(Sok) Mesra Bukan Dosa

Love Actually

vanshe・08 Apr 2013

detail-thumb

Di kantor, saya bekerja bersama seorang rekan yang senior bukan hanya dari segi jabatan, tapi juga usia. Sebut saja namanya Pak B. Pak B sudah menjadi rekan saya selama 3 tahun. Meskipun dia tergolong atasan di unit kami, tapi sikapnya yang friendly dan sangat peduli terhadap rekan-rekannya menciptakan hubungan pertemanan yang akrab dan tidak kaku. Kalau kehidupan kami di kantor dijadikan serial televisi, Pak B adalah tokoh "mentor" yang akan didatangi rekan-rekannya saat sedang gundah atau butuh nasehat.

Sebagian besar anggota unit kerja kami seringkali makan siang bersama-sama, termasuk Pak B, dan saya. Saya perhatikan, setiap kali jam makan siang tiba, istri Pak B akan menelpon. Maka kalau handphone Pak B sudah berdering, saya dan rekan-rekan sibuk meledeknya, "Ayo yang diabsen, yang diabsen!"

Suatu kali, Pak B bertanya kepada saya, "Memangnya kamu nggak pernah ngingetin suami kamu makan, ya?" yang saya jawab sambil tertawa, lalu berkata, "Buat apa diingetin, Pak? Sudah gede kok bisa lupa makan."

Pak B cuma tersenyum dan bilang, "Bukan perlu diingetin atau nggak. Tapi nunjukin perhatiannya itu, lho."

Kali lain, suami saya menelpon ketika Pak B sedang membuka laptop di dekat saya. Percakapan kami, seperti biasa, singkat dan seperlunya saja. "O, ya, nanti kamu yang duluan, ya. Aku tunggu di X. Oke, bye."

Pak B lantas melihat ke arah saya dengan tampang heran, dan berkata, "Ngomong sama suami, kok, nggak ada mesra-mesranya?"

Saya menjawab, "Plis deh, pak, nikah udah segini tahun masih mesra-mesraan. Kaya abege aja!"

Pada suatu waktu, saya berdiskusi (atau lebih tepatnya curhat) pada Pak B tentang pandangan saya seputar parenting. Seperti yang saya katakan tadi, Pak B sudah dianggap mentor oleh kami rekan-rekannya. Bukan cuma dalam urusan pekerjaan, tapi juga urusan pribadi. Percakapan kami kurang lebih seperti ini,

Saya (S): "Saya suka heran, deh, Pak, sama mereka yang nambah anak dengan alasan 'Nanti sepi di rumah kalau nggak ada lagi yang diurusin.' Kenapa nggak dilihat justru sebagai kesempatan, ya."

Pak B (PB): "Kesempatan ngapain?"

S: "Kesempatan untuk berduaan lagi sama suami, pacaran lagi! 'Kan udah bertahun-tahun disibukkan ngurus anak. Justru ketika anak sudah gede, saatnya fokus ke hubungan suami-istri lagi, dong. Prioritasin pasangan, mendewasakan hubungan, dan lain sebagainya."

PB: "Nah, makanya dimulai dari sekarang, dong, maintenance hubungannya. Jangan cuek-cuek sama suami. Tetap mesra kaya masih pacaran. Suatu hari nanti, kan, tinggal berduaan doang."

Jleb! Saya terdiam mendengar kata-kata Pak B. Ternyata itu 'pesan' yang dia coba berikan selama ini lewat pertanyaan-pertanyaannya kepada saya. Hubungan suami-istri memang perlu dijaga ke-sok mesra-annya (hehehe), dan dihindarkan sebisa mungkin dari nuansa "sudah terbiasa" dan "sudah seharusnya."

Ah, I think we need to catch up where we left it. Sebelum terlambat.

Akhirnya saya berkata pada Pak B, "Bener juga, ya, Pak." Dan Pak B cuma terkekeh geli.