masa lalu.

Kecuali Maria Walanda Maramis yang yatim piatu sejak kecil sehingga dibesarkan oleh pamannya, rata-rata pahlawan-pahlawan perempuan nasional kita berasal dari kalangan yang memiliki akses ke sumber daya dari keluarganya. Akses yang dimaksud bisa berarti jaringan pengetahuan, harta, pendidikan hingga politik.

RA Kartini adalah putri bupati Jepara yang kemudian menjadi istri Bupati Rembang. Martha Christina Tiahahu adalah putri Kapitan Tiahahu; pemimpin militer di Saparua. Suami Cut Meutia terdahulu adalah Teuku Cik Teunong; seorang pemimpin pasukan yang melawan Belanda di Aceh sementara Dewi Sartika merupakan putri dari keluarga Somanegara yang terkemuka di Jawa Barat.

Nyi Ageng Serang sendiri adalah putri bangsawan Pangeran Natapraja yang angkat senjata melawan Belanda saat Perjanjian Giyanti yang memecah kerajaan Mataram menjadi Solo dan Yogya serta ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro. Cut Nyak Dien adalah putri bangsawan di Aceh Besar. Ketika sebagai janda Cut Nyak Dien dilamar oleh Teuku Umar; syarat pernikahannya adalah agar ia tetap diizinkan turun di medan perang. Keluarga HR Rasuna Said sendiri adalah saudagar kaya asal Sumatra Barat. Patut dicatat bahwa HR Rasuna Said pada usia 22 tahun sudah ditangkap karena orasinya yang tajam ke Pemerintah Kolonial Belanda.

Apabila mereka mau, sebetulnya perempuan-perempuan bisa duduk diam saja. Mereka berada dalam kelas sosial yang cukup berada; tak perlu angkat senjata, membuat sekolah atau membentuk jaringan pergerakan pada zamannya agar bisa diakui eksistensinya. Itulah yang membuat mereka berbeda dari perempuan-perempuan lain; yaitu keinginan melakukan perubahan dan tidak hendak berpangku tangan melihat zaman berlalu. Maria Christina Tiahahu gugur dalam perjalanan menuju Jawa dalam usia 17 tahun, RA Kartini meninggal di usia 25 tahun saat melahirkan anaknya serta Nyi Ageng Serang wafat di puncak Perang Diponegoro saat usianya menginjak 78 tahun. Dengan usia yang terentang dari belasan tahun hingga menginjak lanjut usia, betapa dahsyatnya tekad perempuan-perempuan ini untuk melakukan sesuatu.

 “Melakukan sesuatu” bagi mereka berarti berbuat melebihi harapan dan ekspektasi masyarakat. Harapan masyarakat pada perempuan-perempuan ini adalah agar mereka duduk tenang dan menjalankan peran domestik perempuan di balik layar; serta membiarkan lelaki yang bergerak di ruang publik.

...But they persisted...

“Melakukan sesuatu” berarti berorasi hingga dijebloskan ke penjara oleh Belanda serta menggerakkan jaringan pergerakan sambil mendirikan media untuk perempuan untuk HR Rasuna Said. Untuk Martha Christina Tiahahu, artinya adalah turun ke pertempuran bersama ayah dan kakaknya melawan VOC; nyaris identik dengan Nyi Ageng Serang.

Cut Meutia mengartikan ini dengan angkat senjata bersama suaminya hingga saat terakhirnya menghunus rencong dan ditembus peluru Belanda. Bagi RA Kartini “melakukan sesuatu” adalah mengajarkan baca tulis bagi anak-anak serta perempuan desa, demikian juga halnya dengan Dewi Sartika.

Untuk Cut Nyak Dien, “melakukan sesuatu” adalah baru mau dipersunting apabila tetap bisa bertempur sementara bagi Maria Walanda Maramis artinya adalah memberikan pendidikan bagi para ibu rumah tangga.

Beberapa dekade lalu kita mengenal Dr Pratiwi Soedharmono, mikrobiologis yang berkompetisi dan nyaris menjadi astronot pertama Indonesia. Kini putra-putri kita mengenal Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Poedjiastuti. Keduanya dengan tegas mengeluarkan kebijakan berani seperti memberikan amnesti pajak dan menenggelamkan kapal pencuri ikan dengan tujuan menjaga aset negara. Di pemerintahan lalu bahkan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan berani membekukan perdagangan saham grup Bumi Resources milik ketua umum Partai Golkar waktu itu, Aburizal Bakrie yang dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sepertinya inilah yang akan saya sampaikan pada putra-putri saya mengenai kepahlawanan perempuan. Yaitu mereka yang sebetulnya bisa tenang sebagai putri, istri serta nyonya namun menolak semua itu. Mereka memilih menolak kenyamanan dan terjun ke masyarakat mencoba memberi perubahan. Perempuan-perempuan ini memberi dan berbuat lebih dari yang diharapkan. Meski kata-kata kini mengalami erosi makna karena kerap berhenti pada retorika belaka; namun perempuan-perempuan ini menjadi bagian dari sejarah karena mereka tidak berhenti pada kata dan ucap.

Selamat Hari Pahlawan, para Ibu Indonesia.