Tidur Sendiri, Siapa Yang Takut? Ibunya!

Behavior & Development

miunds・12 Jun 2013

detail-thumb

“Tidur Sendiri” dalam kasus Shera nggak benar-benar berarti tidur tanpa ada siapa-siapa di dalam kamarnya, ya.  Ada si Mbak yang menemani di ranjang terpisah.  Fungsi si Mbak selain menemani Shera, juga membawa si bayi jika menangis atau haus, ke kamar saya untuk disusui.  Saya dan suami berpikir ini penting untuk transisi.  Mungkin nanti saat Shera umur dua tahun dia baru akan kami biasakan untuk benar-benar tidur sendiri tanpa teman agar dia punya sense of independence and privacy sejak dini.

Lalu, bermasalahkah Shera dalam pergantian suasana ini?  Yang biasanya tidur di tengah-tengah Ibu dan Ayah lalu tidur di ranjangnya sendiri?  Ternyata… tidak sama sekali.  Bisa dibilang, pergantian suasana ini hampir tak ada pengaruhnya bagi si bayi.  Yang bermasalah siapa dong?

*tunjuk tangan*

Seumur hidup saya tak pernah menyangka akan sedemikian sulitnya ‘berpisah’ dengan anak masalah kamar tidur.  Sejak bayi saya sudah tidur terpisah dengan ibu saya, dan hal ini selalu membuat saya yakin bahwa saya pun bisa melakukannya dengan Shera.  Tapi ternyata saya ya saya, bukan ibu saya.  Jadi malam pertama berpisah dengan Shera diwarnai dengan derai air mata ibunya, yang tak bisa tidur lalu pindah ke kamar anaknya untuk ikut tidur sambil memeluknya di boksnya yang berukuran ‘raksasa’ itu sampai pagi.

Photo by @tissarahman

Entahlah, sebenarnya saat itu tak ada alasan yang membuat saya sampai sedemikian takutnya.  Yang ada hanya perasaan sentimentil sedih 'ngelangut' melihat tempat tidur saya dan suami yang biasanya di bagian tengahnya ada bayi dan saat itu kembali kosong.  Memang nggak boleh melodramatis, tapi bagaimana dong, itu yang saya rasakan.

Malam kedua, saya menguatkan hati untuk tetap pada prinsip saya memindahkan Shera ke kamarnya.  Caranya adalah menidurkannya di kamarnya, lalu keluar kamar saat ia tertidur.  Works like a charm.  Lalu saya?  Masih sedih, masih menangis, tapi sukses bertahan di kamar dan tak merasa perlu mengendap-endap masuk ke kamar Shera lagi.

Malam ketiga masih sama, tapi saya udah nggak pakai acara nangis lagi.  Yay!

Teman-teman dekat yang punya bayi dan balita pun banyak bertanya pada saya soal tidur terpisah ini.  Pertanyaan paling banyak yang saya dapat adalah: Shera nangis nggak?  Masih minta nyusu tengah malam nggak?

Saya bersyukur sejak lahir Shera termasuk ‘easy baby’ yang nggak hobi bikin ibu ayahnya begadang.  Kalau pun dulu saya selalu bangun sekitar jam 3 pagi, itu karena Shera masih saya susui 3 jam sekali.  Setelah melalui usia 3 bulan, frekuensi menyusu Shera menurun di malam hari dan mulai banyak di siang hari.  Di usia yang keenam bulan ini, Shera tidur jam 9 malam dan baru bangun minta susu sekitar jam 4.30 pagi, tepat waktunya saya memang harus bangun untuk bersiap-siap siaran jam 6 pagi.

Rewelkah saat pertama tidur di kamarnya sendiri?  Tidak, karena sejak pulang dari rumah sakit, Shera selalu dibiasakan mandi di kamarnya ini walau tidur siang dan malam masih di kamar saya.  Jadi sepertinya dia sudah familiar dengan suasana kamarnya.

Bagaimana dengan separation anxiety? Mungkin bedanya di negara barat sana dengan di sini adalah support system. Di sana, bayi lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibunya sehingga bisa histeris jika terpisah sekejap saja.  Sementara dalam kasus Shera dan mungkin sebagian anak lain, support system selain ibu di rumah ada pengasuh, Eyang dan lain sebagainya.  Jadi anak biasa terekspos ke beberapa orang dekat yang bukan ibunya, sehingga separation anxiety tak terlalu terasa.

Yang anxious dalam kasus Shera ya ibunya.  Hahaha.  Sungguh tak terduga, ya?  Kesimpulan sederhana saya adalah, mungkin yang membuat kita sulit tidur terpisah dengan anak bukanlah anaknya, tapi kita sendiri yang belum tega. Tenang, ibu-ibu, lama-lama biasa kok.  I should know :D

Ada yang juga lagi mikir-mikir mau misah tidur dengan anak?  Share yuk cerita-ceritanya :)