Sorry, we couldn't find any article matching ''
The Cost of Not Breastfeeding
Beberapa waktu lalu, kita dibuat sedih oleh kisah seorang bayi bernama Zidan. Bayi (saat itu berusia 2 bulan) yang dirawat di klinik Layanan Kesehatan Cuma-cuma (LKC), Ciputat, Tangerang ini menderita infeksi berat, nyaris pada sekujur tubuhnya dan berada dalam kondisi gizi buruk saat dibawa ke klinik tersebut. Konon, Zidan tidak mendapat ASI, karena ibunya mendapat anjuran untuk memberi susu formula oleh RS sejak melahirkan. Keadaan ekonomi yang terbatas membuat orangtua Zidan kesulitan menyediakan susu formula yang cukup, ditambah lagi sulitnya menyajikan susu formula dengan higienis.
Syukurlah kisah Zidan memiliki happy ending. Zidan mendapat bantuan donor ASI dan ibunya berhasil melakukan relaktasi dengan bimbingan dr. Asti Praborini, SpA, IBCLC di LKC. Sekarang Zidan sudah berusia 9 bulan, full ASI dan kondisinya sangat sehat serta segar bugar. Bahkan, sang ibu berkenan hadir dan berbagi kisahnya di Seminar Nasional Zakat dan ASI “Tuntaskan Balita Gizi Buruk di Indonesia” yang diadakan LKC dan Dompet Dhuafa, 2 Juni 2011 lalu.
Pada kesempatan lain, seorang teman bercerita tentang petugas keamanan di kantornya yang bersemangat menabung, agar bisa memberikan susu formula termahal bagi bayinya yang akan lahir. Katanya, “Supaya anak saya nanti cerdas, tidak seperti saya.”
Kisah Zidan bukan satu-satunya di Indonesia. Banyak yang sebenarnya mampu menyusui, justru memilih (atau dibuat memilih) untuk memberi susu formula kepada bayi mereka. Banyak juga, seperti petugas keamanan tadi, yang memaksakan diri memberikan susu formula, bahkan meniatkannya jauh sebelum bayi lahir. Minimnya informasi tentang manfaat ASI dan risiko susu formula menjadi pemicu utama dari keadaan di atas.
Harga susu formula yang terus naik ternyata tidak membuat angka penjualan susu formula mengalami penurunan. Pada 2010 tercatat beberapa perusahaan produsen susu formula mengalami peningkatan angka penjualan sekitar 15,7%. Bahkan ada produk susu formula yang mengalami peningkatan angka penjualan hingga 85% dibandingkan 2009 (IMS, 2011).
Angka kelahiran di Indonesia yang mencapai 4,5 juta bayi per tahun merupakan pangsa pasar yang besar. Di samping itu, longgarnya pengawasan terhadap pemasaran produk pengganti ASI yang sesuai Kode Etik WHO (1981), membuat kita lengah akan risiko rendahnya angka menyusui di Indonesia.
Melihat kondisi di atas, pernahkah kita menyadari, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh sebuah keluarga untuk memberikan susu formula? Berapa pula ‘harga’ yang harus dibayar sebuah negara jika masyarakatnya lebih memilih susu formula ketimbang ASI?
HARGA SUSU FORMULA – BAGI KELUARGA
Saat ini terdapat lebih dari 40 merek susu formula yang beredar di Indonesia dengan harga yang variatif. Berdasarkan hasil survei kami, harga susu formula (di supermarket lokal, per Maret 2011) bervariasi antara Rp. 21.190,- hingga Rp. 103.490,- per kemasan 300 – 400 gram, atau berkisar antara Rp. 70,63 hingga Rp. 258,73 per gram. Kami memilih tiga merek susu formula yang bisa mewakili tiga kelompok harga, yaitu kelas harga menengah ke bawah, menengah dan menengah ke atas (Tabel 1).
Tabel 1. Kelompok harga susu formula di pasaran.
Dengan mengikuti petunjuk pemakaian yang terdapat pada kemasan, kami menyimulasikan biaya konsumsi susu formula secara eksklusif hingga usia anak 2 tahun. Simulasi biaya tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Simulasi biaya konsumsi susu formula berdasarkan kelompok harga.
Hasil simulasi cukup mencengangkan. Susu formula termurah saja membutuhkan biaya sebesar Rp. 1.364.664,- selama 6 bulan pertama, atau sekitar Rp. 227.444,- per bulan. Mengapa mencengangkan? Karena menurut BPS (2011), pendapatan per kapita masyarakat Indonesia pada 2010 hanya Rp. 27 juta per tahun atau Rp. 2.250.000,- per bulan. Artinya, sebagian orangtua harus menghabiskan lebih dari 10% penghasilannya untuk membeli susu formula (untuk satu anak)!
Bagaimana dengan masyarakat yang penghasilannya di bawah rata-rata? Bagaimana juga dengan keluarga-keluarga seperti keluarga Zidan yang mendapat ’rekomendasi’ susu formula dengan harga yang tidak terjangkau? Berapa banyak keluarga seperti keluarga petugas keamanan seperti cerita di atas, yang berusaha menjangkau kelas harga yang tinggi?
Simulasi kemudian diperlebar dengan melakukan sebuah survei kecil di milis [email protected]. Kami mempelajari pola konsumsi susu formula secara eksklusif. Dari survey diketahui, 90% ibu selalu membaca petunjuk pemakaian yang tercantum di kemasan susu formula yang dibelinya. 85% responden menganggap bahwa petunjuk pemakaian tersebut mudah dipahami dan wajar. Namun ternyata, hanya 15% saja yang mengaku memberikan susu formula sesuai petunjuk pemakaian. Hasil survei juga menunjukkan bahwa para ibu tersebut rata-rata memberikan susu formula 20-30% lebih banyak dari petujuk yang tertera pada kemasan.
Simulasi biaya yang disesuaikan dengan hasil survei pola konsumsi susu formula tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Simulasi biaya konsumsi susu formula sesuai survei pola konsumsi (30% lebih banyak dari petunjuk pemakaian).
Tulisan ini tidak akan membahas konsumsi berlebih dari susu formula tersebut. Tapi lihat angka di kolom paling kanan. Jika saya memilih memberikan susu formula termahal pada bayi saya selama 2 tahun, saya harus siap merogoh kocek sampai lebih dari Rp. 25 juta! Angka yang (menurut saya) fantastis.
Sedikit iseng, saya hitung-hitung, kalau uang sejumlah itu dibelikan emas atau produk investasi lain, bisa jadi dua kali lipat pada 5 tahun mendatang, atau 6 kali lipat 10 tahun dari sekarang! Tidak perlu pusing mikirin dana pendidikan ;)
Simulasi biaya yang kami lakukan baru hanya menghitung pengeluaran belanja susu formula. Sesungguhnya, biaya konsumsi susu formula perlu memasukkan biaya-biaya lain yang ‘tersembunyi’ seperti biaya penyajian susu formula (memasak air hingga matang; membeli, mencuci, dan mensterilkan botol dan dot serta biaya pengobatan).
Jika seorang ibu memutuskan untuk memperbaiki gizinya dan menyusui, ia hanya akan mengeluarkan biaya tidak lebih dari seperenam (kurang dari 17%) biaya memberikan susu formula selama 1 tahun (Bitoun, 1994). Kelly Bonyata, BS, IBCLC dalam situs www.kellymom.com (2005) menghitung bahwa jika seorang ibu ingin menyusui dengan gaya, “peralatan perang” lengkap, plus berkonsultasi dengan ahli laktasi profesional, ia hanya akan menghabiskan tidak lebih dari seperlima (20%) biaya konsumsi susu formula selama 1 tahun.
Dampak ekonomi pemberian susu formula dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Dampak secara langsung meliputi biaya pembelian susu formula dan biaya perawatan kesehatan. Sedangkan dampak tidak langsungnya adalah manfaat yang berhubungan dengan waktu dan penghasilan yang tidak didapat orangtua (khususnya ibu) akibat merawat bayi/anak yang sakit (Weimer, 2001).
Secara ideal, biaya, waktu dan penghasilan yang hilang karena orangtua merawat anak yang sakit harus dianggap sebagai salah satu kerugian dari tidak menyusui. Kenapa? Karena penyebab paling umum seorang wanita tidak masuk kerja adalah karena anaknya sakit (Weimer, 2001). Dan riset menunjukkan bahwa bayi yang diberi susu formula lebih rentan terhadap penyakit dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI (WHO, 2010).
HARGA SUSU FORMULA – BAGI NEGARA
Apa hubungannya dengan negara?
Banyak!
Manfaat pemberian ASI dari sisi ekonomi telah disadari di beberapa negara maju. Berdasarkan hasil penelitian epidemiologis oleh Department of Agriculture Amerika Serikat (USDA), estimasi biaya yang dihemat dengan menurunnya risiko berbagai penyakit pada bayi dan anak-anak karena pemberian ASI dapat mencapai USD 3,6 milyar atau lebih dari Rp. 30 triliun per tahun (Weimer, 2001).
Peningkatan pemberian ASI di Australia dapat menambah AUD 3,4 miliar (lebih dari Rp. 30 triliun) pada output makanan nasional, atau sama dengan tambahan 0,7% dari GNP Australia (Smith, 1997). Secara keseluruhan, Australia dapat menghemat AUD 115 miliar (lebih dari Rp. 1.000 triliun) per tahun dengan meningkatkan angka menyusui menjadi 80%. Angka ini didapat hanya dengan memperhitungkan pemberian ASI minimal selama 3 bulan dan penurunan resiko otitis media, diabetes melitus, penyakit gastrointestinal dan eksim (Drane, 1997).
Di Inggris, National Health Service menghabiskan £ 35 juta setiap tahunnya (lebih dari Rp. 420 miliar) hanya untuk menangani gastroenteritis pada bayi susu formula. Untuk setiap 1% peningkatan angka menyusui selama 13 minggu, terjadi penghematan biaya sebesar £ 500.000 (sekitar Rp. 6 milyar) dalam perawatan gastroenteritis (Department of Health, UK, 1995).
Riset mengenai biaya dan penghematan dari promosi menyusui di El Salvador (Wong et. al., 1994) menemukan manfaat ekonomi sebesar USD 2.808.378 (hampir Rp. 24 milyar) dari aktivitas promosi ASI dan menyusui yang hanya mengeluarkan biaya USD 32.830 (sekitar Rp. 279 juta). Hal ini karena menurunnya angka kejadian diare, infeksi saluran pernafasan, jarak kelahiran dekat, dan biaya konsumsi susu formula.
Sebuah RS di Filipina (Gonzales, 1990) melakukan pengaturan ruang bayi dan menerapkan peningkatan pemberian ASI. Aktivitas ini menghemat anggaran RS sebanyak 8%. Penghematan ini berasal dari penurunan biaya listrik, air, sabun cuci, boks bayi, botol susu, dll. Anggaran yang berhasil dihemat ini sekarang dimanfaatkan untuk penyediaan obat-obatan yang lengkap sepanjang waktu, peningkatan kualitas pakaian, makanan dan gizi pasien, penyediaan darah sepanjang waktu, penambahan jumlah staf perawat dan pendamping di ruang ibu dan bayi baru lahir.
Ball and Wright (1999) mengkaji biaya perawatan kesehatan yang dikeluarkan selama tahun pertama kehidupan pada bayi yang mendapat susu formula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1000 bayi yang tidak pernah mendapat ASI, mengalami 60 kali lebih sering sakit saluran napas bawah, 580 kali lebih sering otitis media, dan 1053 kali lebih sering sakit saluran pencernaan. Total biaya langsung yang dibutuhkan oleh bayi yang tidak pernah mendapat ASI selama 12 bulan pertama kehidupannya akibat sakit saluran pernapasan bawah, otitis media, dan sakit saluran pencernaan adalah antara USD 331 hingga USD 475 per orang.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Salah satu contoh yang menonjol saat ini adalah kasus gizi buruk atau malnutrisi pada batita di berbagai daerah. Untuk menangani ribuan kasus gizi buruk, pemerintah harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Pada tahun 2007 saja, Kemenkes harus mengeluarkan dana sebesar Rp. 600 milyar untuk menangani kasus gizi buruk. Padahal, ASI dapat memenuhi 100% kebutuhan nutrisi bayi usia 0-6 bulan, 70% pada usia 6-12 bulan dan 30% pada usia 1-2 tahun (WHO, 2010).
--
Membaca fakta-fakta ’menarik’ di atas, perlu segera kita sadari bersama bahwa ASI, selain secara medis terbukti sebagai satu-satunya makanan terbaik untuk bayi, juga memberikan dampak yang luar biasa terhadap perekonomian keluarga, masyarakat dan negara. Sudah saatnya kita tingkatkan angka menyusui yang saat ini di Indonesia baru berada di angka 15,3 % saja. Salam ASI!
*Sari Kailaku (@sarikailaku) adalah ibu 2 anak, konselor laktasi dan Kepala Divisi Riset AIMI
*foto dari sini
Referensi:
Ball TM, Wright AL. 1999. Health care cost of formula-feeding in the first year of life. Pediatrics 1999;103:870–6.
Bitoun. 1994. The Economic value of breastfeeding in France. Les Dossiers de l’Obstetrique, 1994, 216:10-13.
Bonyata, K. 2005. Financial costs of not breastfeeding. www.kellymom.com
Drane, D. 1997. Breastfeeding and formula feeding: a preliminary economic analysis. Breastfeed Rev 1997; 5:7-15.
Dept. of Health. Breastfeeding. 1995. Good practice guidance to the NHS. London, United Kingdom of Great Britain.
Gonzales R. 1990. Cost analysis of maintaining a newborn nursery at Dr. Jose Fabella Memorial Hospital, Manila. (Transparencies presented in meeting in Manila, Philippines).
IMS. 2011. IMS data – Infant formula 2008 – Q1 2011.
Smith, J. 1997. The economics of breastfeeding. Australian Financial Review 24th July 1997.
Weimer J. 2001. The economic benefits of breastfeeding: A review and analysis. ERS Food Assistance and Nutrition Research Report No. 13. USDA Economic Research Service, Washington, D.C.
WHO. 2010. Fact sheet: Infant and young child feeding. www.who.int/
Wong et al. An analysis of the economic value of breastfeeding in El Salvador: Policy & technical monographs. Washington D.C., Wellstart Intl. and Nuture, 1994.
Share Article
COMMENTS