Men at Work

Love Actually

neena_aime・26 Sep 2012

detail-thumb

Bapak saya mempunyai prinsip kalau bisa buat sendiri, kenapa mesti beli dan kalau bisa diperbaiki sendiri, kenapa mesti panggil tukang. Beberapa lemari dan meja yang ada di rumah adalah hasil karyanya. Tidak hanya itu, beliau juga bisa memperbaiki keran, pipa bocor, pasang genting atap rumah, bercocok tanam, membetulkan sambungan listrik yang putus, membersihkan got, dan masih banyak lagi. Jangan ditanya banyaknya koleksi tools dirumah. Puluhan! Tang, kunci inggris, obeng, cangkul, linggis, arit, sekrup, paku dan berbagai macam peralatan lainnya. Apabila jenis kerusakan yang dihadapi memang tidak bisa diselesaikan, barulah beliau memanggil tukang ahlinya.

Nah, ketika saya menikah dengan pria yang sekarang menjadi suami saya, wajar dong kalau saya mengharapkan dia juga bisa melakukan "pekerjaan domestik khusus untuk pria". Tidak usahlah berharap suami mempunyai keahlian layaknya tukang bangunan atau tukang reparasi AC atau mekanik showroom, tapi minimal dia bisa ganti bola lampu dan pasang regulator gas. Maklumlah, para suami zaman sekarang kan dibesarkan dengan segala kemudahan. Kalau ada apa-apa, tinggal panggil ahlinya dan bayar. Selesai.

 

*gambar dari sini

Awalnya saya menyepelekan kemampuan suami, apalagi semasa lajang, dia tidak pernah hidup jauh dari orangtua. Yang ada di pikiran, "Apa dia pernah mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ya?" Ibu mertua sebetulnya sering bercerita kalau suami tidak sungkan masak sendiri. Pikir saya, "Ah, kalau itu, sih, saya juga bisa." Yang saya tidak bisa itu pekerjaan khusus laki-laki, yaitu seperti yang biasa dikerjakan bapak saya. Kalau harus panggil tukang melulu, kan, boros juga, padahal kita kan baru berumah tangga dan harus menghemat pengeluaran.

Setelah kami hidup bersama, saya baru tahu kalau suami ternyata mempunyai koleksi tools yang lebih lengkap dari bapak mertua. Baru tahu, kalau suami bisa membetulkan sambungan listrik yang korslet. Baru tahu, kalau suami sigap mengganti keran air yang patah. Baru tahu, kalau suami rela menyisihkan uang demi membeli alat bor dan mesin pemotong rumput. Baru tahu, kalau engsel pintu bisa diperbaiki sendiri. Baru tahu, suami tidak akan berganti kulit akibat membetulkan antena televisi yang bermasalah di atap rumah. Baru tahu, kalau suami bisa mengangkat beban kardus berkilo-kilo beratnya. Baru tahu, kalau suami benar-benar tahu cara memasang dongkrak mobil dan mengganti ban. Baru tahu, pekerjaan menguras tandon air lebih bersih dan mudah apabila dikerjakan sendiri. Baru tahu, kalau toko bangunan adalah salah satu tempat hang-out favoritnya (sampai saya bosan kalau disuruh mengantar beli paku, sekrup, kabel, selang, semen, dsb).

Karena saya tidak mempunyai asisten rumah tangga dan mempunyai anak yang tidak mau diam, mau tidak mau kami saling berbagi pekerjaan rumah. Mengepel lantai dan merapikan kasur adalah tugas suami. Jika saya sedang sibuk dengan suatu pekerjaan rumah, maka suami yang bertugas menemani anak bermain. Eh, suami juga tidak sungkan masak sendiri dan mencuci pakaian kotor di rumah. Siapa yang kemudian mencuci peralatan masak, menenangkan anak yang rewel, menjemur pakaian, dan menyetrikanya? Tetap saja, saya :-) Ah, laki-laki.

Mungkin ada yang bilang kalau saya termasuk kuno mengenai peran laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga di zaman (yang katanya) modern ini. Saya pribadi lebih menyukai lelaki yang pintar memasang regulator gas daripada yang pintar menggunakan aplikasi gadget.  Bila perempuan dituntut bisa memasak, boleh, kan, lelaki dituntut bisa membetulkan keran bocor?