Sorry, we couldn't find any article matching ''
Kenali Kapan Kita Harus Keluar Dari Tempat Kerja Kita Saat Ini
Kadang kita menganggap kalau apa yang kita lakukan pada perusahaan adalah wujud loyalitas. Coba ditanyakan ulang ke diri kita, benarkah itu wujud loyalitas atau ketidak beranian kita melihat kenyataan?
Bertahun-tahun lalu, saat memulai karier sebagai seorang jurnalis, saya tercemplung di sebuah perusahaan yang orang-orangnya sangaaaaat menyenangkan. Tidak ada konflik berarti, nggak ada yang saling ngomongin di belakang, dan kami tumbuh bersama menjadi sebuah keluarga. Nyaris 10 tahun di sana, kenaikan gaji saya bisa dibilang kecil, tapi saya nggak peduli. Karena ya itu tadi, saya bahagia berada di sana.
Hingga kemudian, mulai hadir kebijakan-kebijakan yang membuat saya bertanya, apa yang saya cari di sini?
Sebutlah beberapa kebijakan seperti ini:
- Di saat karyawan terlambat, mau itu 5 menit atau 30 menit kami tidak mendapat jatah uang makan harian.
- Di saat terjadi kesalahan editing, per kata kami akan didenda Rp 1000. Dan uang denda itu wajib kami berikan ke kantor. Sampai pernah lho kami ‘komplein’ dengan menyerahkan dalam bentuk koin (terinspirasi dari kasus koin untuk Prita, hehehe).
- Di saat kami bertanya kenapa gaji terlat, kami malah dikumpulkan di sebuah ruangan, karyawan ndeprok di lantai dan atasan duduk di kursi sambil menantang kami dengan kalimat “Kenapa emang kalau gajian telat, masalah?” Dan ia menyalahkan kami karena kami tidak punya tabungan.
- Kalau salah satu anggota tim belum menyelesaikan pekerjaan maka SELURUH tim harus ikut lembur (yang akhirnya kami isi dengan main badminton di dalam ruangan hingga nonton DVD, ahahaha)
Dan saya tetap bertahan, karena saya merasa saya masih mencintai tim kerja saya. Tapi di sisi lain, kerjaan saya begitu sampai rumah adalah ngeluuuuuh abis-abisan sama suami. Atau sindir menyindir di social media.
Hingga suatu saat suami mengajak saya untuk berpikir realistis. Suami mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan meminta saya mencari jawabannya (lagi-lagi secara realistis).
Kamu merasa nyaman dengan teman-teman di kantor ini? Kamu bisa melakukan hal yang sama di kantor baru. Nyaman atau tidak, kita sendiri yang menciptakan.
Kamu merasa dengan sikap atasan yang semena-mena dan kondisi perusahaan yang seperti ini, namun kamu tetap bertahan, itu menunjukkan loyalitas kamu? Pikir ulang! Kalau kamu menganggap pilihan kamu untuk bertahan adalah wujud loyalitas, seharusnya kamu tidak perlu mengeluh setiap hari di rumah. Seharusnya kamu tidak perlu komplein di social media. Karena ini sama saja kamu mengumbar aib perusahaan. Dan itu namanya bukan loyal.
Loyal itu bagus, tapi kalau pada akhirnya membuat kamu struggling setiap bulannya, membuat kamu harus gali lubang tutup lubang untuk menjalani hidup kamu, membuat kamu sebenarnya merasa diperlakukan tidak adil, ya bersikaplah realistis. Bahwa ini sudah saatnya kamu bergerak maju. Bahwa kamu bekerja bagaimana pun tetap mengharapkan penghasilan. Kecuali kalau kebutuhan harian kamu bisa dibayar dengan daun.
Kalau kamu merasa bahwa lebih banyak kerugian yang dialami oleh diri kamu secara emosi dan finansial, mungkin itu namanya bukan loyal, tapi in denial.
Dan, tidak lama setelah pembicaraan saya dengan suami, saya pun memutuskan untuk move on dari mencari kesempatan lain di luar sana. Bukan, bukan karena saya tidak mencintai tempat di mana saya bekerja. Bagaimana pun, banyak pembelajaran yang saya dapat kok dari bekerja di sini. Namun, saya juga harus realistis. Bahwa selain rekan kerja yang nyaman, saya juga butuh uang untuk hidup. Toch, saya di situ bekerja, memberikan tenaga dan pikiran untuk menerima gaji.
Kadang, ketika berada di situasi seperti ini, kita seringkali takut untuk mengambil keputusan. Takut tidak bisa menemukan lingkungan kerja yang nyaman seperti ini. Atau bahkan takut tidak bisa mendapat pekerjaan lain di luar sana.
But you know what, making a big life change is pretty scary. But, know what’s even scarier? Regret.
Melihat di mana saya berada saat ini? Saya nggak pernah menyesal kalau dulu akhirnya saya berani melangkah.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS