Sorry, we couldn't find any article matching ''
Sudahkah Kita Bertanggung Jawab Terhadap Pola Asuh yang Diterapkan?
Ditulis oleh : Amelia Virginia
Menurut saya, orangtua perlu bertanggungjawablah terhadap pola asuh yang diterapkan terhadap anak-anak. Saat anak berkelakuan buruk, ada tanggung jawab kita di dalamnya. Kita yang membiarkan si anak melakukan hal tersebut. Kita pula yang memberi izin si anak untuk berlaku buruk.
Saya orangnya pemikir. Beberapa orang malah bilang saya overthinking. Sementara, beberapa lainnya terinspirasi melakukan buah pikiran saya. Dan, pada saat menulis tulisan ini, saya sedang berpikir tentang peran kita sebagai Ibu dalam mengasuh, merawat, dan mencintai anak-anak kita.
Sudahkah saya bertanggung jawab dengan pola asuh yang selama ini saya terapkan?
***
Anak saya galak. Saya selalu bilang ke orang-orang, “Awas, lagi dalam mode senggol bacok,” ketika ada orang yang ingin mencubit pipinya dengan gemas, atau menyapanya. Apalagi kalau sedang dalam mood yang buruk, ia bisa judes sekali. Nggak pandang bulu, siapapun bisa dibentak.
Saya juga orangnya galak—begitu kata orang-orang yang berteman dekat atau bekerja dengan saya. Kedua orangtua saya bahkan bilang, kata-kata yang saya keluarkan setajam pisau saat sedang marah. Saya melakukan itu sejak kecil—sama seperti anak saya.
Nah! Ayah saya juga nggak kalah galaknya, lho. Kalau dalam mood yang buruk beliau bisa mengeluarkan kata-kata yang lebih tajam dari pisau. Jadi, ini masalah genetik atau pola asuh, ya?
Untuk urusan genetik, saya bukan pakarnya. Namun sebagai orangtua, saya melihat adanya hubungan antara cara kita memperlakukan anak dengan temperamennya. Sewaktu anak saya terapi tumbuh kembang, terapisnya pernah bilang, “Rantai galaknya harus diputus, Bu. Kalau nggak, nanti anak Ibu bisa galak ke anaknya, lho.”
Sejak itu, saya percaya bahwa peran saya sebagai ibu akan menentukan karakter anak saya. Sejak itu, saya berusaha keras untuk mengontrol emosi negatif yang akan muncul, saat dalam mood yang buruk. Berhasil? Nggak selalu, sih. Sampai sekarang pun, saya masih dalam proses, berproses untuk lebih baik dalam mengelola emosi.
Di saat sedang belajar untuk mengelola emosi, saya dihadapkan dengan realita bahwa mayoritas ibu—khususnya di lingkungan pertemanan saya—seringkali menyalahkan anaknya jika si anak berkelakuan buruk. “Duh, dia nilainya jelek, nih!” atau “Anak gue nggak mau makan sendiri, mau ya disuap melulu,” atau bahkan, “Anak gue sering mukul anak lain.”
Padahal, ada baiknya sebelum kita mengeluh tentang hal-hal buruk yang anak-anak lakukan, kita mengingat kembali bahwa mereka lahir tanpa pengetahuan. Benar bukan? Mereka hanya punya insting. Insting dari Tuhan untuk bertahan hidup. Semua pengetahuan yang mereka miliki, sumber utamanya adalah kita, sebagai Ibu yang menimangnya sejak dalam kandungan.
Saya melihat, banyak di antara kita—sebagai seorang ibu—yang nggak peka terhadap kebutuhan anaknya. Kita terlalu sering menciptakan sebuah tokoh ‘anaknya bunda/ibu/mama’ dan memaksa anak untuk mengikuti aturan main di dalam penokohan itu. Kalau si anak bertingkah tidak sesuai ekspektasi, kemudian kita marah, kecewa, atau sedih.
Banyak cerita dari teman-teman, sesama ibu, yang mengeluhkan tentang anaknya. “Anak gue nggak suka baca buku, nih. Sukanya gadget melulu,” katanya. Kemudian, anaknya yang berumur menjelang dua tahun, merengek minta keluar dari high chair. Si Ibu yang asyik mengobrol dengan saya, membuka buku tebal berbahasa inggris, kemudian meletakkannya di meja high chair. Setelah itu, si Ibu kembali mengobrol dengan saya, sementara ayahnya asyik dengan handphone-nya.
Atau, cerita tentang anak yang tidak doyan makan. Ini cerita klasik para ibu—termasuk Ibu saya. Saya pun pernah mengalaminya. Stres sekali rasanya! Sampai, saya membaca sebuah buku yang menyebutkan bahwa pada saat anak belajar makan, sebetulnya bukan tentang si anak harus makan. Tetapi, tentang menciptakan suasana makan yang menyenangkan, sehingga si anak pun merasa senang dengan aktivitas makan.
Dan…,masalah keibuan lain yang kita hadapi.
Belajar dari semua keluhan teman, saya pun sadar bahwa cara kita mengasuh anak akan membentuk karakternya. Saya pun sadar, bahwa si anak punya kebutuhannya sendiri. Dan pada akhirnya, saya melepas ego saya dan menggantinya dengan ‘apa yang si anak butuhkan’ agar dapat bertumbuh kembang, sesuai kapasitasnya, dan terus menjadi lebih baik setiap hari.
Saya pun belajar untuk mengatakan, “Nak, kamu nggak harus selalu menjadi yang terbaik. Tetapi, jadilah versi terbaik dari dirimu sendiri,” kemudian memperlakukannya agar ia dapat terus berproses dan menjadi versi terbaik dari dirinya.
Jadi menurut saya, yang paling ideal adalah bertanggungjawablah terhadap pola asuh yang kita lakukan terhadap anak-anak. Saat si anak berkelakuan buruk, ada tanggung jawab kita di dalamnya. Kita yang membiarkan si anak melakukan hal tersebut. Kita pula yang memberi izin si anak untuk berlaku buruk.
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS