banner-detik
ETC

21 Hari Tanpa Ayah

author

sazqueen29 Oct 2014

21 Hari Tanpa Ayah

Karena disiapkan agar menjadi anak yang tidak manja, saya jadi iri melihat teman-teman yang dimanja oleh orang tuanya. Manjanya yang model, kalau ban mobil pecah, tinggal telpon, nanti bantuan datang. Atau fasilitas mobil terkadang lengkap dengan supir untuk antar jemput sekolah maupun les, iri karena saya 'dipaksa' naik kendaraan umum, hahahahaa, ngeselin, ya? Well, pokoknya saya suka iri, deh, dengan fasilitas hidup yang menurut pandangan bisa saya dapatkan tapi kenyataannya nggak ada. Nah, jadilah saya berdoa kepada sang empunya hidup, "Ya Allah, kalau saya nanti punya suami, tolong kasih saya suami yang manjain gitu, ya. Janji, deh, manja sama suami aja. Kalau suami nggak available, ya, saya nggak akan sok manja dan nyusahin diri sendiri.. aamiin!"

Doa terkabul. Walau sudah bersama selama 8 tahun dan (merasa) tahu bagaimana kepribadian si pacar, tapi pas menikah terjadi perubahan dalam hidup. Suami manjain saya banget! (Ya namapun 'doa minta suami' ya, bukan 'minta pacar' yang manjain hihii) Salah satunya adalah pengorbanan jemput dari kantornya yang ada di daerah Blok M ke kantor saya di daerah Thamrin, padahal saat itu kami tinggal di Kemang, artinya melawan arah, kan? Atau pas saya sudah pindah kerja ke Kebon Sirih, dan dapat jadwal siaran pagi dari pukul 6 pagi, dirinya yang sulit bangun pagi pun rela nganterin setiap Senin sampai Jumat setelah salat Subuh. Dan nggak bisa dilarang! Hahaha, ciee banget, ya?

Tanpa disadari, kebiasaan memanjakan saya ini berakibat buruk, loh. Saya bisa jadi uring-uringan nggak jelas kalau suami ada kerjaan keluar kota. Pokoknya, saya jadi istri yang menyebalkan setiap suami harus pergi meninggalkan saya lebih dari dua malam.

husband_businesstrip*Gambar dari sini

Sejak melahirkan, terlihat suami saya tidak pernah lagi pergi keluar kota. Memang sebetulnya suami mendapat promosi jabatan dan tidak mengharuskan lagi dirinya in-charge ketika ada event di luar kota. Tapi saya kasihan, dirinya seperti kehilangan separuh jiwanya. Suami saya bukan tipe pekerja yang diam duduk di belakang meja. Jadi terbayang, kan, bagaimana jenuhnya suami selama tiga tahun ini? *puk puk puk* Hingga akhirnya pertengahan Agustus lalu, suami saya mengabarkan kalau dirinya akan berangkat ke Sumatera.

"Berapa hari?" tanya saya, masih kalem karena berpikir paling hanya pergi selama 2-3 hari. *hitungan kalau ada event weekend, berangkat Jumat, pulang Minggu*

"Tiga mingguan. Berangkat tanggal 18 Agustus, pulang tanggal 7 September."

Saya bengong.

Apa?! Tiga minggu?! Mendadak pusing! Yang terbayang pertama kali adalah peliknya hidup saya nanti selama tiga minggu kalau Menik terbangun dan minta makan atau main tengah malam. Haduh, selama ini suami saya yang akan back up kalau saya sudah kehabisan energi menjaga Menik. Lah, kalau partnernya nggak ada, bagaimana nasibku?

Jadi bagaimana nasib saya dan Menik?Lihat di halaman selanjutnya ya.

Oh, ternyata nggak seburuk yang saya kira. Hari pertama bisa dilewati dengan mulus. Bahkan dini harinya, saya dan Menik masih sempat mengantar suami ke pool bis Prima Jasa yang letaknya lumayan jauh. Setengah mengantuk, Menik masih sempat mencium dan 'dadah' ke Ayahnya sebelum naik bis menuju bandara ke Jakarta. Karena suami juga sering pulang malam, maka malam pertama lewat begitu saja, tanpa drama berarti.

2222

Tiga hari kemudian, Menik mulai bertanya. Turns out, pertanyaan dan pernyataan yang keluar dari mulutnya ini lucu-lucu. Biasa, khas balita yang kayak sudah tahu segalanya. Misalnya pembicaraan kami di hari kedua, fokus sebetulnya adalah ayahnya menginap di hotel. Iya, Menik sedang tergila-gila dengan konsep menginap di hotel, haha..

“Bu, Ayahnya Menik mana?”

“Ada tuh, di Palembang. Sekarang lagi bobok atau udah mandi kali, di hotel..”

“Hotel Palembang, ya? Menik di hotel apa?”

“Menik di rumah, bukan di hotel”

“Kalo gitu, Menik mandi dulu, pake baju, pake pita, pake sepatu, terus ke hotel juga deh!!”

Atau saat malam hari, Menik mulai sadar kehampaan tempat tidur yang biasanya diisi bertiga. Maka ia bilang:

“Menik mau bobok sama ibu sama ayaahh”

“Ayah nggak ada, lagi kerja diluar kota. Bobok sama ibu saja”

“Hahahaha, oh iya, ya! Gimana sih, Ayah?”

Tapi yang selalu bikin hati mencelos itu kalau malam hari ada suara motor yang terdengar mendekat ke rumah. Rasanya seperti mengetahui suami sudah pulang. Menik juga berulang-ulang bilang "Bu, Ayah pulang, ya?" Dan ini mulai terasa setelah ditinggal satu minggu. Beruntung selama tiga minggu ditinggal, Menik tidak melakukan aksi yang bikin saya kesal. Malahan makannya tiba-tiba banyak! Mungkin ini akibat suami yang pesan ke Menik sebelum ia pergi, ya.

Tiga hari sebelum dirinya berangkat, kan, Menik harus ke UGD karena muntah tanpa henti. Nah, setelah itu suami ngobrol sama Menik, salah satu isinya adalah harus nurut sama ibu terutama waktu makan, supaya nggak sakit dan muntah-muntah lagi.

Alhamdulillah, ya, drama yang saya takuti tidak terjadi. Saya memang memutuskan untuk menginap di rumah orangtua selama suami pergi. Supaya tetap waras, dan ada bala bantuan kalau Menik beraksi yang kadang-kadang memutus sumbu kesabaran. Malahan, saya jadi punya satu kategori baru di blog pribadi "Days Without Ayah" yang berisi daily journal. Setiap hari, saya menulis cerita di hari itu dan menempelkan foto kami berdua di kota yang berbeda. Nah, Sebagai obat rindu, saya suka minta suami untuk mengirimkan fotonya, dan ternyata ini jadi hiburan untuk temannya semua, karena suami saya sering tertangkap basah sedang 'selfie' demi mewujudkan keinginan istrinya, hahaha!

1111

Apakah LDR sementara ini berjalan lancar? Humm.. ada batu sandungan juga, lho! Baca deh, di halaman selanjutnya.

Saya juga pernah bertengkar dengan suami saat sedang ditinggal kemarin. Ya, pokoknya ada saja yang bisa jadi penyulut kekesalan. Tapi ini juga jadi ajang belajar, supaya nggak kelewat gengsi untuk minta maaf duluan agar suasana mencair. Belajar juga untuk tidak meributkan hal-hal kecil macam ABG pacaran. Semakin mendewasakan hubungan suami-istri, lah. Oh ya, ini juga bisa jadi tempat belajar menebalkan telinga saat banyak omongan nggak enak tentang kami berdua. Namanya hidup, ada saja yang suka ngomongin. Misal, kondisi suami yang sehari sebelum berangkat dapat musibah kecelakaan motor dan bibir bawahnya mendapat 8 jahitan. Ada yang menyampaikan ke teman "si Kiki tega amat, suaminya abis kecelakaan tetap disuruh kerja.." See? People are too busy with other's life. :p Yang begini nggak usah diperpanjang. Didiamkan tanpa balasan biasanya jadi cara terampuh untuk membuat si penyulut semakin kesal.

333

Jadi bagaimana caranya supaya bisa survive saat ditinggal suami keluar kota saat menyandang status sebagai istri manja yang memiliki balita super aktif?

  • Believe me, the first week is the hardest one. Setelah lewat seminggu, penyesuaian diri dengan kondisi tanpa suami mulai terasa. Anak juga mulai terbiasa, jadi seperti otomatis menyesuaikan. Walau seminggu sebelum berangkat kami berdua memang selalu bicara dengan Menik soal Ayahnya yang akan pergi selama tiga minggu. Semacam mengirim sugesti positif, deh.
  • Santai. Rumah berantakan? Ya, namanya juga ada balita. Suami juga lagi pergi, nggak ada rasa nggak enak kalau rumahnya berantakan, hehe. Makanan nggak selalu tersedia di meja? Kan suaminya nggak akan di rumah, yang makan hanya ibu dan anak, apa masalahnya?
  • Pindah tinggal ke rumah orangtua (jika memungkinkan). Beruntung saya masih tinggal satu kota dengan orangtua, jadi tidak sulit untuk numpang tinggal tiga minggu ketika suami pergi. Mungkin kalau Mommies sudah kadung terpisah jauh dengan orangtua, meminta adik/kakak/saudara untuk datang menemani selama suami pergi bisa jadi pilihan.
  • Kompromikan waktu menelpon. Karena sinyal di jalur Sumatera yang dilewati suami tidak terlalu bagus, opsi video call kami hapus. Tapi kami sudah menetapkan bahwa setelah salat Maghrib adalah waktu untuk menelpon. Waktu ini disesuaikan setelah melihat jadwal kegiatan setiap hari, dan tentunya dengan Menik. Kalau terlalu malam, Menik sudah tidur, kan? Sedangkan pagi hari, biasanya suami ada di dalam mobil dalam perjalanan pindah ke kota lain.
  • Nikmati. Ingatlah, kalau momen ini akan jadi satu kenangan dan bisa jadi cerita saat anak sudah besar. Mudah-mudahan, blog saya masih tetap ada, jadi kategori khusus yang sudah dibuat bisa tetap kami akses saat bernostalgia.
  • Kondisi ini tentu berbeda jika memang suaminya beda kota, atau memiliki pekerjaan yang mengharuskan meninggalkan keluarga dalam jangka waktu lama. Ditinggal tiga minggu ini seperti mengingatkan saya pada kondisi LDR nanggung waktu pacaran dulu, saya di Bandung, dan suami di Jakarta. Nanggung gitu, kan? Dekat tapi jauh tapi dekat? Sama dengan ini, ditinggal pergi rasanya lama, tapi nggak terlalu lama juga, sih. Ya, tanggung!

    Jadi, siap nggak, Mommies, kalau ditinggal dalam jangka waktu tanggung oleh suami? Atau ada kiat lain yang mau dibagi? :)

    PAGES:

    Share Article

    author

    sazqueen

    a mother of one who study Anthropology by choice! Hello motherhood.


    COMMENTS


    SISTER SITES SPOTLIGHT

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan

    synergy-error

    Terjadi Kesalahan

    Halaman tidak dapat ditampilkan