banner-detik
PARENTING & KIDS

A Little Chat Might Save A Life

author

kirana2102 Feb 2015

A Little Chat Might Save A Life

alone-boy-goodbye-hand-hurt-Favim.com-423426

Berita minggu lalu mengenai seorang remaja yang diduga bunuh diri, mengembalikan ingatan saya ke 20 tahun lalu. Walau mungkin sikon dan latar belakang nggak sama, tapi keinginan dan rencananya sama. Sungguh saya yang sekarang sudah jadi orangtua, nggak ingin melempar kesalahan pada orangtua. Tapi sayangnya, dari yang saya (dan beberapa teman yang pernah di situasi yang sama) alami, memang salah satu kunci ada di relasi dengan orangtua.

Bagi saya, orang yang akhirnya 'sukses' bunuh diri itu either orang yang berpikiran sangat pendek, impulsif, begitu terpicu masalah langsung bum!, atau orang yang sangat 'berani'. Sesungguhnya salah satu faktor yang membuat saya dan teman-teman saya masih hidup (dan bahagia!) sekarang ini adalah karena kami terlalu cemen untuk melaksanakannya.

Keputusan itu nggak gampang. Setidaknya buat saya. Beberapa teman malah sudah menelan butiran obat seadanya di rumah, yang lain meminum obat serangga. Yang satu ndilalah nggak ada efek obatnya, mungkin dia lupa makan dulu sebelumnya jadi obatnya nggak bereaksi *senyumgetir*. Teman yang satunya, mungkin kontraknya masih panjang jadi walau beberapa kali keluar masuk RS pompa lambung tapi sampai hari ini masih selamat.

Saya sendiri takut sakit, jadi saya timbang metode mana yang paling minimal sakitnya dan cepat selesai. Mana yang prosentase kesuksesan tinggi tapi cara atau alatnya nggah susah dicari. Katakanlah paling gampang pakai pistol, akses ke pistolnya yang gak gampang. Alat atau obat macam-macam juga simpennya di rumah gak gampang.

Kenapa saya memaparkan hal ini? Hal ini mencerminkan bahwa ada riset yang dilakukan sebelum kejadian, minimal baca beberapa sumber. Tentang metode, cara, alat, after effect, kegagalan, dsb. Kecil kemungkinan cuma dari satu jilid manga seperti kabar yang beredar. Kalau korban punya akses internet, besar kemungkinan banyak history bacaan tentang bunuh diri di komputer atau gadgetnya. Itu kalau tidak pakai private tab atau rutin delete history, ya. Untuk user yang sangat berhati-hati bisa jadi hanya meninggalkan sedikit sekali jejak dan tanda.

Selanjutnya: Apa pemicunya?

Lonely_bear

Yang selalu jadi pertanyaan orang, apa pemicunya? Banyak. Bisa bawaan kondisi mental yang introvert, bisa penyakit semacam schizophrenia, bisa situasi, kondisi atau lingkungan yang terlalu lama tidak bersahabat, bisa relasi dengan orang-orang terdekat yang tidak bisa menyamankan, dll. Nyaman bukan berarti melindungi, tapi lebih ke kepercayaan dan keyakinan memiliki seseorang kepada siapa kita bisa bergantung, mengadu, atau curhat.

Saya (waktu itu) nggak (merasa) punya. Pun teman saya, dan teman saya yang lainnya lagi yang pernah terlintas keinginan ini. Saya nggak punya kegiatan yang menarik yang menyedot perhatian saya. Nggak punya komunitas yang membuat saya sibuk dan merasa dibutuhkan. Relasi dengan orangtua juga nggak nyaman (sebagaimana kebanyakan relasi parent-teen lain).

Kondisi yang sebetulnya wajar, tapi nggak bagus. Saya sempat mencoba menjalin relasi dengan Bude yang nampaknya perhatian dengan anak-anaknya. Tapi, ya, harap maklum beliau juga punya keluarga sendiri yang harus diurus, sementara saya, kan, (sebenarnya) punya orangtua. Lampu kuning juga, nih, untuk parents atau om/tante yang didekati keponakan atau anak kerabat atau tetangga.

Di titik inilah karakter pacar berperan penting. Kenapa karakter? Karena kadang sebetulnya nggak perlu sosok pacar selama ada orang yang bisa bertindak seperti itu. Sikap manis, supportif, positif, pendengar yang baik, sekutu, advisor sambil menemani saat menjalankan solusi tersebut; yah sebenarnya yang mana, sih, yang orang tua nggak bisa? #jleb.

Punya pacar cuma semacam pembuktian diri bersumber dari insecurityAt least that's what happened to me. Kalau saya nggak insecure, bisa jadi saya nggak merasa perlu punya pacar, punya pacar pun sambil lalu saja. Tapi bukan itu yang terjadi. Saat punya pacar serius, ya I'm taking it serious. As if we're gonna married next month. Itu di usia 14 tahun, masih SMP. Serem? Oh, come on, itu, sih, sudah dari jaman kapan tahu begitu. Lupa, ya, pernah muda? Hayo, siapa yang kemarin sibuk nyinyir betapa anak sekarang pacaran terlalu dini saat lihat foto anak SMA nembak pacarnya di media sosial?

Pikiran yang terlintas.

Pacar jadi pusat dunia. Ya, gimana nggak kalau nggak ada pusat dunia yang lain? Apa yang terjadi saat dunianya runtuh alias pacarannya putus? You do the math. Bunuh diri karena putus pacaran itu alasan paling cemen yang sering terdengar. Tapi itu juga cermin kondisi mental dan relasi korban dengan lingkaran terdekatnya.

Beda kalau pacarnya sekedar pacar. Putus, yaaa, cari lagi. Nggak susah, kok. Untuk anak-anak yang mentally secure, percaya dirinya tinggi, justru malah antre yang mau jadi pacar. Dan konteks pacaran di mana sebenarnya bisa jadi fasilitas belajar mengenal macam-macam karakter secara dekat, belajar menyatukan dua pikiran, belajar kompromi, dll, happen in the right way. Anak juga tidak gampang didominasi dan dimanfaatkan.

Lalu apa, sih, yang terlintas di pikiran korban sampai mengambil keputusan seperti itu? For sure, saya nggak bisa menebak karena ada banyak sekali kemungkinan. Tapi yang pernah terlintas di pikiran saya sendiri di antaranya:

  • Nggak ada yang sayang sama aku, cuma Tuhan. Pulang ke Tuhan aja, kali.
  • Biar tahu rasa kalau aku mati.
  • Buat apa hidup kalau nggak ada yang peduli.
  • Nggak akan ada yang kehilangan kalau aku mati.
  • Kalau aku mati orangtua berkurang bebannya.
  • Kalau aku nggak ada orangtua bebas urus adik/kakak.
  • Bully akan berhenti kalau aku mati.
  • Biar jadi pelajaran buat si tukang bully kalau aku mati.
  • So, it was not about the book/manga. It was nothing about the cosplay. It was about the person himself. 

    It was about a content heart.

    Saya sendiri waktu itu membatalkan niat saya 'cuma' karena saya menelpon teman dan dikuatkan. Walau saya yakin teman tersebut mungkin hanya merasa ngobrol biasa saja ..hehe. Ternyata mengobrol itu penting, ya :).

    Mari kita ikut menjaga orang di sekitar kita. Anak, keponakan, bahkan bisa anak rekan, atau kolega. Tidak ada batasan umur, tidak ada patokan gender, dan tidak terkait kesejahteraan walau beberapa faktor memang mengambil sedikit peran.

    helpinghand-pano_17022

    Have a nice chat. You might save a life.

    PAGES:

    Share Article

    author

    kirana21

    FD/MD resident


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan