banner-detik
SELF

Motherhood Monday : Diah Kusumawardani Wijayanti – Hidupkan Nasionalisme Tunas Bangsa dengan Mendirikan Yayasan Belantara Budaya

author

?author?17 Aug 2015

Motherhood Monday : Diah Kusumawardani Wijayanti – Hidupkan Nasionalisme Tunas Bangsa dengan Mendirikan Yayasan Belantara Budaya

“Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.” –John Fitzgerald Kennedy

photo (1)

Sesekali saya pernah menanyakan hal di atas ke diri saya sendiri, jawabannya? Belum banyak, sebagian masih berkutat pada peran saya sebagai ibu yang berusaha mendidik anak pertama saya Jordy, agar kelak menjadi pribadi yang bermanfaat untuk lingkungan, agama dan negara (aamiin). Meski jalan masih panjang, namun saya optimis suatu saat nanti saya bisa memetik buah manis dari perjuangan saya. Seoptimis kawan lama saya yang bernama Diah Kusumawardani Wijayanti (39) untuk menularkan semangat mencintai budaya Indonesia.

Ia memulai proyek mendirikan Yayasan Belantara Budaya ini dua tahun silam, bertepatan dengan rampungnya studi S2 jurusan Arkeologi-nya di Universitas Indonesia. Yayasan tersebut memiliki program sekolah tari gratis yang diadakan di Museum Kebangkitan Nasional. Selain tari sekarang juga merambah sekolah musik tradisional Indonesia. Ibu dari Kinanti (10) dan Kirana (8) ini, memang hidup di keluarga yang kental dengan nilai-nilai budaya Indonesia. Sedari kecil ia sudah terpapar dengan aneka kesenian, mulai macam-macam wayang, makanan khas Indonesia hingga belajar gamelan Jawa.

Simak obrolan saya dengan perempuan berambut panjang yang juga dikenal sebagai fotografer dan Wapemred di Gohitz.com ini mengenai Yayasan Belantara Budaya yang didirikannya dan seputar menanamkan rasa cinta tanah air kepada si kecil sedari dini.

Apa yang melatar belakangi Mbak Diah mendirikan Yayasan Belantara Budaya ini?

Ada warisan dari pemerintahan Soeharto yang hingga sekarang saya pegang teguh, yaitu Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Saya aplikasikan ke dalam hidup saya, jadi per lima tahun itu, saya me-review diri mau ngapain lagi saya ini? Dari zaman single: 25-30 harus menikah dan punya anak – karena menurut saya repoduksi perempuan yang paling bagus di rentang usia tersebut. Dan di usia itu juga, perempuan sudah dianggap matang secara kepribadian dan juga cukup memiliki waktu masa “happy-happy”-nya – konteks “happy” di sini maksud saya, umur 23 lulus kuliah dan bekerja. Hasil jerih paya bekerja itu sudah cukup untuk membahagiakan diri sendiri. Dan cukup sampai usia 27, setelah itu menikah dan punya anak satu – di usia 31 saya sudah mempunyai 2 anak (memang persis seperti di rencana awal saya).

Repelita kedua dalam , 30-35 adalah berkarier, setelah punya anak saya memang berkomitmen menjadi wanita karier agar dua anak saya memiliki tabungan masa depan yang mumpuni. Repelita 35-40 saya ingin mengabdikan diri untuk masyarakat, tidak hanya untuk anak dan suami. Terutama untuk anak Indonesia – awalnya saya memang belum tahu jalan yang akan saya tempuh. Intinya di rentang usia 35-40 saya akan berkarya untuk masyarakat.

Dan ternyata doa saya didengar. Pada suatu ketika saat karier sedang mengalami cobaan, ada yang menawarkan beasiswa S2 Universitas Indonesia. Lantas saya mendaftar beasiswa tersebut dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ternyata saya diterima di jurusan Arkeologi. Memang agak jauh dari jurusan saya yang sebelumnya, yaitu Komunikasi – tapi sepertinya Tuhan sedang menunjukkan jalan dari doa-doa saya tadi. Dan saya mendapatkan beasiswa itu penuh 100%, dari uang buku sampai uang transportasi. Seperti yang kita ketahui bersama, beasiswa semacam ini tentunya menggunakan uang rakyat, nah...saatnya saya mengembalikan uang yang saya terima tersebut.

Akhirnya, ketika thesis saya mengambil tema bagaimana sebuah museum bisa berdaya untuk masyarakat melalui program CSR – saat thesis itu sedang berlangsung , sekaligus saya juga mendaftarkan yayasan saya. Jadi ketika thesis sudah ketuk palu tanda lulus S2, di saat yang sama saya memberitahukan kepada profesor yang menguji saya, bahwa saya sudah mempunyai Yayasan Belantara Budaya ini – bukti bahwa thesis saya bisa teraplikasi dengan baik.

Profesor yang menguji saya sempat kaget, kalau ternyata saya sudah memilik Yayasan Belantara Budaya ini. Thesis saya ini membahas tentang museum Kebangkitan Nasional. Ketika saya lulus itu, saya langsung minta izin ke jajaran museum tersebut untuk membuat program di sana. Karena museum Kebangkitan Nasional itu bagus banget, megah, indah, letaknya pun strategis di tengah kota, halamannya luas – tapi kok sepi ya. Nah, hal ini yang menjadi salah satu pertimbangan saya membuat program tersebut – nama programnya “Sekolah Tari Tradisional Gratis.” Pekerjaan rumah yang besar saat membuat program ini adalah, “Apakah banyak yang  mendaftar?”, pertanyaan itu terus bergelayut di kepala saya. Ada dua kesedihan yang sempat menghamipir saya, ada dua sisi, yaitu satu museum adalah tempat yang jarang sekali dikunjungi – seperti bukan hal yang sifatnya kekinian. Sebagian orangtua mungkin berpikir untuk apa ke museum, banyak debu, nantinya di sana main apa, dan hal-hal lain yang sifatnya meragu akan keberadaan museum.

Pertanyaan-pertanyaan tadi sebetulnya juga menjadi PR besar bagi pihak museum, karena saya yakin orang-orang atau keluarga bukannya tidak mau datang ke sana, tapi karena ketidaktahuan saja akan program-program berkualitas yang museum bisa tawarkan kepada masyarakat. Nah, saya mulai menyosialisasikan program “Sekolah Tari Tradisional Gratis” kepada masyarakat luas – lewat jajering sosial, datang ke sekolah-sekolah yang posisinya dekat dengan museum tersebut, dan ternyata pendaftaran gelombang pertama mencapai 250 anak. Sangat di luar dugaan, saya sangat senang. Bisa dibayangkan dong ya, 250 anak itu pasti diantar oleh ibunya, berarti dikali dua sudah ada 500 orang, belum lagi kalau ayahnya juga ikut mengantar, berarti ada 750 orang yang berkunjung ke museum dalam sehari. Dan sampai hari ini yang terdaftar di museum ada 540 anak. Karena hingga saat ini berjalan baik dan sambutan masyarakat juga bagus, jadi saya membuat “Sekolah Musik Tradisional Gratis”. Memang kalau niat baik dan dijalankan dengan baik, niscaya pasti akan membuahkan hasil yang manis.

Kapan saja dua program tadi dilaksanakan? Dan bagaimana dengan tenaga pengajarnya?

Diadakan setiap hari Sabtu, jam 10.00 – jadi keluarga bisa menghabiskan akhir pekannya di museum. Untuk tenaga pengajar guru tari, saya bayar mereka secara profesional dari dana pribadi. Dan untuk yang sekolah musik, saya belum bisa membiayai secara penuh – karena dana saya masih terbatas untuk proyek ini. Jadi sekarang saya sedang mencari relawan yang mau mengajar di sana, misalnya mengajar angklung, gamelan jawa dan lain-lain –  sudah ada yang mendaftarkan diri.

Apa saja hikmah yang Diah temukan sepanjang perjalanannya mendirikan Yayasan Belantara Budaya Indonesia? Simak di halaman selanjutnya ya, Mommies.

photo#

Sejauh ini hikmah apa yang  didapatkan dengan berdirinya Yayasan Belantara Budaya?

Sebenarnya kalau kita bergandengan tangan, bersama-sama untuk meluangkan waktu, tenaga dan pikiran sebentar saja – saya pikir bukan tidak mungkin semua persoalan di Indonesia bisa teratasi dengan mudah. Bukti kecilnya dengan berdirinya Yayasan Belantara Budaya ini. Kalau saya lihat, masyarakat Indonesia ini diajak untuk berbuat kebaikan sangat mudah, hanya saja kita harus pandai-pandai mengemas caranya – misalnya bagaimana kita mengomunikasian maksud dan tujuan kita kepada mereka. Semua butuh pengorbanan.

Ada cerita menarik dan tujuan lain dari dibentuknya yayasan ini?

Selain anak-anak,  ada ibu-ibu juga yang mau belajar tari Indonesia. Dari usia 3 tahun sampai usia 50 juga ada. Untuk peserta yang usianya 50 tahun ini saya pernah melontarkan pertanyaan, “Kenapa ibu rajin sekali latihan tari?” lalu dia menjawab: “Kan lumayan Mbak kalau suatu hari saya itu punya sanggar tari, jadi bisa ada pemasukan untuk saya.” Ini salah satu tujuan saya, yaitu program ini bisa berdampak ekonomi bagi para pesertanya.

Jadi sebetulnya dampak yang ingin dibangun adalah mereka harus kenal dulu sama budaya mereka – contohnya saya terapkan kepada dua putri saya Kirana dan Kinanti. Awalnya mereka tidak mau belajar tari tradisional, karena ketidak tahuan mereka akan referensi tari-tarian tersebut, yang mereka tahu hanya tari balet yang mereka dapat informasinya dari saluran televisi lokal maupun internasional. Tapi begitu aku kenalkan mereka jadi senang melakukannya, malah belakangan ini mereka mulai belajar tari topeng khas Jakarta, mereka senang karena tarian topeng ini gerakannya sangat dinamis – banyak hentakan di sana sini.

Setelah kenal akhirnya kan suka, setelah itu kan cinta dan ujung-ujungnya bisa mendalami sepenuh hati. Maunya saya, suatu hari dari para peserta ini menjadikan tari sebagai profesi mereka, dan akhirnya itu tadi – bisa berdampak profesi. Dari alur ini, satu nilai baik lainnya yang mau saya ambil adalah, mereka jadi percaya diri karena sering tampil di mana-mana. Dan pasti menjadi kebanggaan untuk orangtuanya. Misalnya waktu itu, kami diundang oleh pihak Kepresidenan ke acara “Festival Indonesia Bertutur”, orangtua dari anak-anak yang tampil di sana memiliki kebangaan yang luar biasa karena anak mereka bisa tampil di depan Presiden RI. Hal ini juga menjadi bagian dari tanggung jawab kami untuk menyalurkan bakat mereka, jadi tidak hanya latihan saja, tapi juga bisa unjuk gigi ke masyarakat luas.

Mimpi apa yang Anda inginkan terkait dengan kesenian Indonesia?

Saya ingin suatu hari nanti, Indonesia mempunyai boarding school sekolah seni. Karena kemampuan anak-anak berbeda-beda, ada yang pintar di bidang akademis, tapi ada juga yang memiliki keahlian khusus berkaitan tentang budaya. Indonesia itu kaya banget loh, contohnya bergeser sedikit dari Jakarta ke Karawang itu sudah punya keseniannya sendiri, lalu bergeser lagi ke Cirebon, itu beda lagi jenis keseniaan dan kebudayaannya. Lalu Bandung, Bogor dan seterusnya, itu baru Jakarta ke Jawa Barat. Kebayang kan betapa Indonesia kaya dengan kebudayaan? Nah, kalau itu dijadikan boarding school, dan boarding school itu ada di setiap provinsi. Ini adalah pekerjaan rumah yang sangat besar untuk pemerintah. Jadi misalnya ada acara-acara kenegaraan, tinggal dipilih saja boarding school dari provinsi mana yang hendak dipakai. Jadi nanti, selain budaya kita terus berkembang, lebih dicintai dan yang pasti kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan mau kalah dengan budaya asing yang sering tampil di pentas-pentas besar di Jakarta dan sekitarnya.

photo (3)

Di laman berikutnya, Diah bicara tentang dukungan keluarga dan kedua puterinya

photo

Dukungan keluarga bagaimana?

Yang pasti mendukung, karena kalau tidak mendukung tidak mungkin terjadi momen di hari sabtu kami sekeluarga berbondong-bondong pergi ke museum. Dan kebetulan puteri saya yang kedua, Kirana – yang sudah menunjukkan kertertarikannya yang lebih di dunia seni, jadi dia pernah bilang “Nanti aku mau membuat yayasan, berbudaya dan menjadi arkeolog seperti Mommy.” Dan dia pernah di wawancara oleh salah satu televisi swasta, “Pilih ke mal atau ke museum?” lalu dia jawab “Pilih ke museum, karena kalau ke mal kita hanya lihat-lihat saja, kalau museum kita bisa belajar.

Selain rajin ke museum, nilai-nilai Indonesia apalagi yang Anda terapkan ke kedua puteri Anda?

Jadi , sebenarnya TK mereka adalah international school dengan teman yang pasti kualitasnya juga sudah tersaring. Nah, aku kepingin mereka mempunyai bahasa Inggris yang mumpuni demi bekal mereka nanti, namanya era globalisasi harus dong seorang anak memiliki kemampuan bahasa lain. Ternyata di luarr dugaan, bahasa Inggris mereka sangat lancar, lantas muncul PR baru dong, bahasa Indonesia mereka juga harus sempurna. Jadi, harus saya seimbangkan dengan pengenalan budaya, ke mal masih tidak apa-apa sesekali saja, tapi juga harus mengenal tempat lainnya yang “Indonesia Banget”, jalan keluarnya selain rajin ke museum, saya ajak mereka ke pasar tradisional pada hari minggu.

Di sana saya kenalkan kue-kue tradisional, misalnya cucur, pancong, pukis dan jajanan pasar lainnya. Mengajarkan berbudaya lainnya, saya juga ajarkan mereka berinteraksi dengan penjual kue tradisional yang kebanyakan menaruh dagangannya di bawah. Nah, mereka juga harus melakukan transaksi jual beli dalam kedaan jongkok, jadi sejajar dengan penjualnya. Selain itu, saya juga membiasakan mereka mengucapkan, permisi, terima kasih, tolong dan maaf. Tidak bisa semena-mena terhadap ART di rumah, mareka harus memperlakukan si Mbak ini secara manusiawi. Saya kepingin anak-anak berwawasan global, namun mareka punya jiwa yang Indonesia banget.

Tantangan apa saja yang Anda hadapi saat mengenalkan budaya Indonesia ke anak-anak?

Sekarang ini, sebagian ibu-ibu cenderung suka menyalahkan pihak sekolah. Padahal menurut saya pendidikan yang sesungguhnya berasal dari rumah. Di sekolah hanya tambahan saja, nilai-nilai etika memang diajarkan di sekolah, tapi kita juga sebagai orangtua harus mencontohkan. Saya beryukur anak-anak saya rajin sholat, malah anak saya yang kedua sholat dhuha-nya juga rajin. Nah, artinya keberhasilan ini adalah hasil dari proses mencontoh kedua orangtuanya dan orang-orang terdekat lainnya yang ada di sekelilingnya. Jadi, jangan menyuruh anak-anak, kita sendiri tidak melakukan  – memberikan contoh nyata lebih bagus ketimbang hanya sekadar perintah.

Ada pesan khusus  ke Kirana dan Kinanti atau anak-anak Indonesia lainnya yang berkaitan dengan mencintai budaya Indonesia?

Usahakan suatu saat nanti mendunia dengan kekayaan budaya sendiri, dan jadilah pribadi yang unik, karena jika mendunia dengan budaya asng yang sifatnya sedang nge-trend sementara saja maka kamu akan kalah. Karena trend-trend seperti itu sifatnya hanya sementara, lain hal jika menguasai kebudayaan sendiri, itu lebih abadi.

Bagaimana dengan urusan menjaga quality time dengan keluarga, di tengah kesibukan sehari-hari?

Selain sabtu dan minggu dimanfaatkan untuk kumpul keluarga, kami juga punya tradisi yang namanya “girl talk”, di momen itu biasa kami saling cerita – saya membebaskan mereka cerita apa saja. Contohnya saya tanya mengenai siapa yang paling keren di sekolah? Khususnya anak laki-laki, tujuannya agar suatu saat nanti ketika mereka besar, mereka terbiasa menceritakan tentang pasangannya kepada saya tanpa rasa segan. Dan saya pun merespon dengan gaya bahasa anak seumuran mereka. Saking mencairnya suasana “girl talk” kami, saya sempat mendapatkan pertanyaan tentang berapa mantan saya sebelum menikah sama Ayahnya, hahaha. Dengan kebiasaan saling terbuka ini, kedua anak saya juga tidak sungkan memberikan apresiasi terhadap saya, misalnya kejutan kecil berupa tulisan di secarik kertas “Welcome home” sepulang saya tugas dari luar negeri atau luar kota.

Sebagai orangtua seperti apa Diah ingin dipandang oleh kedua puterinya? Yuk, intip di halaman terakhir Mommies.

photo (7)

Mbak Diah dan pasangan ingin dipandang sebagai orangtua yang seperti apa?

Orangtua yang juga bisa berperan sebagai sahabat, saya mau mereka jadi sahabat saya – saya bisa bebas tahu tentang mereka. Dan mereka juga percaya cerita apapun ke saya.

Bagaimana menurut Mbak tentang peran para working mommies?

Apapun peran seorang ibu menurut saya adalah sebuah pilihan hidup. Kalau saya pribadi saya memang lebih bahagia kalau bisa bekerja – karena mau memberikan sumbangsih kepada masyarakat lewat profesi yang sekarang saya geluti.

Suka liburan bareng keluarga nggak?

Kalau liburan bareng berempat saya malah jarang, baik itu ke luar negeri maupun ke luar kota. Karena, yang pertama terbentur jadwal saya dan suami yang tidak memungkinkan. Tapi kalau sekadar jalan-jalan keliling Jakarta ya kami sering pergi berempat. Kalau ke luar negeri biasanya saya akali bergantian mengajak Kinanti atau Kirana.

Arti budaya Indonesia sendiri untuk Anda apa?

Yang pasti budaya itu kan tidak hanya seni, etika itu juga termasuk ke dalam kegiatan berbudaya. Misalnya ke pasar tradisional itu sudah termasuk ke dalam antivitas berbudaya. Dan saya percaya kalau ke pasar itu adalah bentuk dukungan terhadap kearifan lokal, artinya turut menghidupi mata rantai ekonomi di sana.  Saya berharapnya hal-hal berbudaya seperti ini bisa dijadikan gaya hidup.

Motivasi apa yang membuat Anda tetap semangat menjalankan Yayasan Belantara Budaya ini?

Pertama komitmen pribadi pastinya, kalau sudah punya komitmen diri mau dihempas badai seperti apapun pasti akan tetap berdiri. Selain itu, dukungan terbesar dari Papa saya – dia yang membesarkan saya dengan konsep “Indonesia Banget”, pesan dia sebagai perempuan Jawa harus mandiri. Baik mandiri secara finansial maupun mandiri secara kepribadian, dan dia juga berpesan jangan memotong dan mewarnai rambut. Papa juga yang mengenalkan saya nonton wayang orang dan kulit, gamelan Jawa, makanan khas Indonesia sedari kecil. Selain itu motto hidup dari beliau yang saya pegang sampai sekarang adalah “Berpikir labih banyak dari orang lain, dan tidur lebih sedikit dari orang lain” – artinya harus kerja keras kalau ingin menjadi orang sukses.

Cita-cita atau mimpi lima hingga sepuluh tahun mendatang untuk Yayasan Belantara Budaya?

Maunya lima sampai sepuluh tahun punya sekolah budaya gratis nggak hanya di Museum Kebangkitan Nasional, tapi tersebar di seluruh penjuru Jakarta. Dan mimpi lainnya, bisa sampai ke pelosok Negeri. Karena itu, saya mengajak teman-teman semua yang memiliki yayasan sejenis, mari bergandengan tangan supaya bisa berdiri sekolah-sekolah gratis ini. Jika ada uang berlebih, tidak harus dialokasikan ke yayasan saya, tapi saya bersedia menjadi konselor untuk mendirian yayasan serupa.

Terakhir Mbak, ada kiat yang bisa dibagi nggak untuk Mommies – menanamkan rasa cinta Tanah Air kepada si kecil sejak dini?

Pertama bisa dengan membacakan buku tentang dongeng-dongeng tradisional khas Indonesia, ajak jalan-jalan mengenal Indonesia baru ke luar negeri. Contohnya baru-baru ini saya ke Cirebon sekeluarga, ternyata Cirebon bagus loh – bisa ke gua-gua dan museum yang ada di sana, apalagi wisata kulinernya. Mengenalkan sambil diutarakan, ada proses komunikasi dua arah antara anak dan orangtua. Selain itu, bisa juga belajar tari dan musik Indonesia – untuk musik dikenalkan dengan memperdengarkan terlebih dahulu supaya suka dan akhirnya bisa mencintai.

Selama sesi ngobrol dengan Mbak Diah ini, semangat nasionalisme saya seperti terbakar. Jika Mommies berniat mendaftarkan si kecil untuk kursus tari dan musik, silahkan lihat keterangannya di sini ya: Yayasan Belantara Budaya. Semoga cita-cita Mbak Diah untuk dua puterinya juga bisa tertular untuk anak Indonesia lainnya, yaitu anak yang berwawasan global namun tetap kenal dan cinta Indonesia :)

PAGES:

Share Article

author

-

Panggil saya Thatha. I’m a mother of my son - Jordy. And the precious one for my spouse. Menjadi ibu dan isteri adalah komitmen terindah dan proses pembelajaran seumur hidup. Menjadi working mom adalah pilihan dan usaha atas asa yang membumbung tinggi. Menjadi jurnalis dan penulis adalah panggilan hati, saat deretan kata menjadi media doa.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan