Saat Si Kecil Mulai Mandiri

Behavior & Development

vivifajar・21 May 2012

detail-thumb

Pagi di Adelaide, dua belas derajat saja. Cukup dingin untuk ukuran suhu udara musim gugur. Sejak pagi si sulung (9,5 tahun) sudah bersiap-siap hendak mengikuti acara perkemahan yang diadakan sekolahnya. Sejak dua hari sebelumnya, sepulang sekolah ia sudah mulai mencicil mengepak barang-barang yang akan dibawanya. Mulai dari sleeping bag, lampu senter, baju hangat, topi, jilbab, kaus kaki, baju ganti, sneakers, sarung tangan sampai dengan cemilan berupa biskuit dan keripik kentang yang rencananya akan dimakan bersama teman-temannya sebelum waktu tidur yang ditetapkan. Semuanya disusun dengan rapi dalam ransel besar pinjaman dari ayahnya. Tak lupa ia menyelipkan kantung mukena kecil dan sajadah yang berbahan tipis agar mudah dilipat untuk keperluan menjalankan salat lima waktu. Saya hanya mengawasinya saja, bahkan saya tak perlu lagi mengecek semua barang bawaannya, karena belum-belum ia telah menyodorkan secarik kertas berisi check list barang-barang yang telah selesai dipak dalam ransel. Saya tinggal menandatanganinya saja, begitu pintanya.

Sampai dengan  pagi hari berikutnya, di hari keberangkatan, bantuan yang dimintanya hanya satu, mengantarkannya ke sekolah karena ia kerepotan membawa banyak barang-barang. Wah, baru sekali ini, si sulung tidak merepotkan :). Dalam hati saya merasa senang, mengingat untuk usianya, saya tak menyangka ia bisa begitu detail dan dengan percaya diri menyiapkan semua keperluannya. Begitulah dulu yang selalu saya harapkan dari putri kecil saya, agar dia mampu menjadi pribadi yang mandiri. Namun entah kenapa, saat ia memperlihatkannya, saya justru merasa ada yang hilang dalam hati. Mungkin karena sebagai ibu, sejatinya saya ingin selalu membantu anak-anak saya dan merasa lebih nyaman jika mereka membutuhkan bantuan saya.

Saat tiba di sekolah, sebelum berangkat menuju area perkemahan, saya menyempatkan diri bertemu dengan guru pembimbing dan pengawas selama acara berlangsung. Guru dengan ramah mengatakan, bahwa sulung saya sehari sebelumnya telah menghadap beliau untuk memohon izin untuk tetap menjalankan salat lima waktu selama perkemahan berlangsung. Hmm, really? Kagum juga saya akan keteguhan hatinya. Gurunya mengatakan, tidak masalah dengan itu. Sekalipun mungkin  ia satu-satunya anggota perkemahan yang harus melaksanakan ibadah seperti itu, sekolah tak keberatan, justru menghormati dan akan memfasilitasi keperluannya. Wah, saya tadinya hendak memintakan izin, namun ternyata sudah dikerjakannya. Lagi-lagi saya dibuatnya terheran-heran akan kemandirian si sulung.

Sebelum saya beranjak pergi dari halaman sekolah, ia berlari-lari kecil menghampiri saya. Dengan hangat ia memeluk saya, sambil mencium pipi ia berbisik, "Don't worry mom, I just go for one night. I'll be back tomorrow afternoon, and I'll promise to pray for you in my salat time. See you," bisiknya. Ah, kali ini saya sungguh tak bisa berkata-kata. Haru rasanya. Saya balas ciumannya dan melepasnya kembali bersama teman-temannya. Tentu saja, Nak. Bunda juga akan selalu berdoa untukmu. Sampai berjumpa lagi besok, bisik saya dalam hati.

Satu hal yang saya dapatkan pagi itu, bahwa menjadi ibu kiranya tak cukup dengan segala upaya memberi, mendidik, dan selalu siap berada di samping anak-anak kita. Pada saatnya, ibu juga harus bisa menerima bahwa anak-anak mampu bersikap mandiri dan tak lagi bergantung pada kita. Pelajaran kecil dari sulung saya yang mulai belajar mandiri, saya tak akan menghalangi jika ia memang telah mampu melakukan sesuatu tanpa bantuan saya lagi. Saya akan memberinya kepercayaan, kepercayaan yang saya yakin akan makin menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk berbuat yang lebih baik bagi dirinya di kemudian hari dan tidak membuatnya jauh dari saya, semoga :).

 

Adelaide, 3rd May, 2012