banner-detik
PARENTING & KIDS

Anakmu Bukan Anakmu

author

sazqueen04 Nov 2013

Anakmu Bukan Anakmu

Kalimat Kahlil Gibran yang saya jadikan judul ini terasa menyebalkan, ya! Iya, iya.. "Anakmu bukan anakmu" adalah mantra yang selalu saya gunakan kalau saya sedang habis rasa sabar. Biasanya kalau diingat-ingat nantinya anak yang bergantung ini akan menjadi individu yang berdiri sendiri, si sabar akan langsung datang. Tapi terus terang kalimat yang harusnya menjadi pengingat, justru kadang terasa mengintimidasi. Oke, kembali kenapa saya menulis judul seperti di atas, karena hari minggu lalu, saya syok *ceileh, lebay dikit* dengan satu kejadian.

"Pergi Tanpa Ibu? Tidak Masalah!"

Hari Minggu biasanya diisi dengan jalan pagi di area Car Free Day, Dago, Bandung. Karena saya ada meeting pukul 11.00, maka saya putuskan untuk absen dari jalan pagi. Ibu saya tiba-tiba mendapat ide untuk mengunjungi Floating Market di Lembang. Ketika ibu dan ayah sudah di mobil, Menik sadar kalau dirinya tidak diajak. Dengan terbata-bata, Menik menjelaskan kalau dirinya ingin ikut. Saya kasih penjelasan kalau saya ada kerjaan, Menik akan ikut ibu nanti tunggu sama Ayah di area playground, main perosotan. Kata kunci 'perosotan' sengaja saya taruh di akhir kalimat, dengan harapan pikiran Menik akan langsung terdistraksi. Eh, nggak dong!

"Nik, kut! Bu.. Nik, kut!"

"Iya, nanti Menik ikut Ibu, sekarang Kungpang sama Eycan mau pergi dulu, oke?"

"Ndaaakk! Nik, kut! Caa.. (Eycan), Paaa.. (Kungpang), kut!!"

Eh, ngotot loh, anaknya! Saya lanjutkan negosiasinya, sementara Ibu dan Ayah saya sudah siap berangkat.

"Menik boleh ikut, tapi Ibu tidak bisa ikut. Artinya, Menik tidak bisa minta susu sampai nanti Menik pulang lagi, gimana?"

"Iya, OTE! (oke)"

Loh, Kok gampang? Terus terang, saya tidak siap 'berpisah' dengan anak yang selama 23 bulan ini belum pernah berpisah sama saya sekalipun. Saya mandi aja ditungguin di depan pintu. Nah, dengan jawaban 'OKE' yang lantang, suami bilang "Udah, tenang aja, Saz! Kalau ada apa-apa, kita susulin. Sekarang biarin aja pergi sendiri." Kemudian Rino menemui Menik yang sedang pakai sepatu dan sekali lagi memberi pesan kalau Menik harus nurut sama Kungpang dan Eycan, dan tidak minta susu ibu sampai nanti pulang. Dan selesai. Menik melambaikan tangan dengan semangat, senyumnya lebar sekali, dan ia pergi bersama kakek-neneknya.

Tadinya saya pikir, setengah jam kemudian, ibu akan meminta saya menyusul dan menjemput Menik. Tapi nihil, dong! Sampai akhirnya saya yang menghubungi ibu, menanyakan keadaan Menik sambil pamit mau pergi meeting. Laporan awal, Menik baik-baik saja. Ketika saya dan suami duduk boncengan di Vespa, rasanya janggal! Hahahaha, biasanya ada yang nyempil di tengah. Sekarang? Berduaan saja seperti pacaran. Absurd. Meeting berjalan lancar dan lebih cepat dari yang diduga. Selama meeting, saya bolak-balik cek HP takut ada kabar dari Ibu soal Menik, sampai akhirnya Rino bilang "Udah, Saz.. jangan gitu, nanti Meniknya malah rewel. Santai aja.." Saya senyum saja sih, walau dalam hati ada rasa yang hampa. Sumpah! Tiga jam berlalu, saya dan suami sudah kembali ke rumah. Menik? Oh, masih di jalan. Ketika terdengar suara mobil Ayah, saya berlari ke depan dan membuka pagar. Berharap ada adegan ala sinetron, Menik sumringah ngeliat ibunya kemudian minta gendong, gitu. Eh, yang saya dapat malah pemandangan Menik tidur di pangkuan ibu saya. Ketika turun dari mobil, ibu bilang "anak kamu pintar, ini capek habis main. Nanti kalau sudah bangun, dimandikan, ya. Karena tadi main di sampan, kasih makan kelinci, dan lari-lari di taman."

Ternyata semudah itu berpisah dengan anak yang sampai saat ini masih co-sleeping dan menyusu aktif. Menurut pendapat teman saya yang juga seorang psikolog, berpisah tanpa kendala ini rupanya hasil dari selalu memberi pengertian dan tidak pernah membohongi Menik. Seperti yang pernah saya ceritakan, sebisa mungkin saya dan suami ingin menjadi orang tua yang tepat janji. Ini rupanya tertanam pada diri Menik, ia tahu kalau dirinya tidak perlu menangis (karena memang tidak ada gunanya) minta susu karena ibunya memang tidak ada di sana. Ibu saya bilang kalau Menik ingat saya dan ingin susu, Ibu tinggal bilang "Ibu nggak ada, Nik. Nanti nyusunya kalau sudah ketemu Ibu, ya.." dan beres urusan.

Kekhawatiran susah berpisah tidak terbukti, kuncinya memberi pengertian, menepati janji, dan  semua dilakukan dengan continue. Jadi membentuk suatu kebiasaan dan hasilnya bisa terlihat kemudian. Jadi kalau sudah begini, sih, Ibu dan Ayahnya yang harus siap-siap berpisah dengan anaknya. Jangan-jangan nanti kalau masuk sekolah, adegan anak 'mengusir' ibu agar tidak ikut masuk di tahun 1987 terulang kembali. *ngomong sama kaca*. Dan tinggal terusin berdoa, semoga jika nanti kami harus berpisah, tidak ada drama separation anxiety yang menghampiri, dan tentunya semoga kami bisa belajar ikhas memaknai kalimat "Anakmu Bukan Anakmu". Aamiin!

 

Share Article

author

sazqueen

a mother of one who study Anthropology by choice! Hello motherhood.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan