Sorry, we couldn't find any article matching ''
AIMI Jateng: Like A Dream Come True
“Bergabung di AIMI Jateng adalah salah satu langkah besar yang mengubah cara pandang saya terhadap banyak hal. Belajar mengakui kesalahan dalam membesarkan anak pertama saya dan belajar menjadi orangtua yang lebih baik untuk kedua anak saya. Belajar memahami berbagai sudut pandang orang lain, menghargainya, dan membantunya untuk membuat beberapa keputusan penting dalam pengasuhan anak. Dan yang paling penting belajar melihat energi positif dari ibu-ibu hebat, menyerapnya dan menjadikannya sebagai energi positif dalam mengembangkan diri dan orang lain.”
Begitulah testimoni Rachmadhani, atau biasa dipanggil Dhani, mantan perempuan karir yang akhirnya memilih sepenuhnya mengurus rumah tangga dan Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Jawa Tengah. Dalam suasana santai pertemuan kami di akhir 2008, secara aklamasi Dhani terpilih sebagai ketua AIMI Jateng, yang waktu itu hanyalah kumpulan sepuluh ‘ibu-ibu biasa banget’ yang bertekad untuk mendukung sesama ibu agar sukses menyusui.
Rata-rata pionir AIMI Jawa Tengah adalah para ibu yang merasakan sendiri betapa memberikan ASI, yang harusnya alamiah itu, tidaklah mudah. Banyak sekali hambatan di dalamnya, seperti ketersediaan informasi yang tidak seimbang antara manfaat ASI dan risiko formula, tidak ada dukungan dari tenaga kesehatan, kungkungan berbagai mitos seputar menyusui dan lain-lain, sehingga sebagian kami gagal memberi ASI Eksklusif dan menyusui minimal 2 tahun sesuai anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Akibat kegagalan tersebut, kami tergerak untuk bergabung dan belajar lebih banyak tentang ASI di mailing list asiforbaby, agar kegagalan pada anak pertama tidak terulang pada anak kedua nantinya. Sebagai sesama anggota milis yang tinggal di Semarang, kami lantas rutin mengadakan kopdar, saling berbagi pengetahuan dan saling mengenal antar individu, sampai pada akhirnya kami bertekad ingin menggabungkan diri ke Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia yang telah berdiri di Jakarta pada 21 april 2007.
Kebetulan sekali, salah satu pengurus AIMI Pusat yang bernama Clodi Stepantoro sedang menjalani pendidikan S2 di Universitas Diponegoro Semarang. Dia juga membawa misi untuk melebarkan sayap AIMI di daerah. Dengan bimbingan Clodi, diselenggarakanlah Kelas EdukASI (KE) di Semarang, KE AIMI pertama di luar Jakarta. Pesertanya adalah pasien-pasien klinik bersalin dari ibu salah satu pengurus AIMI Jateng. Di ruangan seadanya, yakni garasi rumah, kelas edukasi ini berlangsung tanggal 22 desember 2008 – bertepatan dengan Hari Ibu – sebagai penanda awal eksistensi AIMI Jateng.
Namanya juga kelas perdana, tentu banyak kekurangannya. Namun justru dari kesalahan dan kekurangan, kita memperoleh hikmah, bukan? Bulan Januari berikutnya kami menyelenggarakan lagi kelas edukasi. Kami berpromosi di media massa dan menyewa ruangan di salah satu ruko alun-alun Semarang, Simpanglima. Tetapi karena masih belum berpengalaman mengelola pendaftaran peserta, kami sudah senang ketika banyak yang menelpon daftar dan bilang akan bayar di tempat, tanpa terpikir bahwa bisa saja mereka tidak jadi datang di hari H. Benar, buntut-buntutnya kami tekor dan malah harus nombok!
Yang tak kalah serunya adalah belajar menjadi pengajar kelas edukasi. Kami baru punya satu konselor laktasi, si Clodi itu, yang dalam waktu setengah tahun akan segera meninggalkan Semarang untuk melanjutkan studi ke Paris. Maka, Clodi menuntut kami semua berlatih menjadi pengajar. Jadilah setiap minggu kami bergantian berlatih presentasi materi-materi kelas edukasi di bawah bimbingan Clodi.
Ada lagi soal dinamika relasi antar kami. Banyak kepala, banyak pikiran, banyak sifat, kami musti belajar tentang toleransi, berbagi, berorganisasi. Bukan sekali dua kali kami bongkar pasang susunan kepengurusan karena satu dan lain merasa tidak cocok dengan tugas (job description) yang diberikan. Jangan ditanya soal konflik, perbedaan pendapat … banyak sekali terjadi dan ini mewarnai hari-hari kami dalam membesarkan AIMI Jateng.
Pertengahan 2009, Clodi benar-benar harus meninggalkan Semarang. Agar tidak terjadi kekosongan konselor, Dhani minta cuti dari kantornya untuk mengikuti pelatihan konselor menyusui standar WHO (40 jam) di Sentra Laktasi Indonesia, Jakarta. Akhirnya AIMI Semarang bisa punya konselor laktasi sendiri! Tapi satu orang konselor ternyata belum cukup, sebab menurut AD/ART AIMI, untuk diresmikan sebagai cabang kami harus punya empat orang konselor laktasi.
Tuhan selalu berada di antara kami, membantu langkah-langkah kecil kami. Berawal dari kedekatan salah seorang pengurus dengan dunia media massa, beberapa kali kami diliput oleh koran lokal dan siaran di radio lokal. Lewat pemberitaan itu, Dinas Kesehatan Propinsi Jateng dan Kota Semarang tertarik bekerjasama dengan AIMI. AIMI Semarang pun memperoleh kesempatan memberangkatkan dua pengurus – yakni saya dan Rizky Maharani (Kiky) – ke pelatihan konselor laktasi yang diselenggarakan Dinkesprop Jateng. Ternyata pelatihan ini berat, betul-betul harus belajar 40 jam total dan tidak boleh datang terlambat barang 1 jam pun.
Nah, sekarang kami sudah punya tiga konselor laktasi. Masih kurang satu, nih! Saat kami pusing memikirkan cara menambah konselor laktasi, ternyata ada seorang konselor laktasi yang bekerja di Dinkesprop tertarik bergabung menjadi pengurus AIMI. Walau beliau laki-laki, Pak Yazid ini sangat peduli pada dunia menyusui. Hari terakhir pelatihan, saya menelepon Bu Ketua: “Dhan, kita bisa jadi cabang!”
Jadilah kami di akhir 2010 bisa resmi berdiri menjadi cabang AIMI pertama di Indonesia. Peresmian besar-besaran dihadiri sekitar 650 orang didukung oleh Telkom dengan menghadirkan pakar laktasi dokter Utami Roesli dan Rustriningsih, ibu Wakil Gubernur Jawa Tengah yang kemudian didaulat menjadi Pembina AIMI Jateng. Terharu sekali melihat baliho berlogo AIMI Jateng terpampang di muka gedung Telkom, di jalan protokol kota Semarang.
Tahun berikutnya ada berkat lagi. Disponsori LSM internasional Mercy Corps, kami bisa mengirim beberapa pengurus mengikuti pelatihan konselor dan fasilitator menyusui. Permintaan kelas-kelas edukASI di daerah mulai banyak berdatangan. Permintaan homevisit oleh klien-klien AIMI juga meningkat. Bahkan dari salah satu acara ‘ngamen’ di Jogja, berdasa undangan komunitas Jogja Parenting Community (JPC), beberapa ibu terhimpun dan kemudian bermetamorfosis menjadi ranting AIMI Jogja Mei 2011 lalu. Dan berhubung kami sudah punya fasilitator, AIMI Jateng bisa mengadakan pelatihan konselor menyusui sendiri di Semarang (bekerja sama dengan Sentra Laktasi Indonesia, DKK Semarang dan RS dr. Karyadi) dan menambah lagi jumlah konselor menyusui AIMI Jateng.
Senang sekali rasanya melihat kiprah AIMI Jateng makin hari makin diterima masyarakat dan diakui pemerintah. Program-program kami seperti AGto (AIMI Goes to Office), AGtC (AIMI Goes to Community), SosialisASI (penyuluhan untuk kaum marginal) telah menyebar ‘virus ASI’ ke banyak keluarga. Selain itu, AIMI juga sering diundang sebagai narasumber untuk berbagai seminar pemerintah dan organisasi perempuan. Makin senang lagi ketika kami bisa mengantarkan AIMI ranting Yogya menjadi cabang sendiri pada Juni 2012 ini.
Generasi demi generasi kepengurusan AIMI Jateng berganti. Sekarang AIMI Jateng sudah memiliki kurang lebih 40 pengurus yang tersebar di berbagai kota, mulai dari Semarang, Salatiga, Solo, Purwokerto, dan masih ada pula aktivis simpatisan yang membantu kegiatan AIMI di Cilacap, Pemalang, Pekalongan dan Wonosobo.
Para pengurus yang bekerja sukarela tanpa bayaran materi ini setiap hari berkoordinasi secara virtual. Latar belakang yang berbeda-beda membuat kami saling melengkapi kekurangan masing-masing. Kami sudah menjadi keluarga besar, karena bukan hanya para pengurus yang saling berhubungan tetapi para suami dan anak-anak kami sudah saling mengenal satu dengan yang lainnya. Boleh saya bilang, AIMI bukan hanya mengubah masyarakat menjadi lebih baik, tapi juga mengubah diri para pengurusnya bertumbuh secara pribadi. Berikut cuplikan testimoni beberapa ibu yang mengalami seru, indah, dan manfaatnya bergabung dengan AIMI Jateng:
“Butuh waktu agak lama sebelum aku menyanggupi tawaran menjadi pengurus AIMI ranting Yogya,” kenang Cisca, yang sekarang menjadi ketua AIMI Cabang Yogyakarta. “Saya takut gak bisa banyak bantu di organisasi, karena saya bekerja dengan jam yang tak jelas. Saya takut tidak maksimal. Namun, setelah saya memutuskan untuk bergabung, ternyata tidak ada penyesalan sama sekali. Bergabung dengan AIMI berarti bergabung dengan orang-orang luar biasa. Keluarga baru yang ngangenin. Proud to be part of it!”
“Salah satu yang paling mengesankan dari proses saya bergabung dengan AIMI adalah soal masak-memasak. Saya dulu blas nggak bisa masak, mecah telur pun kaku dan berantakan. Lalu setelah masuk masa MPASI, terpaksa belajar dikit-dikit bagaimana bikin makanan bayi -- karena tahu homemade yang terbaik. Kemudian AIMI punya kelas MPASI, awalnya cuma jadi pendengar yang terkagum-kagum. Anak tambah besar, makin perlu bisa masak yang beragam. mulai bisa masak dikit-dikit, sudah disuruh jadi pengajar kelas MPASI yang harus demo masak di hadapan peserta kelas. Akhirnya terpaksa belajar lebih intensif lagi. Coba resep ini-itu, dipuji oleh keluarga, akhirnya kecanduan masak dan bikin kue, bahkan bisa terima pesenan pula. Benar-benar perubahan yang radikal kalau mengingat titik awalnya,” kata Ellen Kristi, sekretaris AIMI Jateng.
Inda Raya, salah satu pengurus AIMI Jateng generasi termuda pun angkat bicara: “Saya bergabung dengan AIMI Jateng saat hamil anak pertama trimester kedua. Saya asli Madiun dan dapat suami orang asli Semarang. Awalnya cuma berniat mencari teman-teman dan kegiatan di Semarang, namun akhirnya malah dapat hal yang jauh lebih bermanfaat dari itu. Investasi yang tak ternilai, pengetahuan tentang pemilihan fakes/nakes untuk melahirkan, proses menyusui dan pemberian ASI kepada anak saya. AIMI Jateng sangat membantu saya melewati ketakutan saya bagaimana kalau nanti ASI tidak keluar sehabis melahirkan. Tapi ternyata, berbekal support dari ibu-ibu AIMi Jateng dan juga ajaran untuk selalu berpikir positif, ASI itu keluar mulai hari pertama bayiku lahir. Sampai sekarang, saat bayiku akan menginjak 6 bulan, Alhamdulillah ASI masih tetap lancar jaya. AIMI, you rock!!!!!!!!”
Sementara itu, koordinator divisi komunikasi Anggraheny Putri bilang, “Banyak orang mengira yang gabung di AIMI adalah orang-orang yang berhasil ASIX dan menyusui hingga 2 tahun, padahal beberapa di antara kami bermula dari kegagalan. Saya salah satunya. Kegagalan pada anak pertama membuat saya ingin tahu tentang ASIX. Masa, sih, saya nggak bisa nyusuin? Salah satu caranya adalah bergabung bersama AIMI Jateng. Dan ternyata tidak hanya informasi tentang ASI saja yang saya dapat tapi juga keluarga baru. Sebagai busui saya dapat banyak amunisi semangat dan dukungan dari hanya sekedar curhat dengan ibu-ibu yang sevisi dan semisi. Buat saya itu WOW!! Tak ternilai!”
Yup. Niat awal untuk memperbaiki kondisi sendiri akhirnya berujung menjadi berbagi untuk sesama. Semoga langkah kecil kami ini bisa membantu anak-anak di Jawa Tengah mendapatkan haknya yaitu ASI!
Salam ASI!
Ika Isnaeni, Kadiv SDM dan Pengembangan Organisasi
Share Article
POPULAR ARTICLE
COMMENTS