banner-detik
LOVE ACTUALLY

Beradaptasi Dengan Suami Yang Pendiam

author

mamul29 Jan 2015

Beradaptasi Dengan Suami Yang Pendiam

couple

Ini adalah tahun ke enam pernikahan saya dan suami. Suka-duka serta naik-turunnya hubungan, kami sudah rasakan selama ini. Belum lagi beradaptasi dengan kebiasaan suami yang kadang bikin saya “what???”. Namun, dari semua hal yang sudah kami lewati, yang paling spesial bagi saya adalah bisa membuat suami berbicara terus terang mengenai perasaan dan pikirannya kepada saya secara gamblang.

Iya, suami saya ada tipe pria pendiam dan malas berdebat. Menyampaikan kritik ataupun saran saja tidak pernah dilakukannya pada saya. Suami saya akan malas berbicara jika hatinya sedang kalut, sedang marah, sedang sedih dan sedang banyak pikiran. Dan aksi diam suami ini bisa berjalan selama berhari-hari. Ototmatis, sikap suami yang seperti ini bisa membuat saya uring-uringan ketika menghadapi aksi diamnya. Tak jarang, meski bukan saya penyebab rasa marah atau kesalnya, suami mampu diam saat berada di dekat saya. Berbeda jauh dengan saya yang bisa mengekspresikan perasaan saya. Tidak hanya melalui lisan, namun semua orang yang berada di sekitar saya bisa menyadari apa yang saya rasakan melalui mimik wajah ini. Baiklah, bisa disimpulkan, saya ini gampang terbaca oleh siapapun dan suami saya terkesan begitu misterius.

Butuh waktu lama bagi saya untuk memahami suami secara non-fisik. Saya akui, beradaptasi dengan seseorang yang pendiam (terlalu menutupi perasaannya) membuat saya sempat stres dan kesalnya sampai ke ubun-ubun. Bahkan, pernah saya ngomel-ngomel karena suami mendadak jadi diam seribu bahasa. Diajak ngomong susah, ditanya cuma menggeleng dan menganggukkan kepala. Omelan saya pun keluar tanpa bisa saya filter. Dan setelah berbicara dari hati ke hati di hari itu juga, suami mengakui bahwa dia hanya sedang kelelahan akibat pekerjaan di kantor. Dueng, mendadak saya jadi malu sendiri karena awalnya sudah berpikir “Ada yang salah dengan hubungan kita kah?”.

Setelah si kecil hadir di tengah-tengah kami berdua, perlahan saya mulai mendalami karakter suami. Berasa sedang menjadi detektif deh. Strategi obrolan pun saya ubah. Tidak lagi sekedar bertanya “Tadi ngapain aja, kerjaannya gimana, udah makan belum, makan apa…” dan seterusnya. Kali ini saya memulai dengan mengajak suami berbicara tentang kegiatan yang saya alami seharian. Mulai dari kegiatan pagi bersama si bayi hingga saat akan menutup mata. Sesekali, saya selingi dengan menanyakan keadaan suami seharian itu.

Berhasilkan cara saya? Lihat di halaman selanjutnya :)

BaliVacation1

Memang sih, progress-nya lambat sekali. Butuh waktu hampir setahun hingga akhirnya suami berani membuka diri tanpa harus saya pancing-pancing terlebih dahulu. Namun, selama suami berproses untuk menjadi pribadi yang lebih terbuka, saya bisa merasakannya selama setahun itu. Suami bisa menelepon saya lebih dulu dari kantor, suami bisa bercerita tentang hal-hal kecil yang ia alami di kantor tanpa harus saya tanyakan. Bahkan, suami bisa bercerita tentang harapan dan mimpi yang ingin dia kejar untuk beberapa tahun ke depan. Percayalah, sebelumnya saya tidak pernah mengetahui apa saja yang menjadi impian suami selama ini. Entah itu dalam kariernya, dalam hal spiritual maupun hal-hal yang bersifat pribadi lainnya.

Jika sebelumnya saya sempat berpikir dengan menikah maka tidak perlu lagi beradaptasi hal ini-itu, termasuk yang bersifat printilan, ternyata saya salah. Menikah justru mengajarkan saya untuk lebih bisa beradaptasi dengan pasangan setiap harinya. Ya, setiap hari saya belajar mengenai perilaku suami (termasuk kebiasaanya yang kelihatannya sepele sih), belajar menghargai pendapatnya hingga belajar mendukung mimpi-mimpi yang ingin ia bangun. Dengan proses adaptasi, saya belajar menempatkan posisi diri pada posisi suami. Tujuannya untuk menyelami pikiran suami dong. Dan ketika berdebat, saya pun belajar untuk menyaring kata-kata yang saya pakai.

Kesannya, saya terus ya yang memulai semuanya ya. Buat saya, tidak masalah siapa yang memulai proses adaptasi ini. Karena setelah suami bisa terbuka pada saya, kini suami pun makin mengerti dengan perilaku, kebiasaan dan pola pikir saya. Yang lebih enak lagi, pembicaraan antar kami berdua berjalan dua arah dan saya tidak lagi menerka-nerka apa yang terjadi pada suami. Meski awalnya saya berjuang keras untuk memahami suami, namun pada akhirnya saya juga yang mendapatkan hal positif dari proses adaptasi ini. Jadilah, kami berdua sama-sama mendapatkan imbas yang positif.

Sekarang jadi lebih mudah mengajak suami untuk bekerjasama dalam hal apapun. Tentu saja hal ini membuat saya lega. Walau sempat ada rasa lelah dan kadang ingin saya cuek saja saat saya masih belajar untuk memahami suami, namun saat mengingat kembali tujuan kami menikah, saya jadi bersemangat lagi untuk tetap menjalankan proses adaptasi ini. Yang penting, jangan pernah lelah untuk belajar mengerti suami. Ajak suami untuk selalu berkomunikasi dan jangan berikan pernyataan atau pertanyaan yang akan mengintimidasi suami. Lama-kelamaan, suamipun tidak sungkan lagi untuk memulai komunikasi dengan kita ketika dia merasa sudah nyaman dengan kita.

Masih banyak lagi jumlah tahun ke depan yang akan saya lewati bersama suami dan anak-anak. Otomatis, akan ada banyak lagi proses adaptasi yang akan kami hadapi. Yang penting, tetap jaga komunikasi dua arah dengan suami dan anak-anak. Plus, jangan menyerah untuk terus belajar memahami suami ya!

 

 

PAGES:

Share Article

author

mamul

pecinta lemon hangat dan yoga. suka dengan makanan manis, terutama bolu keju. selalu girang ketika mendengar teman/kerabat/kenalan hingga anggota forum melakukan diet sehat disertai olahraga. slogan penyemangat hidup dalam menghadapi jungkir baliknya dunia parenting adalah "i'm not their perfect mother, but i always try to be the best for my kids, myself and my husband, be the best for my family".


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan