banner-detik
SEX

I Want a Divorce!

author

nenglita06 Feb 2012

I Want a Divorce!

Really?

Dari lingkaran terdekat saya, banyak sekali saya dengar cerita tentang perceraian. Alasannnya macam-macam, mulai dari perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), timpangnya ekonomi, komunikasi yang buruk sampai simple reason, nggak cocok lagi. Yah, memang setiap pasangan pasti ada masalah dan batas toleransi masing-masing. Jadi, saya nggak mau membahas alasannya tersebut.

Berdasarkan beberapa buku atau sumber yang saya baca, angka perceraian terus meningkat dari hari ke hari. Padahal setau saya, generasi kita ini sudah jarang yang dijodohin ya, rata-rata memilih jodohnya sendiri. Apakah berarti hati kita yang salah? Entahlah.

Setelah kata cerai dilontarkan, lalu apa?

Yang pasti mempersiapkan dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan pembatalan pernikahan. Sesudah itu?

Menginventori barang-barang yang akan dijadikan harta gono gini. Rumah yang dibeli dengan uang yang dikumpulkan berdua (pintu kamar mandi rusak jadi kalau mandi nggak bisa tutup pintu, kitchen set dengan warna favorit berdua, kamar si kecil yang masih kosong karena kita ternyata belum siap pisah kamar, dst), mobil yang telah membawa kita kemana-mana termasuk ke rumah sakit saat akan melahirkan si kecil, berbagai bentuk investasi yang biasanya kita kumpulkan dari penghasilan selama sebulan, dan lain sebagainya.

Membereskan barang-barang yang ada di rumah. Termasuk televisi yang remote-nya sering hilang (Oh, dulu sering bikin suami kesal saat ingin nonton sepak bola), lemari pakaian yang pintunya rusak (padahal suami sudah janji mau benerin tuh), pakaian (kebaya pengantin dulu masih bagus, mau dikemanain, ya?), album pernikahan (ini siapa yang mau bawa, jadinya?), foto-foto keluarga penuh tawa (buang fotonya, simpan piguranya?) dan banyak lagi.

Membiasakan si kecil atas ketidakhadiran ayahnya. “Ayah mana, Bu?”, “Aku mau sama Ayah”, “Kok Ayah nggak pulang-pulang”, dsb. Hum, kasih jawaban apa, ya, untuk anak usia 3 tahun?

Membiasakan diri sendiri untuk mengambil keputusan bahkan yang paling remeh sekalipun seperti “Masak apa, ya, hari ini?” teringat akan suami yang nggak doyan pasta atau menu sarapannya yang selalu sama: setangkup roti dan secangkir teh. Hingga saat si kecil suhu tubuhnya 39 derajat, bawa ke dokter apa nggak, ya?

Belum lagi masalah pertanyaan dari orang-orang sekitar. Keluarga atau sahabat pasti akan mengerti, tapi lingkaran lainnya? Teman sepermainan, rekan bisnis, rekan kerja sampai ke hal remeh seperti status di Facebook gimana? Dari ‘married’ lalu menjadi 'single'. Pasti akan mengundang tanya dari ratusan atau ribuan teman di jejaring sosial tersebut.

Terakhir, siapa yang akan menggugat? Kita? Atau pihak suami? Jika kita yang menggugat ... saya hanya bilang, nih, mempersiapkan berkas gugatan cerai itu mudah, tapi mempersiapkan mental kita saat membuat kronologis pernikahan sejak ketemu sampai akhirnya memutuskan berpisah itu berat sekali! Dan PR terbesar adalah menceritakan keputusan untuk berpisah pada orangtua (ya, ini harus, bagi yang muslim, setahu saya salah satu dari orangtua harus menjadi saksi saat sidang perceraian nantinya). Menyaksikan wajah kecewa, kaget, marah, sedih mereka terasa lebih berat daripada menghadapi perceraian itu sendiri.

Seorang sahabat yang pernah bercerita tentang rencananya untuk bercerai bilang saya memiliki empati berlebih (secara saya yang mewek). Saya kemudian mencoba memposisikan jika saya berada dalam posisinya. Kemana perginya cinta, janji sehidup semati yang pernah diucapkan di hadapan ratusan pasang mata saat akad nikah dulu? Bagaimana kehidupan suami pascaperceraian nantinya? Kalau dia sakit, siapa yang menemani, siapa yang melayani kebawelannya minta ini itu kalau sakit?

Perceraian apa pun sebabnya akan menyakitkan. Jika bukan kita yang sakit, maka anak atau bahkan pasangan mungkin merasakan betapa sakitnya berpisah dari orang yang dikasihi. Saya bukan penasehat pernikahan dan juga bukan orang dengan kehidupan pernikahannya sempurna. Tapi saya juga tidak menentang perceraian, jika memang harus karena adanya hal-hal yang tidak bisa ditolerir lagi oleh masing-masing yang terlibat dalam pernikahan tersebut atau jika seandainya sudah sampai ke tahap konsultan pernikahan tapi memang sudah tidak bisa bersatu lagi.

Berpikir untuk pisah, mungkin pernah terbersit di pikiran kita saat lelah atau emosi yang bicara. But then again, do we really want it? Kalau di film Love, Wedding, Marriage (2011), Ava (Mandy Moore) yang berperan sebagai konsultan pernikahan selalu meminta ke pasangan-pasangan yang bermasalah untuk memikirkan kembali alasan mereka menikah. Why don’t we try it?

Share Article

author

nenglita

Rock n Roll Mommy


COMMENTS


SISTER SITES SPOTLIGHT

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan

synergy-error

Terjadi Kesalahan

Halaman tidak dapat ditampilkan