HIV/ AIDS dan Keluarga

Health & Nutrition

Mommies Daily・01 Dec 2011

detail-thumb

Di Indonesia ada 2,352 kasus AIDS baru dalam periode 1 Januari hingga 30 Juni 2011. Sementara jumlah kumulatif kasus AIDS dari tahun 1987 hingga 30 Juni 2011 adalah 26,483 kasus. Dari jumlah kumulatif tersebut, 7,940 kasus ditemukan pada perempuan. Sayangnya, tidak ada jumlah yang jelas untuk kasus HIV/AIDS pada anak-anak. Jumlah faktor risiko tertinggi saat ini dipegang oleh penularan pada kelompok heteroseksual. Terdapat 14,513 kasus penularan heteroseksual di Indonesia yang sudah tentu melibatkan perempuan. Yang perlu kita waspadai adalah bahwa jumlah-jumlah di atas merupakan jumlah kasus yang tercatat atau yang diketahui, jadi masih sangat banyak pengidap HIV dan AIDS di luar sana yang kemungkinan besar tidak mengetahui kondisi dirinya dan tidak tercatat.

HIV/AIDS pada perempuan khususnya memiliki masalah yang unik dan kompleks. Dari mulai permasalahan stigma berlapis, beban psikologi sebagai pemegang peran perawat dalam keluarga, permasalahan ekonomi dan kemiskinan, hingga permasalahan penyakit penyerta HIV/AIDS yang spesifik pada perempuan.

Sejak beberapa tahun yang lalu, aktivis perempuan dan HIV/AIDS di seluruh dunia gencar mengampanyekan tentang pentingnya memberi perhatian lebih kepada penyakit-penyakit spesifik perempuan yang bisa menjadi infeksi penyerta pada pasien HIV/AIDS seperti kanker rahim dan mulut rahim, infeksi menular seksual (IMS) yang manjadi bagian dari kesehatan reproduksi perempuan. Hal ini dianggap penting untuk dimasukkan ke dalam kerangka program penanggulangan HIV/AIDS karena intervensi untuk perempuan dengan HIV/AIDS sedikit berbeda dengan perempuan pada umumnya dan disesuaikan dengan situasi unik mereka. Selain itu, disebutkan pula pentingnya memberi perhatian terhadap kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan positif seperti kontrasepsi, kesempatan untuk memiliki keturunan dan perawatan pasca melahirkan. Yang menjadi perhatian khusus para aktivis adalah fakta bahwa kebanyakan obat untuk perawatan kanker memiliki komplikasi jika dikonsumsi bersamaan dengan ARV (antiretroviral) yang merupakan “nyawa” bagi sebagian besar pengidap HIV/AIDS. Tingginya biaya pengobatan kanker dan kesehatan reproduksi juga menjadi kendala bagi banyak perempuan karena sebagian besar dari mereka tidak berasal dari kalangan yang mampu secara ekonomi.

Permasalahan stigma berlapis pada perempuan pengidap HIV/AIDS juga masih tak kunjung selesai. Persepsi negatif bahwa hanya perempuan yang menjadi pekerja seks atau yang tidak setia pada pasangan saja yang bisa terinfeksi masih lekat di benak masyarakat kita. Hal tersebut menimbulkan beban psikologis bagi semua perempuan yang mengidap HIV/AIDS. Fakta bahwa sebagian besar kasus saat ini terdapat pada kalangan ibu rumah tangga masih sering terabaikan. Perempuan memikul beban stigma yang jauh lebih besar daripada laki-laki karena masih tingginya adat patriarkal, di mana laki-laki mendapatkan banyak toleransi dalam norma sosial yang berlaku; dianggap sebagai pembawa HIV ke dalam keluarga karena peran perempuan sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan, di mana penularan dapat terjadi dari ibu ke anak dalam masa kandungan; dianggap tidak patut menikah dan membina keluarga; menerima kekerasan fisik, verbal, ekonomi dan psikologis yang berhubungan dengan status HIV mereka. Hampir semua klien perempuan yang saya damping menyatakan bahwa mereka mengalami setidaknya salah satu jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh anggota keluarga, ipar atau pasangan. Beberapa orang klien perempuan yang tertular suami dan akhirnya menjadi janda, kehilangan hak asuh atas anak mereka. Pihak keluarga laki-laki seringkali mengambil alih perwalian anak dengan alasan takut cucu mereka tertular HIV dari ibunya jika tinggal dan diasuh oleh ibunya.

Kesetiaan perempuan terhadap pasangan seringkali membuat mereka lupa bahwa semua orang memiliki risiko tertular yang sama. Bukannya kita tidak percaya terhadap pasangan kita, tapi semua perempuan perlu waspada karena HIV tidak bergejala hingga jangka waktu yang lama. Mengetahui masa lalu pasangan adalah hal yang penting untuk dilakukan demi menjaga diri sendiri. Berdasarkan pengalaman pribadi saya mendampingi perempuan positif, hampir semua kasus yang terjadi pada kelompok ibu rumah tangga disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan kegiatan berisiko yang dilakukan pasangan mereka di masa lalu. Misalnya, sang suami bekas pengguna NAPZA suntik yang sudah berhenti 10 tahun yang lalu, si istri menganggap bahwa dirinya sudah “aman” karena ketika menikah suaminya sudah tidak lagi menggunakan NAPZA suntik. Yang tidak diketahui oleh kedua belah pihak adalah bahwa penularan melalui jarum suntik yang digunakan bersama oleh si suami sudah terjadi bertahun-tahun ke belakang. HIV telah bersarang dalam tubuh si suami selama bertahun-tahun tanpa diketahui. Karena karakteristik HIV yang tidak bergejala dalam waktu lama, maka baik si suami maupun si istri tidak curiga. Kurangnya pengetahuan tentang proses penularan HIV juga membuat mereka tidak melakukan tindakan antisipasi dan pencegahan, akibatnya si istri tertular dan si suami mengetahui statusnya ketika kondisinya sudah cukup jelek.

Tekanan dari pasangan bahwa kondom tidak lagi diperlukan ketika mereka sudah menikah juga menjadi kendala tersendiri bagi perempuan untuk menjaga diri. Kebanyakan laki-laki yang sudah menikah merasa tersinggung jika istri mereka ingin menggunakan kondom, karena persepsi yang ada kondom adalah alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan mencegah tertular IMS. Permintaan istri untuk menggunakan kondom seringkali diterjemahkan laki-laki sebagai tuduhan bahwa mereka tidak setia, sering “jajan” atau tidak mau punya anak. Saya sering sekali mendengar cerita-cerita serupa di atas. Keinginan perempuan untuk melindungi dirinya terbentur pada institusi pernikahan yang dianggap mentabukan penggunaan kondom. Akhirnya target penyuluhan saya bergeser kepada laki-laki. Kebanyakan laki-laki percaya pada mitos bahwa penggunaan kondom akan mengurangi kenikmatan. Lucunya, banyak dari mereka menganggap kondom ini dibuat untuk kepentingan perempuan, yaitu mencegah kehamilan. Padahal kondom adalah alat kontrasepsi dua arah yang fungsinya bukan hanya untuk mencegah kehamilan tetapi juga untuk mencegah penularan IMS dan HIV. Mudahnya pengobatan IMS menyebabkan laki-laki cenderung mengesampingkan penggunaan kondom bahkan ketika melakukan kegiatan seksual komersil dengan pekerja seks. Beberapa klien saya yang berprofesi sebagai pekerja seks sering mengeluhkan sulitnya mereka melakukan negosiasi penggunaan kondom dengan tamu-tamu mereka. Kebanyakan dari tamu mereka mengiming-imingi bonus kepada para pekerja seks sebagai imbalan melepas kondom. Berapapun besarnya bonus tersebut, tidaklah setimpal dengan risiko yang menunggu kedua belah pihak.

Anak-anak yang mengidap HIV/AIDS cenderung memiliki kerentanan tertular penyakit lain yang sangat tinggi. Sebagai anak, tubuh mereka belum berkembang secara sempurna sehingga daya tahan terhadap penyakit juga belum cukup. Hal ini kemudian diperburuk dengan HIV yang notabene menurunkan jumlah sel-sel kekebalan tubuhnya. Oleh sebab itu, kebanyakan anak-anak yang mengidap HIV akan cepat memasuki tahap AIDS dan sulit bertahan hingga dewasa.

Beberapa kasus HIV pada anak di Indonesia menunjukkan bahwa kendala yang dihadapi oleh orang tua adalah memberikan penjelasan tentang kondisi mereka dan menjaga kepatuhan si anak untuk minum ARV. Kejenuhan meminum obat setiap hari sering membuat anak-anak mogok dan tidak mau minum obat karena bosan. Ketidaktahuan atas kondisi tubuh atau ketidakmengertian mereka menjadikan situasi bertambah sulit. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan yang biasanya diajukan oleh teman-teman mereka. Secara tidak langsung si anak merasa dirinya berbeda dengan teman-temannya dan rentan terhadap stres.

Salah seorang teman saya dari Australia adalah remaja berusia 18 tahun yang lahir dengan HIV. Dia menceritakan kepada saya suka-dukanya menjalani kehidupan sebagai remaja perempuan dengan HIV. Seperti anak-anak lain yang mengidap HIV, dia juga mengalami kejenuhan minum obat ketika masih berusia 6 hingga 8 tahun. Namun ketika akhirnya dia sudah bisa memahami pentingnya obat yang diminum bagi kelangsungan hidupnya, dia mencoba untuk menganggap rutinitas minum obat itu seperti halnya bernafas dan makan. Tidak bisa berhenti dan sebagai sesuatu yang normal.

Meskipun salah satu faktor risiko penularan dari ibu ke anak adalah melalui pemberian ASI, studi di beberapa Negara menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir dengan HIV yang mendapat asupan ASI, kondisinya jauh lebih sehat dan berumur jauh lebih panjang daripada yang tidak mendapat asupan ASI. Hal ini sekarang telah dimungkinkan, caranya adalah si ibu yang positif mengidap HIV diharuskan untuk mengkonsumsi ARV (meskipun mungkin belum saatnya) pada trimester ketiga hingga pasca melahirkan. Sehingga ARV yang dikonsumsi akan tersalurkan kepada si bayi melalui ASI yang diberikan.

Kabar paling menggembirakan yang selalu membuat hari saya menjadi mendadak cerah adalah ketika saya mengetahui bahwa teman-teman saya yang merupakan pasangan positif atau pasangan campur (hanya salah satu yang mengidap HIV) melahirkan anak-anak yang negatif. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan saat ini telah menjadikan hal tersebut memungkinkan. Dengan melalui konsultasi dan pengawasan dari tim dokter, semua perempuan positif memiliki kesempatan untuk melahirkan anak-anak yang negatif. Hal ini tentu saja menggembirakan sekaligus memusnahkan stigma yang mengatakan bahwa perempuan adalah pembawa HIV dalam keluarga.

Salah seorang teman baik saya dari Afrika Selatan adalah laki-laki yang mengidap HIV. Dalam sebuah kesempatan dia bercerita bahwa dia telah berkeluarga, memiliki 2 orang putri yang cantik dan beranjak remaja. Istrinya negatif dan hingga saat ini, setelah memiliki 2 orang anak, masih negatif. Hal ini membuktikan bahwa melalui kerjasama yang baik antar pasangan, kita bisa menjaga diri, berketurunan dan membina keluarga sekaligus. Memang diperlukan keterbukaan dan komitmen yang tinggi, namun bukan berarti mustahil. Saya sangat gembira ketika mengetahui semakin banyak pasangan campur yang ada saat ini. Hal ini merupakan jawaban atas harapan semua ODHA di seluruh dunia, bahwa tembok stigma yang tinggi dan tebal sudah mulai runtuh sedikit demi sedikit.

Kita semua sudah tahu bahwa mencegah selalu lebih baik daripada mengobati; dan ini berlaku untuk semua jenis penyakit termasuk HIV/AIDS. Melakukan tes HIV adalah salah satu cara yang bisa dilakukan oleh semua orang. Deteksi dini akan membuat kita bisa melakukan perencanaan yang matang untuk kesehatan dan masa depan. Dukungan dari keluarga, teman dan orang-orang terdekat adalah hal yang sangat penting bagi pengidap HIV/AIDS. Menjauhi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) bukanlah solusi, karena HIV tidak menular melalui kontak sosial seperti berjabat tangan, berciuman, berbagi alat makan dan minum ataupun tinggal serumah. Beban psikologis dan tingkat stres yang tinggi adalah salah satu faktor utama yang memperburuk kondisi kesehatan kita. Dengan memberikan dukungan positif kepada keluarga, teman atau orang terdekat kita yang mengidap HIV/AIDS, kita telah meringankan beban psikologis mereka dan memberikan harapan hidup yang lebih tinggi.

 

Ditulis oleh Suksma Ratri, Advocate for women's rights, HIV/AIDS, migrants & gender equality. Experience-based counselor, mediator & a community writer.

*gambar dari sini