banner-detik
PARENTING & KIDS

Open Book Life?

author

sazqueen28 Oct 2013

Open Book Life?

Dulu, waktu masih jadi penyiar di salah satu radio anak muda di Bandung, saya mengunci rapat semua akun sosmed saya. Awalnya Facebook, privacy setting-nya benar-benar rapat. Semua isi FB saya, hanya bisa dilihat jika sudah saya approve jadi 'teman'. Bukannya sombong atau sok eksklusif (seperti yang dibilang oleh mantan bos saya), tapi sungguh, profil pendengar itu tidak bisa diduga. Iya kalau ketemu yang normal, kalo yang agak gila gimana? Yang semacam sex maniac gitu, gimana coba? Believe me or not, they're really exist! Saya pernah mendapat kiriman sosis, pembalut, dan bunga mawar. NGERI NGGAK? Setelah Facebook, ada Twitter. Ini juga saya kunci rapat. Ratusan requests untuk jadi follower akun Twitter, saya abaikan. Saya butuh kehidupan nyata bersama teman-teman yang saya kenal beneran.

Lagi-lagi saya mendapat cap, sok-sok-an dan sombong. Twitter ini akhirnya saya buka ketika sudah melahirkan, karena akses untuk bertanya ke beberapa dokter anak dan konselor laktasi adalah yang tercepat melalui Twitter. Belum lagi blog di Multiply. Wah, berapa banyak post yang saya buka begitu saja? Nyaris tidak ada. Semuanya hanya untuk contact saja. Sedemikian rupa saya coba untuk mengatur mana yang bisa jadi konsumsi umum dan mana yang hanya untuk saya saja.

I  think I have a good privacy management for my virtual life, until my baby arrived. Rasa ingin berbagi kebahagiaan (dan kekesalan) dari setiap tingkah laku yang dilakukan si Menik, sangat membuncah! Blog saya, yang tadinya berisi banyak hal, kini 90% isinya ya soal Menik. Photo stream dari Instagram yang kebanyakan di cross post ke Facebook pun mengalir deras. Path apalagi! Hahah, jangan tanya, deh. Biasanya saya suka bercanda menyambut teman baru dengan kalimat "Selamat Datang Di Album Foto Virtual Menik" hehehe. Hingga suatu malam, saya ngobrol dengan suami. Saya bilang "besok Menik dua tahun, ada 105 foto yang sudah aku upload rutin setiap minggu dari mulai Menik lahir. Aku nggak tahu, apakah Menik akan suka dengan hal ini atau enggak nanti pas dia udah gede. I think it's time for me to stop, ya nggak sih?" Suami cuma tersenyum dan bilang "itu memang bisa jadi satu kemungkinan, tapi bisa aja anak kita jadi kayak kamu, yang hobi banget ngumpulin foto waktu kecil, dan aku tahu, blog itu akan bantu dia hahaa.." Ya iya sih, kalau anaknya ternyata kayak saya, itu photo blog emang bantu banget buat ikutan #ThrowBackThursday di Instagram, hahaha. Tapi kalau enggak, kan, kasihan. Nah, akhirnya muncul kompromi kalau foto ke 105 ini akan jadi foto terakhir dan blog tersebut akan saya protect dengan password sampai tiba saat yang tepat untuk memberikan password tadi ke Menik, serah terima ceritanya :D

*Gambar dari sini

Pemikiran ini muncul saat saya membaca tulisan Ryan Maclaughlin yang di share oleh seorang teman di FB, dan kemudian bertanya "apakah kehidupan saya di dunia virtual bagaikan buku yang terbuka?" Emm, kalau mau jujur, rasanya belum sampai separah itu, sih! Facebook masih dalam settingan super private, Twitter tidak pernah digunakan untuk curhat sembarangan dan super jarang posting foto Menik. Nah, yang mungkin akan saya set ke private adalah akun Instagram. Kalau Path kan cuma 150 teman isinya, itupun sekarang ada settingan private dan inner circle, hehe. Nah, yang perlu diingat, setiap kita mau posting foto anak ke ranah publik adalah "we have to defend our kid from facial recognition, facebook profiling, and corporate data mining!" I quote this from Amy Webb's!

Penjelasan Webb sangat jelas, bahwa dengan kecanggihan teknologi untuk bisa membuat katalog data dari setiap digital konten yang ada, dan nantinya bisa jadi data algoritma tentang 'pribadi digital' si anak yang sangat mungkin mengejutkan dan belum tentu menyenangkan bagi anak itu sendiri. Mungkin saja, anak kita tidak suka foto pakai bikini pertamanya dipajang. Ya, kan? Belum lagi soal kejahatan digital, sekolah yang sekarang suka review profile FB orang tuanya sebelum mengambil keputusan untuk menerima anaknya, sampai (amit-amit) ketemu perverted stalker, atau Pedophile yang hobi koleksi foto anak-anak yang didapat dari Google. Artikel-artikel tadi sebetulnya mengajak semua orang tua untuk lebih aware dengan digital identity yang takutnya terbentuk karena orang tua terlalu seirng menceritakan detail hidup si anak.

Saya pernah baca twit Lita, kalau nggak salah bunyinya "Nggak akan pernah upload foto anak telanjang #sikap" atau waktu lagi makan siang bareng sama kontributor MD, Miund ijin dulu, loh, sama saya waktu mau posting foto Menik, karena Miund sendiri tidak mau over shared foto si anak di sosial media. Reminder seperti ini yang diperlukan saat ini, agar privacy anak tetap terjaga, agar keamanan keluarga juga tetap bisa ada.

Selamat bersih-bersih foto di akun sosial media masing-masing, ya! *pasang gembok di instagram*

Share Article

author

sazqueen

a mother of one who study Anthropology by choice! Hello motherhood.


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan