banner-detik
ETC

Suamiku, Sepatuku

author

adiesty03 Nov 2014

Suamiku, Sepatuku
Kita adalah sepasang sepatu

Selalu bersama tak bisa bersatu

Kita mati bagai tak berjiwa

Bergerak karena kaki manusia

Aku sang sepatu kanan

Kamu sang sepatu kiri

Ku senang bila diajak berlari kencang

Tapi aku takut kamu kelelahan

Ku tak masalah bila terkena hujan

Tapi aku takut kamu kedinginan

Pertama kali dengar lagunya Tulus ini, saya langsung jatuh cinta. Bahkan sampai sekarang, lagu ini jadi play list wajib yang harus saya denger setiap hari. Sehari aja, nggak denger.... lantas kangen.  Sama kangennya kalau nggak ketemu mantan pacar, hahahaha...

Awalnya, saya sempat butuh waktu untuk mencerna lirik lagu Tulus yang satu ini. Apa iya pasangan kita (baca : suami) memang bisa diibaratkan seperti sepatu? Hingga pada suatu hari ada salah satu teman saya yang kebetulan penggemar lagu-lagunya Tulus, nyeletuk, "Memang benar, kok, kalau suami itu seperti sepatu. Maksudnya, singkatan dari, sejalan sampai tua," ujarnya sambil tertawa.

Love-Is-In-My-Dancing-Shoes

Mendengar perkataan teman saya ini jelas bikin tersenyum, dan tentunya sekaligus mengamiini. Ya, setelah menikah dan punya suami, perempuan mana sih yang nggak berdoa kalau hubungannya rumah tangganya langgeng sampai tua? 100% jawabannya pasti seperti itu. Kalaupun ada perbedaan yang bikin kita bertengkar, ya wajar saja. Namanya juga dua pribadi yang disatukan. 

Memasuki pernikahan tahun ke-6, saya pun sudah cukup banyak nemuin masalah dalam rumah tangga. Mulai dari masalah komunikasi, nggak kompak dalam mengasuh Bumi, salah paham soal finansial, bahkan ada masanya kami cek cok soal hubungan intim di mana yang satu mau, tapi yang satunya lagi 'dingin' :D . Tapi dengan bayaknya masalah yang kami temui, jadi ajang pembelajaran sehingga kami bisa sama-sama belajar untuk menghindari pemicu pertengkaran

Biar gimana, hubungan suami istri itu kan nggak melulu diwarnai kemesraan. Ada masanya kemesraan itu jadi meredup karena pertengkaran. Semua tergantung bagaimana kita menghadapi dan menyelesaikan perbedaan tersebut.

Balik lagi ke soal sepatu,  kalau boleh diibaratkan mungkin sepasang sepatu memang bisa jadikan salah satu contoh yang baik buat kita yang sudah memiliki pasangan. Kenapa, ya?

my-shoes-love

Bentuknya tidak persis sama, tapi serasi

Seperti  yang saya bilang di atas, setiap manusia itu kan pribadi yang unik. Pasti punya karakater dan kesukaan yang berbeda satu sama lainnya. Pun dengan saya dengan bapaknya Bumi. Saya ini bisa dibilang termasuk orang yang cenderung eksrovert. Kalau ada apa-apa serba meletup-meletup. Sementara suami saya ini tipe orang yang anteng. Tapi dengan adanya berbedaan sifat tersebut lantas bikin saya dan suami nggak serasi? Pastinya, nggak. Paling tidak buat kami, menjadi serasi tidak menjadikan jati diri kami jadi hilang. Saya yang memang dari sananya merupakan tipe orang yang blak-blakan, ya tetap akan seperti itu. Tapi tentunya, suami juga tetap bisa mengingatkan saya supaya nggak kebablasan. Ya, saling mengisi saja.

Saat berjalan nggak pernah kompak, tetapi tujuannya sama

Lahir dan dibesarkan dari latar belakang keluarga yang berbeda, mau nggak mau membuat saya dan suami punya pola pandang yang berbeda, termasuk soal pola asuh. Meskipun cara pola asuh kami bisa dibilang nggak selalu kompak, tapi tujuan kami itu sama. Kami ingin Bumi tumbuh menjadi anak sehat, bisa tumbuh sesuai perkembangan usianya, dan tentunya punya kecerdasaan emosional.  Masalahnya pintar, itu jadi bonus. Untuk mencapai tujuan tentu harus dimulai dari kami berdua. Apalagi kalau ingat anak adalah mesin foto kopinya orang tua. Bagai mana kita bisa berharap anak kita tumbuh jadi orang yang berempati kalau kita tidak melatihnya sejak kecil?

Sampai sekarang, saya dan suami pun masih terus belajar jadi orang tua yang menyenangkan dan nggak norak. Berhasil atau tidaknya anak tumbuh menjadi sosok yang tangguh, sehat dan bahagia, kuncinya memang ada di kita, orangtua. Yang pasti, ada beberapa hal yang terus kami usahakan, mendampingi Bumi, fokus, menjadi orangtua yang bahagia yang punya pemikiran yang postitif.

Tidak pernah ganti posisi, namun saling melengkapi

Kebayang nggak kalau sepatu sebelah kanan kita gunakan untuk kaki sebelah kiri? Pasti nggak nyaman dong, ya. Nah, posisi suami istri juga demikian. Sejak menikah kami berdua sadar kalau punya tugas dan kewajiban masing-masing. Hal ini pun membuat saya belajar untuk lebih bisa mengenali pasangan dan diri sendiri lebih baik lagi. Dengan mengenali diri sendiri, kita jadi lebih mengetahui bagaimana seharusnya bertindak dan berperilaku terhadap pasangan.

Sederajat, tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah

Sama seperti perempuan kebanyakan, saya pun ingin diperlakukan dengan baik. Selalu dinomorsatukan dan diperjuangankan oleh pasangannya. Kalaupun ada perubahan sikap suami yang membuat kita bertanya-tanya, "Apakah, setelah menikah, saya tidak lagi layak untuk diperjuangankan lagi?” Nggak ada salahnya kita untuk berkaca lebih dulu. Siapa tahu perubahan sikap suami bermuara pada diri kita pribadi.

Seperti yang dibilang Indra Noveldy dalam seminarnya yang sempat saya ikuti, jika kita menganggap pasangan sebagai soulmate, maka kita pun perlu berusaha menciptakannya yang akan berlangsung terus menerus. Tidak bisa berhenti sampai pada suatu titik. Yang pasti, saat berbicara mengenai soulmate, penulis buku 'Menikah Untuk Bahagia' ini mengatakan kita harus membuang jauh-jauh jauh-jauh apa yang dinamakan egoisme. Jadi, bisa dibilang posisi istri dan suami sebenarnya sedejarat.

Bila ada yang hilang, yang lain tidak memiliki arti

Sudah baca artikelnya Sazki dengan judul '21 Hari Tanpa Ayah?'   Ternyata suami Sazki dan suami saya punya kemiripan. Yaitu, suka manjain istrinya, hahahaha. Makanya, hampir sama dengan Sazki,  ketika suami saya harus melakukan perjalanan dinas, seperti liputan ke luar kota dalam waktu yang cukup lama, saya suka dibikin pusing. Soalnya kan selama ini kami berdua selalu berbagi tugas.  Ya, walaupun pada kenyataannya, semua bisa berjalan dengan normal seperti biasanya. Tapi tetap saja merasa ada sesuatu yang hilang :)

Eh, kok, saya jadi  kebanyakan curhatnya, ya? :D

Tapi, kalau Mommies yang lain setuju nggak kalau sepasang sepatu memang bisa jadikan salah satu contoh yang baik?

 

PAGES:

Share Article

author

adiesty

Biasa disapa Adis. Ibu dari anak lelaki bernama Bumi ini sudah bekerja di dunia media sejak tahun 2004. "Jadi orangtua nggak ada sekolahnya, jadi harus banyak belajar dan melewati trial and error. Saya tentu bukan ibu dan istri yang ideal, tapi setiap hari selalu berusaha memberikan cinta pada anak dan suami, karena merekalah 'rumah' saya. So, i promise to keep it," komentarnya mengenai dunia parenting,


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan