banner-detik
SELF

RUM, IRUM, dan Sontekan Pertanyaan Saat ke Dokter

author

kirana2114 Apr 2016

RUM, IRUM, dan Sontekan Pertanyaan Saat ke Dokter

Paham mengenai apa itu RUM dan sudah tepatkah kita mempraktikkannya adalah dua hal yang berbeda. Bagaimana dengan Mommies?

RUM, IRUM

Gerakan ini dimulai dengan sebuah mailing-list di tahun 2003, kemudian berlanjut ke seminar tahunan PESAT sejak 2005. Sebuah gerakan yang membuka mata para orang tua bahwa sebagian besar penyakit anak-anak (bahkan orang dewasa!) itu self limiting alias sembuh sendiri tanpa perlu ke dokter atau mengonsumsi obat apapun. Dan sekarang, gema tentang Rational Use of Medicine, Bijak Menggunakan Antibiotika, Kesadaran Imunisasi, home treatment, sudah jauh lebih luas daripada lima tahun yang lalu.

Tapi paham dan mempraktikkan itu sesuatu yang berbeda. Ini yang disoroti oleh dr. Purnamawati saat mengisi sesi tentang "Layanan Kesehatan Terbaik buat Pasien" di PESAT 16 Jakarta yang lalu.

Banyak pasien yang paham tapi bergantung pada dokter yang RUM. Dalam arti mereka sibuk mencari dan mendatangi dokter yang RUM ketimbang, "menjadi RUM bersama dokter". Pengalaman saya sendiri berpindah-pindah kota dan dokter langganan, semua dokter yang saya datangi, baik dokter anak maupun obgyn setempat, setelah berdiskusi jadi bisa RUM, kok. Setidaknya waktu menangani saya dan keluarga, kami bisa berdiskusi dengan seimbang. Walau, yaa....ternyata dokter yang sama juga tetap nggak RUM waktu menangani teman saya yang kebetulan nggak terlalu RUM juga.

Menurut dr. Wati. Bahwa kita sebagai pasien juga harus paham bagaimana pengobatan yang RUM itu, sebagai bekal diskusi dengan dokter. Banyak yang masih salah paham bahwa RUM adalah penanganan penyakit yang anti obat, anti dokter, anti antibiotik..bahkan melebar sampai anti medis. Ini tidak benar. RUM adalah saat pasien harusnya memperoleh resep (dan tindakan) yang tepat guna, yaitu yang:

  • Tepat sesuai klinis (diagnosis), di mana obat atau tindakan sesuai dengan penyakit yang didiagnosa.
  • Tepat dosis (individual). Pemberian obat dan dosis sesuai dengan pasien, misalnya sesuai dengan berat badan dan bukan umur.
  • Tepat jangka waktunya. Jangka waktu mengonsumsi obat tidak kurang maupun lebih dari yang seharusnya. Misalnya tidak berhenti minum antibiotik yang diresepkan sesuai diagnosa hanya karena gejala penyakit sudah berkurang.
  • Tepat informasi. Baik informasi mengenai pengobatan, tindakan, maupun uji lab harus diinformasikan sebelumnya pada pasien, termasuk misalnya risiko efek samping atau prosedurnya.
  • Tepat harga (lowest cost). Tidak menjalani prosedur yang tidak perlu, misalnya seperti uji lab atau opname pada penyakit umum yang bisa dilakukan home treatment.
  • Fokuskan ke masalah utama, bukan sekadar obat apa yang menghilangkan gejala. Misalnya, demam adalah gejala berbagai penyakit. Tapi minum obat penurun demam saja 'kan nggak menyembuhkan penyakitnya, cuma menghilangkan demamnya saja.

    Lalu, apa yang dimaksud dengan IRUM (Irrational Use of Medicine)?

    IRUM atau Irrational Use of Medicine sebenarnya kebalikan dari poin-poin RUM:

    IRUM dan RUM

    *Image dari inside.akronchildrens.org

  • Polifarmasi, yaitu peresepan dengan jenis obat yang lebih banyak dari kebutuhan untuk diagnosa penyakit yang diberikan.
  • Peresepan antibiotik atau kortikosteroid yang berlebihan.
  • Pemberian obat non generik padahal generiknya sudah umum dan jauh lebih murah.
  • Injeksi atau suntikan yang tidak perlu.
  • Suplemen, baik vitamin maupun macam-macam booster termasuk imun-booster. Ini termasuk jenis 'obat' placebo/sugestif yang tidak perlu. Kecuali pada pasien yang memang terdeteksi defisiensi vitamin/mineral tertentu.
  • Tidak adanya penjelasan tentang obat yang diberikan, misalnya hanya dapat pil atau kapsul berwarna-warni dalam kantong tanpa ada nama obat, dosis dan keterangan yang memadai.
  • Pemberian puyer, yang belakangan tidak direkomendasikan karena rentan salah dosis dan tercampur substansi lain saat digerus.
  • Bila mendapatkan resep seperti poin-poin di atas, kita berhak bertanya kepada dokter. Dokter pun wajib menjelaskan dengan bahasa medis dan bahasa lokal yang bisa dimengerti pasien.

    Saat menerima resep atau diminta melakukan uji lab, pasien bisa menanyakan beberapa hal ini: 

    1. 5 hak pasien untuk bertanya mengenai obat yang diterima atau uji lab yang dianjurkan:

    a. Kandung aktif

    b. Cara kerja atau indikasi

    c. Risiko efek samping

    d. Kontra indikasi

    e. Cara pakai

    2. Permintaan untuk memilih menggunakan obat generik ketimbang yang non generik.

    3. Pilihan atau alternatif dari obat/tindakan/uji lab, terutama terkait dengan riwayat kesehatan pasien.

    4. Bagaimana prosedur tindakan/uji lab dan apa persiapan khusus sebelum menjalaninya.

    5. Berapa jumlah obat?

    6. Apakah benar-benar butuh obat/uji lab/tindakan?

    Sudah cukup lengkap, kan, sontekan pertanyaan dan poin-poin diskusi saat ke dokter?  Jangan lupa, kita sendiri juga harus paham tata laksana beberapa penyakit umum sebelum berdialog dengan dokter, ya. Supaya diskusi bisa berimbang dan saling memahami.

    Sumber:

    - Hand out PESAT 16 Jakarta

    PAGES:

    Share Article

    author

    kirana21

    FD/MD resident


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan