banner-detik
MD POWERFUL PEOPLE

Motherhood Monday: Nonita Respati – Desainer dan Pengusaha yang Tidak Pelit Ilmu & Ingin Semua Orang Maju

author

?author?15 Jun 2015

Motherhood Monday: Nonita Respati – Desainer dan Pengusaha yang Tidak Pelit Ilmu & Ingin Semua Orang Maju
Dalam hidup perempuan yang tinggi semampai ini, batik tak sekadar lembaran kain warisan budaya dari tanah Jawa. Batik sudah menjadi bagian hidupnya sejak ia kecil, dan mengantarnya menjadi salah satu desainer muda Indonesia yang patut diperhitungkan di kancah dunia fashion Nusantara.

IMG_8566

Mommies pasti sudah tak asing lagi dengan batik, warisan budaya Indonesia yang sempat diklaim sebagai milik Malaysia. Hingga akhirnya dengan segala upaya dan perjuangan, batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi pada 2 Oktober 2009 oleh UNESCO. Tapi bagi Nonita Respati (37), kehadiran batik memiliki makna yang lebih dalam, maklum saja karena ia tumbuh di lingkungan budaya Jawa yang sangat kental. Belum lagi keluarga besarnya sempat memiliki pabrik batik di Solo, ditambah Almarhum Ibu dan Eyangnya adalah seorang kolektor batik.

Masih hangat dalam ingatannya, betapa ia terperangah melihat koleksi batik sang ibu yang tersimpan apik di beberapa lemari. Dan sampailah pada suatu hari, Ibunda tercinta harus berpulang dan mewariskan koleksi batiknya kepada Nonita dan empat saudara lainnya. Dari sini cikal bakal kecintaan Nonita dengan batik, dan berlanjut menjadi seorang desainer sekaligus pemilik butik Purana Batik. Baginya semua pencapaiannya sekarang akan terasa lebih lengkap jika ia tak pelit membagi ilmu dan dapat berkontribusi bagi mereka yang tidak mampu agar dapat hidup layak melalui usahanya ini. Tak hanya batik, Nonita juga sedang merintis bisnis di sektor bahan bakar minyak yang sempat mati suri sepeninggalan orangtuanya. Mau tahu lebih lebih lengkap bagaimana kisah Nonita membesarkan Purana Batik, dan perjuangannya menghidupkan kembali usaha keluarga tersebut, berikut petikan wawancara Mommies Daily bersama Nonita Respati.

Boleh tolong diceritakan, awal mula Anda jatuh cinta dengan batik? Dan akhirnya terlibat serius mengelola Purana Batik?

Awal mulanya jatuh cinta sama batik, karena saya dari kecil tinggal di lingkungan yang sangat Jawa. Ibuku Jawa dari Keraton Yogyakarta, dan Bapak dari keraton Mangkunegaran Solo, Eyang saya kolektor batik dan kami dulu sempat punya pabrik batik. Hanya saja tidak bisa berlanjut karena banjir besar Solo, semua alat rusak, itu tahun 70-an. Semua alatnya hilang, workshopnya juga harus dibangun lagi dari awal. Pada saat itu Eyang putri memutuskan untuk mengalihkah usahanya ke BBM. Nah, jadinya terlupakan sementara si batik ini. Hanya saja ketika beranjak besar, tempat pencelupan, bak-baknya, yang besar itu masih ada beberapa, dan cap-cap batik. Cuma ya terbelengkai begitu saja. Kemudian sehari-hari aku juga terbiasa menyaksikan perawatan batik-batik koleksi Ibu dan Eyang, jadi setiap seminggu sekali diwiru kembali oleh seseorang yang sengaja datang. Habis diwiru, lalu dipres menggunakan alat wiru yang sudah kuno supaya wiruannya paten.

Di rumah kami ada pendopo lengkap dengan seperangkat alat gamelannya, alat-alat gamelan ini dipake oleh bule-bule Eropa, Jepang dan Amerika untuk belajar gamelan. Kami juga ada sanggar karawitan, tapi sebenarnya bukan milik kami sepenuhnya, kami hanya menyediakan tempat untuk ibu-ibu latihan. Jadi kalau bicara dari indera visual, pendengaran, peraba dan sebagainya – Saya itu lekat banget dengan budaya jawa – termasuk batik itu sendiri.

Sampai akhirnya, turning point-nya ketika ibu sakit dan meninggal, semua koleksi batik kunonya diwariskan ke anaknya-anaknya. Nah, sebelum ibu membagikan batik-batiknya itu, saya sudah pernah mencoba terlebih dahulu. Jadi ada beberapa yang saya suka, dan akhirnya saya minta saja – daripada teronggok di lemari pikir saya. Setelah ibu memberikannya, batik antik itu saya jahit menjadi baju – karena aku belum mengerti pada saat itu. Ketika ibu bertanya, mengapa dijahit menjadi baju – pikiran saya adalah: What’s the point of having something that u can not wear everyday? Akhirnya ibu menyerah, tapi beliau tetap mengoreksi baju yang saya jahit.

Pada saat ibu mulai sakit-sakitan itu, saya mulai merintis Purana Batik, dan tak lama ibu meninggal. Saya semakin fokus karena ingin membawa brand ini menjadi brand yang diminati dan diperhitungkan. Awal menjalani Purana ini saya mendapatkan banyak bantuan dari teman-teman almarhum Ibu yang juga pengrajin batik. Tangan mereka sangat terbuka, misalnya saya diizinkan memakai alat cap yang jarang digunakan.

Saya tidak ingin menjual batik yang sudah ada di pasaran. Mulai dari situ saya memantapkan diri bahwa Purana akan menjadi sebuah brand yang kainnya kami produksi sendiri. Jadi kami memproduksi sendiri motif maupun warna. Kami juga sudah punya workshop batik yang dikelola sendiri di Jogja, meskipun tidak terlalu besar. Di sana mitra kami adalah anak-anak yatim piatu, meskipun jumlah karyawan di sana belum terlalu banyak, tapi ada sistem outsource jika sedang banyak pesanan. Mareka akan mengajak teman-teman mereka untuk bekerja di workshop kami, untuk membantu tahap menyanting. Tapi untuk proses pewarnaan, pencoletan dan proses batik tetap workshop kami yang pegang.

Arti kata “Purana”?

Artinya adalah sejarah kuno, intinya entah kenapa saya suka sekali dengan nama Purana ini, karena terdengar sangat feminin – seperti nama anak perempuan. Dan saya tergila-gila dengan bahasa Sansekerta. Contohnya saja saya aplikasikan pada nama anak-anak saya. Nama pertama mereka nama Islam, nama tengah nama Sansekerta, dan nama terakhir adalah nama bapaknya. Saya selalu menganggap bahasa Sansekerta itu indah. Dan kebetulan nama terakhir saya adalah Purnamaningdyah.

Nonita bicara tentang ciri kahas Purana Batik dan sumberi ide mendesain koleksinya yang tergolong unik

IMG_8570

Dari yang saya tahu, ciri khas batik yang Anda rancang adalah teknik Tie Dye, kenapa pilih Tie Dye? Adakah ciri khas lainnya?

Intinya adalah komitmen Purana dari awal yang akan terus mengeksplorasi kain Nusantara, apapun itu teknik dan motifnya. Batik tentunya tidak saya tinggalkan, hanya saja adakalanya saya ingin bereksperimen, mau ke tie dye dulu deh misalnya. Pada akhirnya dari tie dye, saya merasa rindu dengan batik dan kembali lagi dengan batik. Jadi sebetulnya Purana berkomitmen terhadap kain Nusantara, intinya apapun jenis dan tekniknya.  Meskipun menggunakan teknik kain Nusantara yang sudah didevelop ratusan tahun lalu, tapi kami harus punya ciri khas sendiri, bagaimana caranya? Ya kami mengembangkan sendiri, baik dari segi teknik, motif dan warna. Kami sudah mengolah kan batik kemudian tie dye. Sekarang saya sedang eksplorasi kain tenun yangbekerja sama dengan pengrajin di Bali. Tidak akan berhenti di batik, jumputan dan tie dye. Misalnya jumputan dari Palembang yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu, nah, buat saya jumputan Purana harus keluar dengan sesuatu yang berbeda – fresh, modern, young sehingga bisa diterima oleh semua kalangan.

Apakah Anda (juga) merancang pakaian lain di luar batik, misalnya pakaian yang konsepnya casual?

Saat ada beberapa orang yang minta dibuatkan baju, biasanya mereka adalah pelanggan setia Purana. Itu sifatnya jarang-jarang saja. Saya punya komitmen, bahwa setiap produk yang keluar dari workshop Purana dan dilabeli Purana, harus ada unsur pengrajin kain lokalnya. Dan dibeberapa kesempatan, secara kebetulan ada nilai edukasi yang kami lakukan, orang selama ini berpikir bahwa batik itu motifnya, misalnya motif parang, dan ketika itu dilakukan melalui proses dipres orang tetap menyebut tetap batik, padahal itu salah kaprah. Nilai edukasinya adalah batik itu lebih kepada tekniknya. Batik itu berasal dari kata “amba” dan “nitik” dimana proses pembuatan motif, pewarnaan dan perintangan itu dikerjakan menggunakan malam, yaitu semacam wax.

Biasanya, Anda mendapatkan ide mendesain batik darimana?

Kebetulan saya suka travelling dan diving. Misalnya  ada motif tie dye yang terinspirasi saat saya diving, motif ikannya ada yang seperti itu. Karena ketika saya diving, saya berhadapan dengan berbagai macam kombinasi warna dan bentuk yang tidak akrab dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya saat diving saya selalu membawa kamera underwater  sebagai bahan referensi saat mendesain. Inspirasi lainnya datang saat saya mengadakan penelitian untuk proyek yang sedang saya garap. Saya terinspirasi dari motif-motif tegel yang ada di daerah Pekalongan. Dari situ mulai research mencari tegel-tegel yang lain untuk diwujudkan menjadi motif. Selain itu untuk motif retro batik yang pernah saya ciptakan, inspirasinya datang saat saya sempat kost di rumah pengrajin dan melihat sofa dan wallpaper yang sudah usang model tahun 60-70an. Mulailah saya riset motif-motif tahun 60 dan 70.

IMG_4102

Batik mengajarkan kesabaran bagi Nonita, baca di halaman berikutnya.

IMG_8577

Arti batik sendiri untuk hidup Anda?

Batik mengajarkan saya kesabaran, karena bisa dibilang bahwa batik itu is an art apalagi kalau untuk batik kuno. Kalau kita membicarakan batik yang sekarang, yang kontemporer, menurut saya itu adalah sebuah kesabaran. Misalnya ketika saya belajar untuk memanage pegawai di workshop. Terkadang ada saja yang membuat saya marah ketika ada kesalahan yang terjadi, padahal ingin memberikan kualitas yang sempurna sebagai bentuk tanggung jawab Purana kepada para pelanggan. Hal-hal semacam ini yang membuat saya berpikir bahwa batik buat saya adalah belajar tentang kesabaran.

Tantangan terbesar sebagai perancang batik?

Menurut saya di era saya itu sudah enak, artinya ketika Purana terjun di batik, pionir-pionir kami sudah membukakan jalan, misalnya Iwan Tirta dengan ciri khas batik culture-nya, Edrward Hutabarat lewat batik popnya dan Karmanita lewat tie dye-nya. Kami harus berterima kasih kepada mereka. Dan sekarang sudah banyak orang yang mengerti bahwa batik itu adalah sebuah proses yang tidak murah. Dan kita tidak bisa membandingkan batik dengan baju merek dari luar negeri misalnya. Jadi, sebetulnya tantangan kita sebagai generasi muda always come up with something new.

Mimpi Anda untuk Purana Batik?

Sebenarnya saya patut bersyukur karena sebelum punya mimpi, saya sudah dikasih jalan. Saya belum bermimpi untuk go international, tapi setelah Jakarta Fashion Week 2011 lalu tiba-tiba saya dihubungi orang dari Singapura, seorang buyer dan dia mau beli putus. Sebagai orang Jawa bukan berarti saya tidak mempunyai mimpi karena biasanya orang Jawa kan orangnya nerimo. Saya punya ambisi dan cita-cita – tapi mungkin tidak ngoyo. Nah, kebetulan buat Purana sendiri, sebelum kita bermimpi kita sudah mendapatkan jalan itu, dan dengan adanya itu kita memang punya tujuan, karena sekarang saya ada dua partner khusus ready to wear. Kami pingin dikenal setidaknya di kawasan Asia maupun South East Asia. Kami ada proyeksi untuk ikutan tradeshow di Hong Kong atau dimana pun, intinya itu sudah menjadi bagian dari rencana kami, jika tidak halang rintang mungkin tahu ini atau ditahun depan eksekusinya, karena kita percaya bahwa kita punya keunikan untuk bersaing dengan usaha sejenis – yaitu hand made. Kita akan cari negara-negara yang menghargai proses dari hand made itu sendiri.

Menurut Anda, bagaimana karakter customer Indonesia dewasa ini?

Saya happy, karena pelanggan yang datang ke Purana suda tahu dengan apa yang mereka cari dan sudah  paham mereka akan berhadapan dengan kain buatan tangan. Dan yang terpenting sudah bisa menakar harga yang akan mereka bayar. Pelanggan yang datang ke sini adalah mereka yang sudah matang secara usia – 25 tahun ke atas. Mereka sudah tahu akan mencari dan mendapatkan apa.

Bicara tentang batik, bagaimana tanggapan Anda tentang eksistensi batik di Indonesia?

Menurut saya batik itu bisa dikategorikan dalam beberapa hal. Dari segi teknik: batik tulis, batik cap, dan batik kombinasi yaitu perpaduan teknik cap dan tulis. Untuk print mesin saya tidak anggap kategori batik. Sementara untuk kegunaannnya saya bagi jadi dua: pertama adalah klasik, biasanya digunakan di momen seremonial atau upacara-upacara tertentu. Yang kedua adalah kontemporer, seperti yang Purana lakukan selama ini. Saya pikir, sekarang batik sudah menjadi gaya hidup. Karena kalau dulu batik hanya bisa dikategorikan secara seremonial, karena ketika pakai batik, biasanya akan berkomentar “Mau kondangan ya?”. Itu artinya batik belum menjadi gaya hidup, kalau sekarang jika seseorang pakai batik, ya sudah menjadi sesuatu yang lumrah saja, artinya sudah menjadi gaya hidup dan bagian dari fashion. Di setiap perhelatan besar fashion di Jakarta, contohnya ketika Purana berpartisipasi di Fashion Nation di Senayan City, saya, Didit Rahadjo dan Iwet Ramadhan didaulat untuk membuat kapsul collection yang mengangkat kain Nusantara. Itu menandakan bahwa batik sudah menjadi bagian dari mode dunia. Kain Nusantara itu layak untuk diolah untuk menjadi produk fashion dan pada dasarnya sudah indah.

Selanjutnya, saran sederhana dari Nonita- untuk menjadi bagian pelestarian batik

noni

Apa yang kita bisa lakukan sebagai perempuan Indonesia untuk turut melestarikan batik? Mengingat UNESCO telah menetapkan batik Indonesia sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi pada 2 Oktober 2009.

Sudah pasti memakai batik, selain itu kalau menawar produk batik jangan kebangetan, hahaha. Karena dari pengalaman pribadi saya, workshop yang saya punya itu awalnya berisi tujuh orang pekerja, terus kemudian tinggal tiga orang karena yang empat orang memilih bekerja di sektor lain, misalnya menjadi asisten rumah tangga dan bekerja di pabrik. Sehingga hanya tersisa nenek atau ibu mereka yang bekerja membatik. Padahal kan orang-orang seperti merekalah yang membuat batik itu terus hidup, kalau anaknya nggak mau lalu mau siapa lagi. Sebetulnya menawar boleh-boleh saja, tapi tolong mengerti bahwa ada proses panjang yang harus dilalui untuk menghasilkan selembar kain batik dan kontribusi kita terhadap pengrajin batik itulah yang membuat mereka akan terus hidup dan terus bersemangat untuk mencari uang untuk kehidupan mereka.

Jangan sampai industri itu mati lagi. Dengan menggunakan batik dan mengerti bahwa harga batik tulis memang tidak murah, itu artinya kita sudah membantu para pekerja batik itu “bernapas”. Makanya kalau buat saya, karena saya sudah tidak banyak bermain dengan kain-kain yang ada di pasaran, ya saya punya tanggung jawab untuk menyediakan para pekerja batik ini tempat untuk berkarya, memberi makan mereka dengan layak, memberi gaji mereka dengan layak, sehingga mereka selalu bersemangat untuk berkarya. Saya punya mimpi, workshop batik tulis saya ini semakin besar, dan saya ingin membuat pusat pelatihan untuk orang-orang seperti yatim piatu, mereka yang kurang mampu dari segi finansial, dan penyandang cacat.

Selain bisnis butik batik ini, ada bisnis lain yang Anda jalankan?

Saat ini saya sedang mengambil alih perusahaan almarhum orangtuaku yang bergerak di bidang SPBU dan transportir bahan bakar minyak.  SPBUnya ada satu di daerah Solo. Saya ini orangnya sangat sentimentil. Selama ini saya hidup layak dari usaha BBM ini, jadi kenapa harus dijual kepada orang lain? Karena usaha ini kelak juga akan menjadi bekal untuk anak-anak saya.  Provitnya so far sudah 500 sampai 600%. Begitu juga yang transportir BBM itu, kami adalah transportir BBM pertama di Jawa Tengah kala itu. Dan itu saya mulai dari nol lagi, mulai sales call di akhir tahun 2014 lalu. Saya datang ke pabrik-pabrik di Klaten, Sragen, Kudus –sudah seperti sales girl saja menjemput bola, jualan. Dan hasilnya sekarang sudah banyak perusahaan yang menjadi klien kami.

Selain itu, saya dan suami juga sedang menggarap proyek membeli hotel tua di Jogja di jalan Batang Puluhan, kami mau mengubah itu menjadi butik hotel. Sekarang sedang proses, mungkin tahun depan sudah bisa beroperasi. Jadi saya dan suami, selalin partner dalam hidup, juga partner dalam bisnis.

Sebagai ibu dari dua orang anak. Apakah ada di antara mereka yang Anda libatkan dalam bisnis ini?

Melibatkan secara khusus sih tidak, karena mereka dua-duanya laki-laki. Tapi yang bungsu sempat bikin saya kaget ya. Ketika saya tanya cita-cita dia,dia jawab ingin menjadi pengusaha seperti saya mengurus Purana kelak. Ketika saya singgung, tapi kan usaha Purana ini kebanyakan baju-baju perempuan, anak bungsu saya ini bilang tidak menutup kemungkinan melebarkan ke produk lainya, ya bisa baju laki-laki dan beding seperti yang sudah saya lakukan sebetulnya.

Mengingat zaman sudah semakin modern, bagaimana Anda menjaga nilai luhur budaya Indonesia kepada dua anak Anda? Misalnya tentang etika?

Saya sama anak tidak terlalu keras, mereka juga manusia, mereka juga punya rasa lelah. Hanya saja kalau urusan sopan santun saya cukup memberi perhatian serius. Anak-anak saya sejauh ini sudah paham, kalau lewat di depan orangtua, permisi dan agak nunduk, cium tangan kepada yang lebih tua. Ketika mereka datang dan pergi selalu pamit, punya etika berbicara dengan orang yang lebih tua. Menjdi orangtua memang tidak mudah, tapi daripada kita ngomel dan berharap anak akan mendengar, lebih baik kita contohkan saja.

Obrolan hangat yang berlangsung bersama ibu dari Arsya (14) dan Fatih (12) seakan memperkaya perspektif saya akan kehadiran batik sebagai kain Nusantara. Dan gaya parenting Nonita yang pantang ngomel semacam pengingat untuk saya sendiri, bahwa memberi contoh adalah yang yang terbaik untuk anak-anak.

Dan di akhir sesi wawancara, Nonita membagi kiatnya supaya selalu berusaha untuk berpikir positif: “Everything happens not only for a reason, but always for a good reason. And there is no such thing as a bad reason.” – Nonita Respati

PAGES:

Share Article

author

-

Panggil saya Thatha. I’m a mother of my son - Jordy. And the precious one for my spouse. Menjadi ibu dan isteri adalah komitmen terindah dan proses pembelajaran seumur hidup. Menjadi working mom adalah pilihan dan usaha atas asa yang membumbung tinggi. Menjadi jurnalis dan penulis adalah panggilan hati, saat deretan kata menjadi media doa.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan