Dee2's Story

Single & Step Parenting

nenglita・25 Jan 2010

detail-thumb

Pernah terbayang seandainya kita harus menjalani kehamilan tanpa suami? Di bawah ini ada e-mail dari sahabat yang memutuskan untuk menjalani kehamilan sendirian dan menjadi single parent.

Dear Lita,

I just wanted to share a story. Sebelumnya pernah sharing juga di salah satu thread di Fashionese Daily Siapa yang nggak bahagia saat tau dirinya hamil? Kalau itu terjadi saat ini, saya bilang saya pasti bahagia. Tapi takut yang amat sangat malah saya rasakan saat mengandung Diandra, 8 tahun yang lalu. Saya hamil oleh pacar yang saya cintai, lalu kenapa takut?

Bayangan ibu saya yang baik hati, ayah saya yang galak serta bagaimana reaksi keluarga lainnya kalau tau saya, anak bungsu kesayangan mereka hamil di luar nikah? Pasti saya akan dibuang keluarga, nggak diaku anak, dan lain sebagainya! Takut! Mana saya baru lulus kuliah, nggak mungkin bisa kerja kalau keadaan hamil begini?! Tapi di sisi lain, saya excited dan takjub akan punya bayi. Bayangan bayi mungil yang halus dan lembut sedang bersemayam di rahim saya, rasanya sungguh menenangkan.

Beberapa hari setelah peristiwa tersebut, si pacar, mengajak saya untuk menggugurkan kandungan. Alasannya, “Kasihan si baby kalau dia lahir juga”. Sumpah saya nggak mau! Dalam setiap keluarga, pasti ada orang yang children magnet, dan orang itu adalah saya. Walaupun anak bungsu, tapi saya terbiasa mengasuh keponakan-keponakan. Bahkan waktu kelas 3 SD saya sudah jago ngebedong bayi *bangga*. Masa sekarang ini bayi saya sendiri, malah mau saya hilangkan? Tapi entah setan mana yang merasuki, saya pasrah saja di’seret’ ke bidan. Tanpa mengiyakan atau menolak, saya benar-benar pasrah ala sapi yang dicucuk hidungnya.

Setelah masuk ruang observasi untuk di usg (saya nggak mau lihat layar sama sekali) dan proses administrasi, kami pun menunggu lagi untuk proses pengguguran. Di waktu itulah tiba-tiba sekujur tubuh saya menggigil ketakutan. Saya berteriak, " Mendingan gue pukul keras-keras nih perut. Ngapain bayar orang untuk ngebunuh anak gue sendiri? Buat apa? Kalo bikin anak ini nggak ada, gue juga bisa. Ngapain sampe bayar orang buat bunuh anak gue sendiri?." Sang pacar terdiam, lalu bilang “Yuk kita pulang, kita kawin ya.”

Lalu beberapa pertemuan antar keluarga pun diatur, tanggal pernikahan sudah ditentukan, tempat menikah juga sudah siap. Bahkan keluarga di luar kota sudah siap datang ke Jakarta. Namun seminggu menjelang tanggal pernikahan, tiba-tiba dia menghilang. Bahkan orangtuanya pun nggak tau anaknya berada dimana. Tapi saya nggak mau kepikiran itu, saya konsentrasi pada kehamilan saja. Sampai akhirnya 2 hari menjelang hari H, dia menelpon ibunya dan berkata “Bu, tolong bilang bapak, saya belum siap!.” Telpon ditutup.

Dunia saya rasanya runtuh untuk kedua kalinya. Hamil di luar nikah saja sudah cukup membuat malu orangtua, apalagi hamil tanpa ayah? Akhirnya saya diboyong keluarga ke Sumatera sana. Luar biasa memang kedua orangtua saya. Mereka benar-benar menghapus bayangan bahwa saya akan dibuang, dikucilkan, dan sebagainya.

Di saat saya totally broke down dan mengurung diri di kamar tanpa semangat di awal-awal kehamilan, ibu saya selalu ada di sana.  Pagi-pagi ibu udah dateng ke kamar bawa piring isi roti, susu, vitamin. Dia lah yang paling khawatir ngeliat berat badan saya merosot drastis sampai 5 bulan kehamilan. Paling rajin nanyain saya ngidam makan apa sekarang. Ibu juga dengan sabar dengerin setiap racauan saya yang kadang mirip orang sakit jiwa. Beberapa kali saya kabur dari rumah, menuju Jakarta dengan tujuan mencari si father of birth (FOB). Ya, saya mengiriminya e-mail yang tak pernah dibalas mengajukan diri mau diajak kawin lari, keliling Jakarta demi mencarinya, ke setiap sudut yang saya tau tempat ‘nongkrong’nya. Tapi selalu nggak sampe 1 jam saya sampai di Jakarta, ibu pun sampai . Rupanya, waktu sadar saya kabur, ibu ngejar ikut naek bis lain ke Jakarta.

Sementara Bapak? Ya Tuhan. Bapak saya yang keras hati, galak, dan nggak pernah sekalipun nangis dengan alasan apapun, tiba-tiba satu malam  dia datang ke kamar, terpekur duduk di atas ranjang ngeliat saya di tempat tidur dengan muka berantakan dan air mata mengalir. Tiba-tiba dia nyiumin kaki saya sambil bilang, "Sabar ya nak, kamu tetap anak kesayangan Papa. Kamu tetap anak kebanggaan Papa." Dan dia mulai menangis meraung-raung, seperti anak yang nggak dibeliin balon. Menepuk dadanya keras-keras dia bilang "Semua aturan yang papa buat untuk nggak nangis di depan anak udah papa langgar sendiri hanya untuk nunjukin cinta papa sama kamu".

Dari situ, lambat-lambat saya mulai maksa diri untuk bangun dari mimpi buruk ini. They have been amazingly supportive, and i did nothing but looking like a freak ?

Beberapa bulan kemudian, malaikat mungilku lahir. Saya namai dia, Diandra. Begitu mungil dan cantik. Tapi bukan berarti semuanya selesai sampai di situ. Status di akta kelahiran Diandra pun sempat menjadi momok, hingga akhirnya Bapak saya berhasil mengurus akta kelahiran Diandra tanpa nama FOB bahkan tanpa embel-embel “anak di luar nikah”. Hanya tertera nama saya sebagai ibunya. (ngurusnya sampe ke walikota segala untuk ngasih keterangan).

Di usia yang masih muda, 22 tahun, saya kembali ke Jakarta untuk mencari kerja sambil membawa Diandra yang berusia 1 bulan. Gali lobang tutup lobang saya jalani selama 3 tahun, karena saya nggak mau memberatkan hidup orangtua saya lagi. Status single mom, juga menjadi momok tersendiri bagi diri saya. Di tempat saya ngontrak dulu, setiap saya lewat mau berangkat/ pulang kerja, suka ada yang teriak-teriak “Janda! Janda!”. It hurts. Malah pernah waktu itu teman lelaki saya sedang berkunjung kerumah, tiba-tiba saya dihampiri hansip! Dan si hansip pun memberikan nasehat supaya saya segera menikah dengan teman lelaki saya tersebut. Duh!

Rasa trauma untuk berhubungan dengan lelaki sempat saya rasakan. Sampai akhirnya saya bertemu Dewa, pria sederhana yang saya kenal lewat Y!m (thanks to technology). 3 tahun kenal hanya lewat dunia maya, akhirnya kami memutuskan bertemu. 10 bulan berpacaran, saya menyadari bahwa saya telah bertemu ‘dewa’ penyelamat hidup saya. Kami pun menikah. Happily ever after? I hope so :)

Mengingat perjalanan yang pernah saya lalui, kadang saya nggak percaya bisa kuat menghadapi semua itu. Melihat Diandra tumbuh sehat dan bahagia, saya benar telah mengambil keputusan yang tepat. Meneruskan kehamilan sendiri kala FOB-nya ngibrit entah kemana. Ini anak saya, darah daging saya.  Dia dikasih Tuhan buat saya, siapa lagi yang akan nyelametin dan jaga dia kalo bukan saya, IBUNYA? Kalau dibilang kehamilan dan punya anak tanpa ayah ini akan mengubur mimpi dan harga diri saya, kembali saya berpikir, “Siapa sih saya, segitu tingginya harga diri dan mimpi saya sampai-sampai mengalahkan anak dalam rahim saya sendiri?”

Karena itu, saya dan suami sampai saat ini membuat keputusan untuk tidak memberi tahu Diandra yang sebenarnya. Bukan, bukan karena dendam. Namun, apalah gunanya memberitau Diandra kalau saat ini hidupnya sudah lengkap dan bahagia dengan Mama dan Papa yang menyayanginya, adik kecil yang mengaguminya serta keluarga besar yang mengidolakannya? Mudah-mudahan kali ini keputusan saya tepat, persis seperti keputusan saya mempertahankan Diandra.

Menulis e-mail ini, menceritakan semuanya hingga detil adalah seperti terapi untuk saya. Agar hati kecil ini bisa berdamai dengan apa yang pernah terjadi dalam hidup saya dan tentunya supaya saya lebih bisa bersyukur atas apa yang telah saya miliki saat ini.

Cheers,

Dee2

Iya Dee2, kamu berhak medapatkan semua kebahagiaan saat ini setelah apa yang telah kamu lalui *hugs*