Sorry, we couldn't find any article matching ''
Ritual Antara Ayah, Bunda, dan Si Anak Perempuan
Menghadapi anak nyaris remaja (bunda masih denial, nyebutnya tetap pakai kata ‘nyaris) itu butuh banyak trik. Terutama jika si anak adalah perempuan. Bukannya anak laki-laki nggak repot, tetapi tentunya triknya berbeda. Karena anak nyaris remaja saya perempuan, jadi baru bisa cerita yang tentang perempuan saja. Mereka ini mulai senang ‘ngedekem’ di kamar, entah apa saja yang dikerjakan di dalam kamar. Mulai sering ngambek ala remaja: nggak pakai ngomong, masuk kamar, banting pintu. Bisa dipastikan sebentar lagi akan masuk fase mending-cerita-sama-teman-daripada-cerita-sama ayah-bunda. Ini yang paling saya takutkan, jadi khususnya untuk hal yang ini, saya sudah mulai jaga-jaga sejak Aira kecil. Caranya? Ritual Bunda-Aira dan ritual Ayah-Aira.
Ritual Ayah-Aira sebenarnya sederhana saja. Setiap pagi, saat perjalanan dari rumah ke sekolah, si Ayah selalu menjadikannya momen untuk ngobrol-ngobrol dengan Aira. Mengingat waktunya untuk bersama Aira memang minim jika dibanding saya. Makanya, meskipun sebenarnya Aira lebih praktis jika berangkat sekolah dengan mobil antar jemput, tetapi si Ayah tetap bela-belain melalui rute yang sedikit memutar menuju kantor demi bisa mengantar si anak perempuan ke sekolah dan ngobrol sepanjang jalan.
Nah, untuk Bunda, meskipun waktu saya di rumah lebih banyak dengan Aira karena saya tidak bekerja di kantor, tetap saja perhatian saya sering terbagi dengan adik Aidan dan kesibukan di rumah yang lain. Jadi, saya sering sengaja pergi berdua Aira saja. Kegiatannya macam-macam, mulai dari keliling menjelajah Jakarta naik angkutan umum jika sedang libur, jalan-jalan ke mal berdua, atau ke salon. Kalau sedang jalan-jalan ke mal, biasanya kami nonton film, atau belanja baju buat saya maupun Aira – karena si kakak ini sudah mulai kasih-kasih saran kalau saya pilih baju untuk saya atau sudah ada maunya sendiri untuk baju dan sepatu untuk dia, ke toko buku, atau makan dan ngopi berdua (ini berarti chai latte atau hot chocolate untuk Aira dan cafe latte untuk saya). Kami juga mulai suka ke salon berdua, saya memang bukan manusia salon, paling hanya sekedar creambath (dan blow untuk Aira yang rambutnya lebih panjang dari saya), dan meni-pedi.
Di saat-saat seperti itu tadi biasanya cerita-cerita Aira tentang berbagai kejadian, khususnya di sekolah santai ia ceritakan. Coba kalau kita yang nanya pas pulang sekolah, “Tadi ngapain saja, Kak, di sekolah?” paling jawabnya cuma, “Ya gitu deh.” Ya, kan? Tambah dia besar ceritanya makin macam-macam, mulai masuk topik si siapa suka sama siapa di sekolah. Walaupun kalau saya tanya dia sukanya sama siapa atau siapa yang suka sama dia, paling dijawab Aira, “Anak laki-laki, tuh, nakal semua, sukanya ganggu saja,” Hahaha ... rupanya dia masih di fase itu. Atau belum ngeh kalau anak laki-laki biasanya ngeganggu karena suka. Atau saya yang masih berharap Aira masih di fase itu. Sigh.
Yah, harapan saya sih ritual saya dan si Ayah akan selalu bisa membuat Aira terbuka dan cerita segala macam kepada kami. Memang suatu saat dia akan punya sahabat-sahabat tempat dia curhat, tapi Nak, Bunda mau jadi sahabat kamu jugaaaaa.... *mewek* *drama ibu dengan anak nyaris remaja* *mewek lagi*
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS