banner-detik
ENTERTAINMENT

Menjadi OrangTuanya Manusia

author

rina s esaputra05 Oct 2012

Menjadi OrangTuanya Manusia

 

Judul buku: Orangtuanya Manusia

Penulis: Munif Chatib

Penerbit: Kaifa (grup Mizan)

Tahun:  2012

Hal: 212 halaman

Harga: Rp65.000

Secara sadar atau tidak banyak orangtua melabeli anaknya dengan label negatif hanya karena satu atau dua kali kesalahan yang dilakukan anak. Nakal karena merebut mainan temannya, nakal karena tak mau mengalah dengan adiknya, pemalas hanya karena tidak betah berlama-lama membaca buku, malas karena sulit saat bangun pagi. Dan sederet lebel negatif lain. Sebaliknya, orangtua kerap lupa dengan kemajuan-kemajuan kecil yang sudah dicapai seorang anak. Kemajuan yang sifatnya afektif seperti menolong teman, memberi makan kucing atau tidak lupa mengucapkan terima kasih.

Mudahnya pelabelan ini tidak bisa  dilepaskan dari paradigma lama bahwa anak pintar dan hebat identik dengan kepintarannya membaca, menulis dan berhitung. Kepandaian dan kehebatan yang bisa diukur dengan angka alias bersifat kognitif. Angka-angka yang sebenarnya tidak diperlukan saat anak terjun dalam kehidupan sosial untuk mencapai kesuksesan dalam hidup.

Ilmu psikologi berkembang  dan memunculkan beragam teori kecerdasan.

Tahun 1983 Howard Gardner memunculkan teori kecerdasan majemuk yang meliputi kecerdasan linguistik, matematis-logis, visual-spasial, musikal, kinestesis, interpersonal, intrapersonal dan naturalis (hal 88). Tahun 1995 Dr. Daniel Goleman memunculkan teori emotional quotient yaitu kecerdasan seseorang mengatur emosinya  dan Paul G. Stoltz, Ph. D dengan teori adversity quotient yaitu kecerdasan mengatasi kesulitan. Terakhir  kecerdasan spiritual atau spiritual quotient yang di gagas Ian Marshall dan Danah Zohar.

Teori kecerdasan yang membuktikan bahwa kecerdasan seorang anak tidak bisa diukur dengan angka dan menegaskan jika  semua anak adalah hebat.  Yang kemudian diperlukan adalah kepandaian dan keuletan setiap  orang tua  menemukan, mengarahkan dan memupuk kecerdasan seorang anak .

Lalu kepandaian seperti apa yang diperlukan orangtua untuk menemukan, mengarahkan dan memupuk kecerdasan seorang anak yang diperlukan kelak untuk kehidupannya kelak? Seorang anak yang tumbuh menjadi pribadi berkarakter yang religius, jujur, adil, mandiri, cinta damai, peduli lingkungan dan sederat karakter baik lainnya. Tentunya ilmu pengetahuan caranya menjadi orangtua. Sayangnya hal ini tidak disadari banyak orangtua. Kebanyakan orangtua nekat menjadi orangtua, hanya berbekal pengalaman bagaimana mereka dulu di didik orangtuanya, begitu seterusnya. Padahal ilmu dan teknologi berkembang, beberapa pola asuh lama tidak lagi cukup mempan untuk anak menghadapi tantangan zaman. Tak ada sekolah untuk menjadi orangtua, tapi begitu banyak buku dan artikel yang ditulis  para ahli untuk menjadi orangtua salah satunya buku Orangtuanya Manusia. Buku ketiga dari Trilogi yang ditulis Munif Chatib, seorang praktisi parenting, setelah Sekolahnya Manusia (2010) dan Gurunya Manusia (2011) . Judul buku yang menarik dan provokatif sekaligus membuat menelaah kembali  peran orangtua dalam membentuk karakter anak. Kutipan di halaman 145 ini bisa dijadikan cermin yang cocok; pandai, namun tidak punya kepedulian; cerdas, namun tidak bermanfaat buat orang banyak; berpendidikan tinggi, namun tidak punya rasa keadilan. Tak ubahnya seperti robot bukan?

Hal berikut ini yang membedakan orangtuanya manusia dengan orangtua yang secara tidak langsung menjadikan anaknya robot;

Mendidik Anak sesuai Fitrah

Fitrah Ilahiah atau sifat bawaan dari Sang Pecipta, seorang anak cenderung pada kebaikan jika diibaratkan secarik kertas mereka adalah kertas putih. Lingkunganlah yang kemudian memberinya warna dan kecenderungan  pada keburukan. Lingkungan di sini termasuk pengaruh pendidikan dan pola asuh orang tua.

Dalam Orangtuanya Manusia disebutkan  ada tujuh sumber peringai buruk anak yang menyebabkannya berperilaku buruk yaitu; Melupakan Tuhan, bangga riya’ dan sombong, tidak bersyukur dan mudah putus asa, kikir dan berkeluh kesah, melampaui batas, tergesa-gesa dan suka membantah. Ketujuh hal di atas bisa dijadikan kerangka acuan orang tua bagaimana  mendidik dan membimbing anak agar terhindar dari perilaku buruk tersebut.

Lingkungan keluarga dan orangtua harus berperan dalam membentuk karakter anak jika tidak anak akan mudah terpengaruh oleh lingkungan lain seperti, teman, pergaulan dan media informasi.

Menyadari Semua Anak adalah Bintang

Semua anak hebat, pencipta yang Maha Sempurna  yang tidak pernah menciptakan produk gagal. Seorang anak yang dalam kaca mata fisik atau mental si cacat pasti adalah sebuah bintang yang bisa menyinari lingkungannya. Pasti ada kesempurnaan yang dititipkan Tuhan padanya. Banyak kisah bagaimana anak yang dinilai tak sempurna dalam kaca mata manusia memiliki keahlian yang membuatnyanya menjadi Bintang.

Menjadi Guru Terbaik untuk Anak

Gaya belajar setiap anak berbeda, tergantung kecenderungan kecerdasannya. Jika anak cerdas linguistik dia akan betah belajar denagn cara membaca. Anak dengan kecerdasan naturalis lebih suka belajar dengan cara mengamati langsung fenomena alam. Anak dengan kecerdasan musik lebih suka belajar sambil mendengarkan musik dan seterusnya.

Di rumah dan sekolah anak-anak kita dibentuk, menjadi apa mereka kelak. Orangtua dan guru sama dituntut memiliki ilmu yang cukup untuk menjadi orangtuanya manusia.

Share Article

author

rina s esaputra

mama dengan dua anak yang hobi membaca dan tinggal di bogor


COMMENTS