banner-detik
MD POWERFUL PEOPLE

Family Friday: Venita Daben –Resep Kue Ibu yang Mengantarkannya Sukses Berbisnis.

author

?author?19 Jun 2015

Family Friday: Venita Daben –Resep Kue Ibu yang Mengantarkannya Sukses Berbisnis.

Berawal dari kecintaannya terhadap kue buatan sang Ibu, kini ia dan adiknya berhasil mendirikan Minilovebites.

IMG_8610

Selama ngobrol seru bersama Venita Daben, pendiri Minilovebites ini, decak kagum saya sulit untuk dihentikan. Bayangkan saja, bermodalkan oven yang ukurannya hanya sebesar kertas A4, dikerjakan hanya berdua, hingga sekarang sudah memiliki 25 karyawan. Kini ia dan adiknya, Ifa Daben, sudah mempunyai toko di Jalan Gunawarman dan mal Pacific Place, dan pernah melayani pesanan 2.700 cupcakes dari sebuah Bank Swasta. Tak hanya itu, jangkauan layanan pesan antar Minilovebites sudah merambah ke seluruh Jakarta.

Bagi Mommies yang ingin memulai bisnis kue rumahan, silahkan disimak petikan wawancara kami dengan Venita Daben.

Cerita dong awal bisnis Minilovebites ini?

Jadi ibu saya bersama sahabatnya punya toko kue. Dulu kami rutin ke toko Ibu, yang ukurannya tidak terlalu besar di daerah Dharmawangsa. Kami dari kecil tidak pernah membeli kue, selalu mengonsumi kue buatan ibu. Dan  dua tahun setelah beliau meninggal, kami mencari kue dan entah kenapa mendapti kue-kue ini rasanya aneh, artinya aneh dari segi rasa dan ada perasaan tidak terbiasa membeli kue.

Lalu akhirnya saya dan adik iseng bakingnah, adik saya ini memang sering baking untuk keluarga. Saya pun seperti itu. Sampai akhirnya ada ide, membuat usaha pastry ini. Entah bagaimana, nama untuk usaha ini langsung ada di kepala saya. Setelah menemukan nama, saya mengecek apakah nama Minilovebites sudah ada yang memiliki domainnya, ternyata belum ada, saya langsung mendaftarkannya, dan juga langsung bikin akun social media-nya. Adik saya pun menyambut baik ajakan saya dan setuju untuk merintis usaha ini bersama-sama. Lucunya kami tidak punya pengalaman baking yang expert, jadi trial and errornya banyak sekali. Langkah awal kami adalah memberikan contoh kue kepada teman-teman. Komentar dari teman-teman  juga positif, mereka bilang kue yang saya kasih layak untuk dijual. Kami memulainya dengan ukuran oven yang terbilang kecil dengan harga Rp. 200 ribu saja. Karena ruangan dapur yang sempit, berawal dari pemasaran mulut ke mulut akhirnya banyak pesanan yang datang.

Jadi sistem pemasarannya, apakah lewat sosial media saja?

Kalau dulu karena awalnya kami tidak memiliki modal yang besar, kami hanya mau mengambil dari jatah uang jajan kami sebulan. Jadi kami tidak mau berinvestasi terlalu besar, dan yang kedua kami belum tahu bisnis ini bisa berjalan atau tidak. Jadi kami berhitung, kira-kira modal berapa yang kalau hilang atau rugi kami ya nggak apa-apa – artinya uang sekolah untuk anak-anak tidak terganggu, uang pensiun juga tidak terganggu. Jadi ya kami mulai kecil-kecilan saja, dari 15-20 juta di tahun 2011. Kalau dulu balik modalnya dalam tiga bulan, dengan catatan mulainya dari online dulu. Dan minta bantuan orang-orang di sekeliling saya yang memiliki skill khusus untuk membantu bisnis ini, misalnya adik ipar saya yang bisa membuat website, jadilah saya meminta bantuannya – bisa menghemat budget juga kan? Hehehe. Di awal itu website kami formatnya masih katalog, dan paling penting ada menunya dulu, supaya orang-orang bisa dengan mudah jika ingin memesan online. Sekarang sudah lebih rapih. Awalnya, dari mulut ke mulut dan social media (website, twitter dan Intagram). Kami juga memberi contoh produk ke teman-teman.

Saya perhatikan efek social media cukup besar ya?

Empat tahun lalu saat IG belum terlalu booming, kami lebih fokus ke twitter. Kalau bisnis makanan ini awalnya dari rasa, otomatis orang yang makan kalau dia cocok dengan rasanya, dia pasti akan merekomendasi ke orang lain, minimal dia repeat order. Di twitter kami jualan, tapi juga dipengaruhi sama siapa follower kami, dan siapa yang me-retweet. Kami juga mempunyai beberapa teman yang punya influence cukup besar, walaupun sebetulnya kami tidak bermaksud untuk meng-endorse atau menjadikan mereka buzzer. Karena mereka nge-tweet, jadilah kami banyak pesanan dari sana. Contohnya, Wulan Guritno yang pernah memesan kue dari saya, karena kenal dengan teman saya itu.

Ada kiat jitu lainnya dari Venita dalam hal strategi promosi, intip di halaman berikutnya ya Mommies

image1 (3)

Jadi, relasi yang baik dengan teman itu sebenarnya  juga menjadi strategi promosi ya?

Iya, tapi sebenarnya juga tidak disengaja. Dari situ mulai deh ke teman-teman lain juga memesan kua dari kami. Kami juga mulai diwawancara media, salah satu yang paling heboh adalah saat Minilovesbites diwawancara Hitam Putih di 2012. Itu sampai kami baru bisa membalas SMS, dan email yang masuk itu sekitar empat hari kemudian.  Namun,karena skala acara Hitam Putih itu adalah Nasional, sementara jangkauan kami baru Jakarta saja – jadi lebih booming ke branding saja. Tapi kalau ke penjualan tidak berpengaruh banyak, lebih efektif promosi dari mulut ke mulut sebenarnya, karena mereka pasti akan melakukan pemesanan.

Dari empat tahun menjalani bisnis ini, apa saja tantangan yang ditemui?

Kalau di awal, tantangannya adalah tenaga kerja, dan ketika memulai bisnis karena hanya ditangani oleh saya dan adik saya. Jadi kami berdua harus menangani belanja, baking, bikin icing, dekorasi cake, pengemasan, delivery, cash flow, hingga cuci piring.

Tantangan lainnya termasuk tempat, karena waktu itu masih nebeng di apartemen adik. Lalu tantangan berikutnya adalah soal belanja, karena skala usaha kami masih kecil, cari bahannya tidak bisa di supplier, karena supplier tidak mau kirim barangnya. Tantangan berikutnya, karena tidak punya toko itu juga menjadi masalah, kalau marketnya usia 20-an dan 30-an, karena mereka sudah terbiasa melakukan transaksi online – mereka langsung percaya dengan kami. Tapi yang di kisaran usia 40-an sampai 50-an, mereka akan bertanya toko fisik kami di mana, begitu juga dengan urusan transfer pembayaran, ada ketakutan dari mereka. Tantangan semacam ini yang kami rasakan di awal menjalankan Minilovebites.

Jadi, akhirnya Minilovesbites bisa punya toko fisik bagaimana prosesnya?

Dari awal mulai, walaupun numpang di apartemen adik, kami sudah memberlakukan sistem sewa. Agar kami bisa mengetahui biaya yang keluar per bulannya berapa karena  ongkos air dann biaya listrik juga harus masuk perhitungan. Selanjutnya kami ditawari Holycow  untuk menjual dessert di sana. Akhirnya kami coba. Selang beberapa bulan, salah satu pemiliki Holycow mau membuka cabang di Gunawarman dan ada space kecil yang disewakan. Setelah proses hitung menghitung kami memutuskan untuk mencoba toko di daerah Gunawarman itu sebagai toko pertama kami.

Toko fisik kami berikutnya ada di Pacific Place yang dibuka pada Juni 2014. Kami membuka toko di PP ini adalah hasil diskusi dengan mentor kami, dia menyarankan kami memiliki toko di mal selain di off street. Kami sempat mendapat tawaran dari mall baru, namun kalau baru kami tidak berani karena kami nggak tahu akan ramai atau tidak.  Sementara kalau mal yang ramai nggak ada space kosong atau menunggu giliran yang kosong. Sampai akhirnya dikasih tahu di PP ini, dengan pertimbangan yang matang, akhirnya kami berani mencoba.

Bagaimana mempertahankan bisnis semacam ini?

Kami setiap hari belajar dengan cara mengonsumsi sendiri berbagai varian kue kami untuk mempertahankan kualitas rasa. Walaupun sekarang kami sudah memiliki orang yang membantu, quality control tetap ada di tangan kami. Selain itu kami juga terus belajar sendiri. Selain itu cara memaintain bisnis ini adalah melakukan perubahan. Dari proses pertama kami mulai, hingga sekarang sudah empat tahun berjalan, banyak perubahan yang sudah dilakukan, artinya perubahan itu kami sesuaikan dengan ritme kami. Dari segi rasa juga begitu, kami menerima masukan dari para pelanggan kami. Tapi pada dasarnya bahan dasar yang kami gunakan tidak banyak perubahan, yaitu bahan dasar yang dulu ibu saya gunakan, hingga alat yang digunakan – karena kami ingin membuat kue yang mendekati rasa kue buatan ibu.

Dukungan dari suami seperti apa?

Dia tidak pernah melarang saya melakukan apa, dan karena dia juga punya usaha sendiri, jadi ya dia senang kalau isterinya mempunyai kegiatan. Bentuk dukungan yang lebih detail justru datang dari anak-anak saya, maksudnya mereka sudah bisa memberi kritik jika rasa kue yang kami buat kurang enak.

Dan karena sudah terbiasa dengan rasa kue rumahan, yang terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas, jika pergi dan makan kue lain mereka sudah bisa membedakan kue yang terbuat dari bahan yang misalnya kurang berkualitas – mereka mulai kritis dengan sendirinya. Jadi bisnis ini sebenarnya bukan mengandalkan skill, tapi kemampuan lidah memformulasikan rasa yang bisa diterima oleh masyarkat.

Selain tadi mempertahankan, apa yang bisa dilakukan untuk mengembangkan Minilovebites?

Perkembangan bisnis ini dari learning by doing, melihat segala kemungkinan – mana yang cocok untuk diterapkan ke bisnis ini, dan mana yang tidak cocok. Atau apa saja yang harus mengalami perubahan, dan mana yang harus dipertahankan.

Misalnya pengaplikasian green tea yang belakangan sedang marak, ternyata green tea itu mudah sekali mengalami oksidasi, semacam apel, jadi warnanya mudah sekali menjadi gelap. Jadi walaupun seseorang suka green tea, tapi kalau warnanya sudah berubah menjadi gelap, jadi kurang selera untuk menyantapnya. Dari situ kami bisa belajar, kalau kami membuat kue yang salah satu bahan dasarnya menggunakan green tea, bagaimana caranya supaya warnanya tetap bagus, tapi tetap tidak menggunakan pewarna. Jadi kalau kami pergi kemanapun, selalu mencari sesuatu yang bisa kami terapkan ke produk-produk Minilovebites.

Apakah bisa dibilang kalau Minilovesbites ini adalah kue sehat?

Dessert, cake, kue itu kan tetap saja menggemukkan karena rata-rata terbuat dari bahan dasar yang mengandung karbohidrat. Jadi juga tidak bisa dibilang karena kami tidak menggunakan bahan-bahan yang aneh-aneh berarti sehat. Bahkan mau itu yang organik, raw, tetap dia kalorinya tinggi. Hanya saja kami memang berkomitmen untuk tidak menggunakan bahan-bahan yang ada ada campuran kimianya.

Misalnya kami tidak menggunakan pelembut kue. Karena memang dari kecil saya diajarkan sama ibu seperti itu. Lalu ada lagi yang namanya emulsi fier – yaitu zat yang gunanya untuk membuat adonan menjadi stabil. Lain hal kalau menggunakan kuning telur yang disebut sebagai emulsi fier alami - itu kalau setengah jam nggak masuk oven akan turun dan akhirnya menjadi bantet. Bisa saja kami menggunakan bahan yang tergolong tidak alami itu, tapi karena sudah terbiasa semenjak kecil jadi ya sudah, lebih baik memilih yang alami saja.

Di halaman berikutnya: Kiat Venita menjaga kesehatan dan hikmah menjadi pebisnis untuk anak-anaknya

Venita

Gambar dari sini

Bagimana kiat menjaga kesehatan supaya terus semangat menjalani bisnis ini? Saya dengar Anda  aktif yoga ya?

Iya, itu bermula dua tahun yang lalu diajak sama Dian Nitami. Akhirnya keterusan, biasanya berlatih di rumah Dian Nitami. Sekarang intensitas saya latihan yoga seminggu tiga sampai lima kali. Dan, sekarang saya sedang proses menjadi yoga trainer. Poinnya saya senang mencoba sesuatu yang baru, dan semacam apreasiasi ke diri sendiri karena Minilovebites sudah ada pada titik ini, dari yang awal saya benar-benar “kerja bakti”.

Pelajaran apa yang bisa Anda ambil dari bisnis ini, untuk kemudian diterapkan ke anak-anak? Mungkin berencana mereka juga menjadi entreprenuer?

Kalau suami kebetulan dia punya usaha sendiri di bidang event organizer, jadi dia sudah terbayang anak-anak kami tidak perlu kuliah. Lebih baik cari sekolah yang bisa langsung kerja – kurang lebihnya pemikiran pasangan saya seperti itu. Setelah saya pikir-pikir prinsip pasangan saya ada benarnya juga, karena saya sendiri yang lulusan S1, sekarang kerjanya tidak menggunakan ijazah.

Pelajaran lain yang bisa saya petik dari bisnis ini adalah, mencari uang bisa dari mana saja, artinya tidak harus punya bisnis juga. Karena punya bisnis itu susah loh, karena bisa untung dan rugi, lain hal jika kerja kantoran setiap akhir bulan sudah pasti gajian. Hal ini yang kadang saya sampaikan ke teman-teman yang ingin menjalankan bisnis. Selain itu bisnis dan kerja kantoran itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Maksudnya tidak semua orang harus menjadi pebisnis, kalau sudah kerja kantoran dan tempatnya enak, gajinya bagus, ya sudah kerja saja yang benar. Poinnya masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, dan harus siap dengan risikonya.

Asyiknya menjadi pebisnis?

Jadi selama ini saya kerjanya freelance (MC dan mengisi suara iklan), karena pada dasarnya tidak suka kerja kantoran. Ternyata setelah menjadi bisnis ini saya merasakan perbedaannya. Kalau freelance, datang, kerja da mendapatkan bayaran. Nah, kalau bisnis ini, kita invetasi, tapi masih ada pertanyaan “Bisa untung nggak ya?”. Tapi asyiknya bisa memberikan lapangan pekerjaan untuk orang lain, dan mampu memberikan kepuasan untuk saya. Selain itu saat kami bisa memenuhi kewajiban kami memberikan THR kepada seluruh karyawan.

image3

Venita dan sang adik Ifa Daben - di depan toko Minilovebites yang berada di mal Pacific Place

Pelajaran berharga yang bisa saya petik dari sesi wawancara dengan Venita hari itu adalah, apapun yang dilakukan dengan penuh cinta, berani mencoba dan mau menerima masukan dari pihak lain, bisa berjalan dengan baik.

PAGES:

Share Article

author

-

Panggil saya Thatha. I’m a mother of my son - Jordy. And the precious one for my spouse. Menjadi ibu dan isteri adalah komitmen terindah dan proses pembelajaran seumur hidup. Menjadi working mom adalah pilihan dan usaha atas asa yang membumbung tinggi. Menjadi jurnalis dan penulis adalah panggilan hati, saat deretan kata menjadi media doa.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan