Sorry, we couldn't find any article matching ''
Got Milk?
Kurang lebih minggu lalu kita baru merayakan Hari Susu Sedunia. Jika ada satu jenis makanan atau minuman yang orang tak pernah ragu menyatakannya sehat, selama ini adalah susu. Bahkan sewaktu kita sekolah dulu, susu disebut-sebut sebagai minuman yang menyempurnakan sebuah pola makan yang sudah sehat (4 Sehat 5 Sempurna). Tetapi apa iya kita harus percaya 100 persen kalau susu memang makanan ‘super’?
Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca sebuah penilitian – yang saya lupa detilnya – menyatakan, mungkin, susu tidak diperlukan oleh manusia selepas masa bayi. Tetapi memang yang membuat saya lebih menyangsikan lagi kekuatan susu setelah membaca buku Dr. Hiromi Shinya, MD, “The Miracle of Enzyme”. Memang sulit mematahkan pendapat yang sudah berpuluh-puluh tahun kita pegang, tetapi menurut saya tidak ada salahnya kita tetap membuka pikiran dan mencari referensi sebanyak-banyaknya. Di tulisan ini akan saya kemukakan latar belakang mengapa Dr. Shinya menyatakan bahwa susu adalah minuman yang paling sulit dicerna dan nyaris tak ada nutrisinya untuk tubuh manusia.
Dr. Shinya sendiri pertama kali menyadari efek susu dari tubuh ketika anak-anaknya menderita radang kulit yang parah ketika berusia enam bulan. Setelah dilakukan pemeriksaan dan seluruh instruksi dokter anak dituruti, radang kulit anak-anaknya tidak membaik, bahkan pada usia tiga atau empat tahun, salah satu anaknya menderita diare hingga pendarahan keluar bersama kotorannya. Setelah dilakukan endoskopi, ditemukan bahwa sang balita menunjukkan tanda-tanda awal koltis ulserativa atau radang parah dengan tukak di dalam usus besar.
Dr. Shinya yang seorang pelopor pembedahan yang menggunakan kolonoskop sangat sadar kalau keadaan usus sangat berhubungan erat dengan makanan. Karena itu Beliau mulai memerhatikan jenis makanan yang dikonsumsi anak-anaknya. Ternyata ketika anak-anaknya mulai menderita radang kulit, istri Beliau telah berhenti menyusui dan mulai memberi mereka susu atas arahan dokter anak. Mereka pun menyingkirkan semua susu dan produk susu dari makanan anak-anak sejak itu dan segera semua radang kulit dan diare pun hilang.
Sejak itu ketika Dr. Shinya menanyakan kepada pasien-pasiennya tentang kebiasaan makan mereka, dikumpulkan juga daftar lengkap berapa banyak susu dan produk susu yang dikonsumsi. Menurut data klinis Beliau, terdapat kemungkinan besar terbentuknya kecenderungan timbulnya alergi dari mengonsumsi susu dan produk susu. Bahkan ada penelitian mengenai alergi baru-baru ini yang melaporkan bahwa wanita hamil yang minum susu meningkatkan kemungkinan anaknya cenderung mudah menderita radang kulit.
Bagaimana susu ‘dicerna’ dalam tubuh kita? Nutrisi utama yang ditemukan pada susu adalah protein, lemak, glukosa, kalsium dan vitamin. Tetapi Kasein, yaitu protein yang membentuk 80 persen dari protein dalam susu langsung menggumpal menjadi satu ketika memasuki lambung sehingga sangat sulit dicerna. Terlebih lagi, menurut Dr. Shinya, susu yang dijual di supermarket seperti yang kita kenal saat ini melalui proses homogenisasi dan pemasakan menggunakan suhu tinggi. Homogenisasi adalah proses meratakan kadar lemak dalam susu dengan cara mengaduknya. Saat diaduk, udara ikut tercampur di dalamnya sehingga mengubah komponen lemak dalam susu menjadi zat lemak teroksidasi. Dengan kata lain, susu homogeny menghasilkan radikal bebas yang selama ini menjadi ‘momok’ kaum modern seperti kita. Kemudian pemasakan atau sterilisasi menggunakan suhu sangat tinggi (UHT= Ultra High Temperature). Enzim baik yang terkandung pada makanan sangat sensitif terhadap suhu, dan mulai hancur pada suhu 93.3° Celcius. Jadi bisa dibilang kalau susu yang dijual dalam kemasan bukan saja tidak mengandung enzim yang baik untuk kesehatan, tetapi juga lemaknya telah teroksidasi dan kualitas proteinnya berubah akibat sterilisasi dengan suhu yang tinggi. Dr. Shinya membagi cerita bahwa dia pernah mendengar kalau seekor anak sapi diberikan susu yang dijual dalam kemasan ini, anak sapi tersebut akan mati dalam empat atau lima hari.
Susu dengan zat lemak teroksidasi ini, ketika masuk ke dalam usus kita akan mengacaukan lingkungan dalam usus, meningkatkan jumlah bakteri buruk dan mengacaukan keseimbangan flora bakteri dalam usus kita. Sebagai akibatnya, racun-racun seperti radikal bebas, hydrogen sulfide dan ammonia diproduksi dalam usus. Penyakit-penyakit akibat kondisi usus seperti ini masih terus diteliti, tetapi mengenai susu bisa mengakibatkan alergi dan diabetes pada anak, penelitiannya sudah bisa dicari di internet.
Lalu bagaimana dengan kabar kalau susu adalah sumber terbaik kalsium, sehingga jika tidak mengonsumsinya kita akan terancam osteoporosis? Menurut Dr. Shinya, hal ini merupakan kesalahan besar, karena minum susu terlalu banyak justru bisa menyebabkan osteoporosis. Kadar kalsium dalam darah manusia biasanya terpatok pada 9 sampai 10 mg. Ketika kita minum susu, konsentrasi kalsium dalam darah Anda akan tiba-tiba meningkat. Hal ini jika dilihat sesaat seperti kalsium telah terserap dengan baik, tetapi jika dilihat kelanjutannya justru sebaliknya. Ketika konsentrasi kalsium dalam darah tiba-tiba meningkat, tubuh berusaha untuk mengembalikan keadaan abnormal ini menjadi normal kembali dengan membuang kalsium dari ginjal melalui urine. Dengan kata lain, jika Anda mencoba untk minum susu dengan harapan mendapatkan kalsium, hasilnya justru malah menurunnya jumlah kalsium dalam tubuh Anda.
Terus terang saya juga heran jika negara-negara yang paling banyak mengonsumsi susu yaitu Amerika Serikat misalnya, tetapi justru banyak kasus retak tulang panggul dan osteoporosis pada warga manulanya.
Apakah saya menulis artikel ini untuk mengajak para mommies untuk tidak lagi memberikan susu kepada anak-anak kita? Tentu saja tidak dan bagaimana kita menyikapi susu tentunya kembali kepada masing-masing manusia. Tetapi tidak ada salahnya untuk tetap jaga agar pikiran terbuka dan cari tahu sebanyak-banyaknya.
Dikirimkan oleh Leila Safira, ibu dari Yoko (4,5 tahun), yang sebelumnya pernah bekerja sebagai editor di majalah Health Today dan Managing Editor di majalah Shape Indonesia.
Share Article
COMMENTS