Sorry, we couldn't find any article matching ''
Menikmati Masa Berduka
Beberapa minggu yang lalu, ibunda saya tercinta berpulang ke haribaan-Nya. Jangan ditanya bagaimana perasaan saya sebagai anaknya. Jelas merasa sedih, kecewa, menyesal, bingung dan perasaan lainnya. Di lain pihak saya juga merasa bahagia karena Bunda tersayang berpulang dalam keadaan sedang tidur nyenyak dan menjelang sembuh dari sakitnya. Bahkan saking nyenyaknya tidur Bunda, tidak ada yang menyadari bahwa beliau telah tiada.
Saya sedih. Boleh dibilang saya juga kaget, menyesal sekaligus bahagia. Sedih karena tidak bisa menemani Bunda di saat akhir hayatnya. Kaget karena seminggu sebelum kepergiannya, Ayah mengabarkan bahwa kesehatan Bunda mulai membaik. Menyesal karena saya merasa belum banyak berbuat baik terhadap bunda. Dan merasa bahagia karena saya tahu inilah jalan terbaik bagi Bunda setelah dua bulan sebelumnya berjuang melawan rasa sakit yang dideritanya selama setahun terakhir.
Ketiadaan Bunda membuat saya merasa kosong. Beberapa hari setelah kepergian Bunda, saya berusaha untuk tegar, menghidupkan kembali suasana ceria di rumah orangtua plus menyibukkan diri dengan bercengkerama dengan saudara-saudara yang datang ke rumah. Saya tahu, saya telah membohongi diri sendiri dengan menampakkan diri bahwa saya cukup tegar. Namun, ketika saya kembali pulang ke rumah sendiri, barulah tangis saya pecah. Saya yang berusaha tegak ketika memandikan Bunda, membompongnya menuju keranda, membantu menutupi tubuh Bunda dengan kain kafan, mengantarkan Bunda menuju peristirahatan terakhir hingga memperhatikan jasad Bunda ketika dimakamkan sama sekali tidak meneteskan air mata. Pun ketika acara tahlil digelar hingga hari ke tujuh, saya masih gesit menyediakan panganan dan tersenyum kepada para tamu dan saudara yang datang. Justru ketika kembali ke rumah sendiri yang jauhnya ratusan kilometer dari rumah orangtua, di situlah duka saya memuncak.
Selanjutnya: Saya belajar memaafkan diri sendiri >>
*Gambar dari sini
Selama dua minggu terakhir, saya banyak menghabiskan waktu di rumah. Segala bentuk percakapan antara saya dan teman-teman di beberapa grup sementara saya diamkan. Saya butuh waktu sendiri untuk merenung dan menenangkan hati. Meski sempat berpikir, kenapa bunda meninggalkan kami dalam keadaan seperti ini, pada akhirnya saya sadar bahwa inilah jalan terbaik bagi bunda dan kami sekeluarga. Toh pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada-Nya, kan.
Banyak hal positif yang (akhirnya!) saya dapatkan setelah menikmati masa-masa berduka ini. Hal-hal yang terlihat sepele namun memiliki arti penting bagi diri saya, misalnya :
Berkali-kali saya didera rasa bersalah karena tidak bisa menemani bunda di saat-saat terakhir. Saya tidak bisa membohongi diri, betapa saya merasa sangat bersalah karena merasa tidak bisa memberikan yang terbaik kepada Bunda. Namun, alih-alih selalu merasa bersalah, sayapun memilih untuk mengakui bahwa saya memang salah dan belajar memaafkan diri sendiri. Ketika saya bisa memaafkan diri sendiri dan menerima segala kekurangan saya (yang menurut saya) adalah belum berbuat banyak kepada Bunda, kesedihan saya pun berkurang dan saya mulai bisa menerima kepergian Bunda.
Sejujurnya, hati saya merasa sangat bahagia ketika mendengar kabar bahwa Bunda makan dengan lahap, minum obat tanpa kendala dan istirahat cukup. Saat mengetahui jumlah obat yang Bunda konsumsi mulai berkurang, besar harapan saya bahwa Bunda akan sembuh. Namun, kenyataannya berbeda. Bunda pergi di saat kami semua mulai yakin akan kesembuhannya. Di saat inilah saya sadar, bukan saya yang menentukan nasib yang terbaik untuk Bunda.
Banyak kenangan yang berkelebat setelah Bunda meninggalkan kami. Satu per satu dari ribuan peristiwa yang saya lewati bersama Bunda, semuanya saya simpan dengan rapi dalam ingatan. Kadang kenangan tersebut hanyalah peristiwa sekilas dan terlihat sepele. Namun setelah Bunda pergi, baru saya sadari bahwa kenangan sekecil apapun adalah hal terbaik yang saya miliki. Contohnya adalah ketika Bunda tersenyum pada kami semua.
Untuk yang satu ini, saya tidak bohong. Percakapan antara tante-ponakan, kakak-adik dan orangtua dan anak terjalin lebih erat lagi. Seakan-akan kami tidak mau kehilangan banyak peristiwa penting (pun saya menyadari bahwa Ayah saya sudah tua dan mulai dihinggapi sakit, terutama diabetes). Banyak cara yang bisa kami lakukan untuk tetap “merasa dekat” (sadar diri karena terpisah ratusan kilometer dari rumah orangtua seperti lebih rajin menelepon ke rumah dan rajin berkirim foto melalui chatting online).
Saya memang masih merasakan kesedihan. Hanya saja, saat ini saya bisa lebih positif menyikapi rasa sedih tersebut. Memang terasa berat kehilangan orang yang kita sayangi. Meninggal, ditinggal pergi jauh atau tiba-tiba saja orang yang kita sayangi menghilang begitu saja dari hadapan kita akan meninggalkan jejak kesedihan mendalam pada diri kita. Maka nikmati saja rasa berduka tersebut. Anggaplah kita memiliki waktu rehat sejenak untuk mengenang orang yang kita sayangi sembari memulihkan hati dari rasa sedih. Karena setelah kita menikmati rasa berduka, lambat laun kita akan menjadi orang yang lebih kuat dan lebih menghargai apa yang kita miliki saat ini.
Kita bersedih saat ditinggalkan karena kita tidak pernah siap untuk ditinggalkan
PAGES:
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS