Sorry, we couldn't find any article matching ''
Bohong-Bohong Kecil
Pernah terpikir tidak, jika pasangan berbohong di belakang kita? Saya, sih, tidak suka, tidak mau, dan mudah-mudahan suami saya mengerti betul soal prinsip jujur yang saya pegang. Kebohongan sekecil apapun biasanya terjadi karena ada saluran komunikasi yang mampet, dan saya tidak ingin, komunikasi dengan orang yang hidup bersama sampai maut memisahkan ini ada mampetnya. Buat saya komunikasi adalah segalanya.
Baru-baru ini saya mengetahui sebuah fakta, teman saya, seorang suami berbohong sama istrinya selama kurang lebih 2 tahun soal merokok. Jadi, teman saya ini dulu mengumumkan janjinya soal berhenti merokok jika anaknya lahir. Istrinya menyambut dengan senang, dan akhirnya teman saya ini berhenti merokok.....selama 3 bulan! Iya, hanya 3 bulan, setelah itu mulai lagi, deh, merokoknya. Awalnya hanya sekali dua kali dengan alasan mencari ide, lama-lama, merokoknya jadi kembali rutin. Saya, sih, tidak ada masalah sama sekali, selama teman saya tidak merokok di depan Menik.
Tapi kemudian, jreng jreeeng! Here comes the bitter part. Teman saya terlihat gelisah ketika istrinya ikut dinas keluar kota. Berulang kali juga ia bertanya "Bunda, nggak mau istirahat di hotel, aja?" Hingga akhirnya ketika anaknya mulai rewel, istrinya memutuskan pulang ke hotel bersama anaknya. And at the time she steps into the cab, teman saya langsung menyalakan rokoknya. Saya seperti disambar petir! Hahahaa, lebay, ya? Tidak juga, sih, karena saya tiba-tiba jatuh kasihan kepada istrinya. Supaya tidak berprasangka buruk, saya bertanya "Si Bunda nggak tau, ya, lo ngerokok lagi?" Dengan santai ia menjawab "Enggak, lah! Kan waktu itu gue janji sama dia. Bisa ribut kalo dia tau gue ngerokok lagi!" Dan saya hanya senyum mendengar jawabannya.
Sempat terpikir, memang istrinya tidak mencium bau rokok ya, ketika si suami pulang. Ternyata jawabannya datang sendiri, ketika esokannya saya makan siang sama si Bunda. Di tengah-tengah obrolan ringan ala ibu-ibu, si Bunda sempat melontarkan kalimat "Ih, sebel deh, sama anak-anak kantor yang masih ngerokok, baju si Papa jadi bau rokok setiap pulang, padahal dia udah nggak ngerokok" DHUAR!! Saya bingung mau bereaksi apa waktu itu. Menurut saya kebohongan kecil yang terjadi selama 2 tahun dalam rumah tangganya bukan perkara kecil lagi. Dan menurut pikiran kalut saya waktu itu, lebih baik saya diam, tidak perlu mencelupkan kaki dalam ember mereka berdua. So, I just laugh and move to another topic.
Saya sempat bilang, sih, ke suami perihal ini. Suami hanya bilang tertawa dan bilang "Ya, gitu, deh, kalo dari awal nggak jujur dan sok janji padahal masih belum yakin sama janjinya. Ribet sendiri!" kemudian dilanjutkan dengan kalimat "Udah, nggak usah ngurusin urusan rumah tangga orang, ya" dan ia pergi kerja seperti biasa.
***
Saya tidak boleh ingin ikut campur, tapi kemudian saya ingin sekali mengetahui apa akibat dari berbohong terhadap pasangan yang harusnya bersama sampai maut memisahkan. Akhirnya saya bertanya teman saya, seorang psikolog, Wulan Ayu Ramadhani, yang juga merupakan salah satu admin @twitpranikah soal bohong ke pasangan. Ternyata menurut penelitian di Amerika dan Australia, 85-92% mengaku pernah berbohong kepada pasangan. Bohong juga banyak sebabnya, tapi yang paling sering terjadi dalam mahligai rumah tangga adalah:
Terbiasa tidak jujur, walau hanya hal kecil, akan membentuk kebiasaan buruk. Kan untuk menutupi bohong yang pertama, akan ada bohong kedua, ketiga, dan seterusnya. Selain itu, bohong juga mengurangi tingkat kepercayaan dan pastinya berpengaruh terhadap kualitas komitmen pasangan. Dari segi pelaku, mereka terbiasa memiliki persepsi yang negatif sehingga mereka tidak nyaman untuk bersikap terbuka. Sehingga kepercayaan bahwa bisa bersikap apa adanya, atau nyaman bersama pasangan tidak lagi didapatkan. Nah, dari segi korban, mereka merasa tidak bisa memercayai pasangan karena tidak tahu kapan pasangan bisa dipercaya atau tidak. Ini akan beriringan dengan munculnya pertanyaan "WHY?", sense of doubt inilah yang biasanya membuat kepercayaan semakin memudar.
Rasa curiga, perasaan dikhianati, disakiti, kecewa, marah, dendam, dan memburuknya komunikasi antar pasangan akan timbul ketika satu pihak mulai berbohong dan satu pihak tahu akan hal tersebut. Sehingga muncul si rasa bersalah dan rasa takut akan ketahuan. FYI, jika salah satu pihak mulai paranoid (karena curiga terus menerus) biasanya hubungan perkawinannya sudah tidak sehat.
Bohong yang dimulai dari hal kecil (kemudian untuk menutupi lama-lama menjadi besar) ini sering menjadi bom waktu dalam hubungan. Jika tidak bisa jujur, berarti ada ketidakpercayaan dalam suatu hubungan. Padahal kepercayaan adalah aspek fundamental dari suatu hubungan. Perlu diingat, waspada dan curiga itu berbeda. Jadi, kejujuran adalah hal penting dalam suatu hubungan walaupun perlu diingat juga, bahwa tidak semua kebenaran atau kejujuran itu menyenangkan untuk didengar. Sebagai pasangan, kita harus belajar untuk jujur dan menerima kejujuran walau pahit. Belajar bersama-sama untuk tidak saling menyalahkan merupakan proses pendewasaan kualitas dari hubungan rumah tangga.
***
Ngeri, ya, efek bohong kecil yang lama-lama bisa jadi lingkaran setan dalam rumah tangga. Kalau saya lebih memilih berantem, sih, tapi setelah itu sayang-sayangan dan berjanji untuk memperbaiki atau at least berkompromi (untuk hal yang bukan prinsip) demi menghindari rasa curiga yang ternyata bikin hubungan rumah tangga tidak sehat. How about you, Mommies?
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS