Karena Ibu Dan Saya, Perempuan

Love Actually

kirana21・21 Mar 2013

detail-thumb

Dahulu saya melihat Ibu sama dengan Bapak. Orang tua, otoriter, nggak ngerti jaman, nggak ngerti yang asik-asik, nggak ngerti saya! Dan...saya bergantung padanya seumur hidup saya (waktu itu).

Saya bosan masakan ibu. Saya nggak suka dipaksa makan sayur, apalagi makan pecel. Sampai usia SMA pun saya nggak pernah diberi ijin menginap di rumah teman atau pajama partying. Nggak usah bahas dugem, deh. Sekalinya saya tau dalamnya diskotek itu karena pergi dengan teman-teman, hari Minggu di siang bolong. Nggak bikin nagih juga, sih, karena pulangnya sebadan-badan bau rokok lengket banget sementara saya nggak suka bau rokok. Tapi, Ibu nggak pernah menanyakan apa yang saya lakukan. Padahal saya yakin saat saya pulang, bau rokok pasti tercium karena serumah nggak ada yang merokok dan semua sensitif sama baunya. Sepertinya bagi beliau, anakku pulang sehat slamet utuh, sudah alhamdulilah. .

Saat masuk perkuliahan dan mulai bekerja sampai ke luar kota, barulah mata sedikit terbuka. Yang tadinya senang bisa jajan makanan macam-macam di warung, jadi bisa menilai ternyata paling enak tetap pecel Ibu. Makanan yang tadinya di rumah saya nggak suka, jadi suka karena di warung nggak enak :D. Di sisi lain, saya jadi kenal makanan yang nggak akan saya temukan di rumah seperti...lele goreng. Saya jadi kenal makanan Padang (entah kenapa, ya, dulu di rumah nggak kenal sama sekali makanan Padang). Disitulah saya mulai menghargai, dan akhirnya malah memfavoritkan masakan Ibu.

Lalu saya menikah. Sampai punya anak dua saya masih numpang di rumah Bapak karena suami katanya proyeknya cuma sementara di Jawa Tengah. Daripada ikut terus pindah-pindah, mending saya ikut saat sudah permanen saja, pikir saya. Yak, pemikiran yang salah. Karena punya anak saat masih serumah dengan orang tua itu sumber berantem bener, dah.

Ketika saya akhirnya memutuskan untuk pindah mengikuti suami walau masih di Jawa Tengah, juga karena nggak tahan. Saat itu Dellynn anak kedua saya berusia setahun. Saya bosan berantem terus dan dicampuri pola parenting saya. Yang saya lakukan salah melulu, tapi kalau dituruti, saya sama sekali nggak punya waktu untuk diri sendiri dan mengosongkan pikiran. Anak lepas sedikit, saya dipanggil. Saat kesampaian pindah, saya rasanya seperti keluar dari kandang dan akhirnya bisa mempraktekkan bacaan parentinghealth caring, sekaligus belajar memasak! Kali ini tanpa komentar siapa-siapa, nggak ada yang nyalahin kalau nggak sesuai pakem - terutama pakem kuno :D, dan hemat energi nggak perlu berdebat.

Karena saya bukan jago masak, tetap saja setiap kali saya telpon Ibu tanya ini itu kalau mau masak yang agak rumit. Awalnya jarang. Tapi makin kesini makin sering. Malah sekarang saya langganan impor bumbu Ibu, seperti adik saya. Tadinya saya nggak mau, tuh, pake bumbu bikinan. Bukannya kenapa, takut tetep nggak enak aja jadinya padahal sudah pakai bumbu Ibu. Jadi kentara kan siapa yang nggak becus...hahaha.

Lama-lama isi telpon nggak cuma soal info masak. Tapi merembet ke gosip keluarga, kabar terbaru, dan...masalah pribadi. Sudah lama rasanya saya nggak mendengar lagi sahutan,"Apa, sih, kamu anak kecil mau tahu saja urusan orang tua" saat saya kepo melihat Ibu bicara dengan Bapak atau Bude. Iya, lima tahun kemudian, kami bisa berbincang seperti teman. Dengan pola pikir yang setara, pemahaman yang sama, tapi pengalaman yang berbeda. Walaupun saya punya peer group yang 24 jam siap sedia menampung curcol, memberi saran, dan mencarikan info online saat my hands are packed; meminta pandangan Ibu tetap yang paling membuat saya tenang mengambil keputusan.

Entah kenapa, ya, dulu rasanya pemikiran selalu berbeda. Sudut pandang berbeda. Jarang bisa berdiskusi dengan setara. Mungkin saya yang terlalu 'kecil', atau Ibu yang masih menganggap saya 'kecil'. Somehow, saat saya pindah dan nampak bahwa anak-anak tumbuh dengan baik, rumah tangga baik-baik walau rumah berantakan melulu :D, mungkin memberi gambaran pada Ibu bahwa saya mampu. Bahwa saya, akhirnya, adalah Ibu seperti dirinya. Di sisi lain, dengan hidup mandiri, saya jadi memahami bagaimana menjadi Ibu, menjadi perempuan. Tidak cuma menjadi anak. Mungkin ini juga yang meng-upgrade pola pikir dan pemahaman saya menjadi seperti Ibu. Makin lama saya justru merasa bersyukur atas didikan Ibu, dan ingin menerapkan juga untuk anak-anak saya. With a few adjustments of course :D.

Tidak seperti dengan Ibu, saya masih belum bisa sepandangan dengan Bapak saya. Nampaknya Bapak masih susah menerima bahwa saya punya cara sendiri, dan itu sama baiknya dengan cara beliau. Saya, pun, jadinya agak resisten dengan Bapak. Relasi saya dengan Bapak nampaknya belum bisa berubah. Belum bisa agree to disagree seperti dengan Ibu.

Mungkin....karena Ibu dan saya...perempuan.

*thumbnail dari sini